04

4553 Words
Perpindahan waktu dari detik demi detik terasa begitu melambat bagi Agnia. Dia sudah tak sabar untuk angkat kaki dan bergegas pulang. Padahal, baru 30 menit dirinya berada di kafe ini. Langit di luar sana pun masih tampak cerah dan menyuguhkan semburat jingga di sore hari. Sang mentari belum sepenuhnya tenggelam ke ufuk barat. Walau jam sudah tunjukkan pukul enam lebih. Malam segera datang. Sekali lagi, Agnia melirik ke arah arlojinya untuk memastikan waktu yang telah berganti sejauh ini. Tidak terlalu signifikan memang perubahan waktu yang terjadi. Hanya sekitar 10 menitan. Tetapi,  sifat moody Agnia yang mulai kambuh dan turut memengaruhi. Rasa bosan juga seakan melengkapi. Alhasil, ketidaknyamanan yang memang sudah menyertai sedari tadi pun menambah keinginan Agnia untuk segera menyudahi acara makannya bersama sang calon tunangan. Untuk tiga kata terakhir di atas, dengan sengaja Agnia ingin tegaskan maknanya. Dan benar sekali, sesosok pria yang sedang duduk di depan Agnia sembari lahap menyantap makanan memang menjadi kandidat satu-satunya orang yang akan dijodohkan dengan perempuan itu. Hanya sebagai calon tunangan, belum secara sah diputuskan untuk meminang dirinya menjadi istri. Ya, begitu sekiranya pemikiran Agnia agar tidak terlalu cemas berlebihan. "Mau tambah lagi makanan kamu? Pesan saja bebas yang kamu ingin. Aku yang akan bayar nanti. Mau aku ambilkan buk--" Dengan cepat Agnia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak usah. Saya sudah kenyang, Sandy," tolak perempuan itu halus dan juga tersenyum kikuk. Perlihatkan kesopanan. "Saya tidak mau pesan apa-apa lagi. Untuk makannya. Kita bayar masing-masing saja bagaimana? Saya tidak enak ditraktir." Agnia menunjukkan sikap ramahnya dengan sedikit terpaksa. Terlebih, dia harus tetap menjaga sopan santun demi harga diri serta martabat keluarga. Jika dia bertingkah aneh, maka dapat dipastikan omelan-omelan dari anggota keluarga besarnya akan memenuhi isi kepala Agnia dikemudian hari. Tak ingin ditambah masalah lagi yang memusingkan. "Oke. Kalau memang kamu merasa nggak enak. Lebih baik bayar sendiri-sendiri saja. Aku nggak mau buat kamu nggak nyaman." Agnia mengangguk cepat dalam gerakan yang cukup kaku. "Baiklah. Makasih sudah mau mengerti keinginan saya tadi." "Tolong jangan tersinggung tentang ajakan saya, ya. Bukan ada maksud bagaimana, tapi kamu pasti akan dapat memahaminya." "Iya. Santai saja. Besok mau makan bareng lagi nggak di sini kita, Agnia?" tawar pria bernama Sandy itu dengan raut wajah ceria hingga perlihatkan senyuman hangatnya secara lebar. Terus dipandangi sosok Agnia. "Nggak janji ya saya dapat makan bareng kamu lagi besok. Jadwal saya lumayan agak padat. Tugasnya juga harus cepat rampung." Tidak langsung mengiyakan begitu saja ajakan Sandy. Apalagi, mengingat Agnia tidak terlalu nyaman saat harus bertemu berduaan saja. Seperti menaruh harapan baru pada hubungan mereka. Agnia tidak ingin jika sampai Sandy menganggap positif dan melanjutkan rencana semula. Lebih baik menjauh daripada memberikan sesuatu hal yang hanya akan sebabkan salah paham nanti. Efeknya diterima berbagai pihak. Agnia dapat memastikan jika sudah begini, maka lampu hijau akan dengan senang hati diberikan keluarga besarnya. Terutama, kakek dan neneknya yang terbukti memang menyukai sosok Sandy, mendukung secara penuh hubungan mereka berdua. Agnia tak akan bisa bayangkan jika dugaannya akan benar-benar terjadi nanti. "Iya, santai saja. Kalau nggak bisa makan bareng aku. Nggak masalah. Utamakan dulu pekerjaan kamu karena tanggung jawab." Agnia membalas tatapan Sandy, pandangi pria itu dengan lekat. "Tolong kamu jangan tersinggung, kalau besok saya nggak bisa." "Haha. Iya, Agnia. Tenang saja. Aku nggak akan marah atau tersinggung. Aku paham kamu punya kesibukkan juga. Lagipula, kita bisa makan dan pergi bersama lain kali." Kembali, Agnia menggeleng. "Aku nggak bisa janji kalau di lain hari bisa pergi bareng. Sampai bulan depan, jadwalku padat." "Iya, Agnia. Kalau nggak bisa, ya aku nggak akan bisa paksa kamu juga. Aku mengerti." Jika dinilai secara objektif. Menurut Agnia, bisa dibilang Sandy masuk ke dalam kategori pria baik yang pernah dia temui, tentu selain tiga sahabat prianya. Dari face, Sandy juga termasuk good looking atau sedap dipandang. Walau, bagi Agnia tetap terlihat layaknya bapak-bapak. Karier Sandy juga oke, plus memiliki sisi finansial yang mapan. Mungkin akan ada banyak wanita menaruh hati dan bersedia dipinang menjadi istri pria itu. Namun, hal tersebut tidak menggugah keinginan Agnia untuk bersanding dengan Sandy. Hatinya tidak menghendaki sama sekali. Tak mau klik. "Sandy...," Agnia memanggil dengan suara cukup ragu sembari belum memindahkan atensi dari wajah pria di hadapannya. "Iya, ada apa? Kamu mau bilang sesuatu?" "Sandy bisa ngomong serius bentar nggak?" pinta Agnia dengan ekspresi serius dan sedikit merasa tegang. Padahal, sudah dua kali mereka berdua terlibat dalam acara makan bersama seperti sekarang ini. "Ayo, ngomong aja. Nggak perlu sungkan denganku tentang apa pun yang mau kamu tanyakan. Aku akan berusaha menjawab semua dengan jujur dan sesuai yang aku tahu. Jangan takut aku akan tersinggung." Agnia mengetuk-ngetukan jari di meja makan sembari menganggukkan kepala guna berikan tanggapan. Sedangkan, di dalam kepalanya, Agnia pun tengah sibuk merangkai beberapa kata yang tepat untuk disampaikan pada Sandy nanti. Tentu agar tak sampai menimbulkan konflik baru. "Gimana? Apa yang mau kamu katak--" "Tentang perjodohan...." Ucapan Agnia terputus. Sederetan kalimat yang sudah disusunnya mendadak lenyap. Bukan karena canggung. Tetapi, terkadang perkataan yang akan keluar dan isi kepalanya tidak mau sejalan. "Iya, kenapa tentang perjodohan kita? Kamu mau dipercepat?" Air muka yang diperlihatkan Sandy memang terkesan serius. Namun, dua telinga Agnia yang normal malah menangkap nada godaan dalam suara pria itu. "Bukan gitu." Tanpa sadar Agnia mendelikkan matanya karena sedikit kaget atas pertanyaan Sandy tersebut. Sifat pekanya bekerja dengan baik sore ini. "Lalu?" "Saya nggak bisa menerima perjodohan ini. Saya sudah punya pacar," jawab Agnia langsung pada topik yang ingin dia utarakan. "Aku sudah menebaknya," tanggap Sandy santai. Bahkan, tidak ada emosi dalam nada bicaranya. Terdengar tenang-tenang saja. Kini Agnia membulatkan kedua bola matanya. Sedikit bingung dengan reaksi yang diberikan pria itu. "Masa? Kayak cenayang dong?" sindirnya spontan. Tawa kecil Sandy pun mengiringi kemudian. Gadis yang akan dijodohkan dengannya memang bisa digolongkan memiliki sifat unik dan tidak mudah ditebak. Sandy tak mampu mengatasi rasa penasarannya yang kian berhasil terpancing oleh sikap Agnia. Dia ingin tahu lebih dalam lagi mengenai sosok Agnia hingga menemukan bagaimana sesungguhnya sifat dan karakter perempuan itu. Dengan begitu, lebih mudah menilai. "Kalaupun iya. Aku tidak berminat menjadi cenayang. Profesi yang akan paling hindari." Gerakan berupa anggukanlah yang lantas ditunjukkan Agnia sebagai balasan. "Terus gimana selanjutnya? Anda mau apa?" Ada kerutan yang tampak di dahi Sandy. Pertanyaan Agnia terkesan ambigu. Atau mungkin kinerja otaknya dalam memahami maksud pertanyaan tersebut yang kurang. Sandy pun dapat menangkap bahwa perempuan itu sedang menunggu-nunggu jawaban darinya. "Maksud kamu apa?" Sandy balik bertanya tanpa rasa berdosa. Suara masih tenang. Agnia menghela napas jengah. Ingin sekali dia mempertanyakan berapa sesungguhnya besar IQ yang dimiliki Sandy sampai tak mengerti inti dari pertanyaannya. Padahal, sudah cukup jelas dikatakan. Agnia yakin jika pria itu tidaklah bodoh. Tak akan dapat jadi pengusaha saat kemampuan berpikir di bawah standard yang semestinya, begitulah asumsi selalu ditanamkan oleh Agnia dalam kepala. Hingga detik ini masih berlaku. "Perjodohan kita. Saya ingin membatalkan perjodohan yang sudah keluarga kita atur," jawaban telak diluncurkan Agnia. Tidak ada keraguan akan keputusannya. Agnia menatap ke arah Sandy dengan mantap. "Demi pacar kamu?" Pria itu pun kembali bertanya. Menelisik informasi secara tidak langsung. Ingin diberikan jawaban jujur. Sandy lantas dapat menangkap gerakan mengangguk yang dilakukan Agnia. Namun, ekspresi di wajah perempuan itu membuat dirinya tidak yakin. Seperti ada kebohongan yang terpancar. Jelas rasa ingin tahunya jadi terus bertambah. Ingin segera diperoleh informasi sesuai dengan dugaan yang ada di dalam kepala. Kebenaran wajib diungkap. "Yakin dia kekasih kamu? Atau pacar pura-pura buat menghindari perjodohan ini?" Sandy hanya bermaksud berguyon, sebab rasa penasarannya kian membuncah saja. Memerlukan jawaban yang pasti Dengan refleks, Agnia melototkan kedua mata akibat mendengar pertanyaan pria itu yang tak pernah disangkanya. "Dia pacar asli saya kok. Meski, kita dulu sahabatan awalnya." Agnia membela diri dan tidak ingin terlihat kalah. "Pas tahu saya mau dijodohin. Dia sampai ngamuk dan nggak terima." Agnia memulai aksi dramanya. Namun, sekali lagi air muka perempuan itu tak dapat mendukung aktingnya dengan baik. Tawa kecil Sandy kembali meluncur. Tingkah Agnia menurutnya semakin tampak lucu. "Aku kira dia menyerah dan mutusin Kamu." "Dia nggak mungkin minta putus dari saya kok. Kami saling mencintai." Agnia menanggapi dengan penuh percaya diri sembari mengasah kemampuannya dalam berakting. Untung Sanata tidak ada di sini. Jika sampai sahabatnya itu melihat dirinya mendrama mengenai hubungan mereka. Dapat dipastikan Sanata akan mengeluarkan ejekan dan sindiran yang cukup maut. Terlebih, mereka nyatanya memang hanya pura-pura. Ralat, Agnialah yang berpikiran demikian. "Kalau dia sayang atau cinta sama kamu. Seharusnya dia datang ke orangtua kamu buat minta restu. Bukan malah ngamuk saat tahu kamu mau dijodohin." Skak mat! Tubuh Agnia membantu di kursi yang didudukinya. Wajah perempuan itu juga tampak memucat. Perkataan Sandy sekan sangat sukses menohoknya. Bahkan, kepala Agnia dengan kapasitas memori terbatas tidak dapat merekam kembali kata-kata yang sudah disusunnya dengan amat matang untuk dikeluarkan sedari tadi. "Mungkin dia nggak serius sama kamu, Agnia," imbuh Sandy terkesan blak-blakan. Memang suka berkata apa adanya saja. "Sotoy ah. Kayak kamu serius aja sama saya." Agnia mendadak kesal. Sikap sok tahu pria itu sama sekali tak mengenakan untuknya. Senyum merekah tercetak di wajah Sandy. Dia merasa tertantang. "Aku serius sama kamu, Agnia. Makanya, aku nerima perjodohan yang disiapkan orangtuaku." ............ Sanata langsung melipat kedua tangan di depan d**a, selepas membukakan pintu rumahnya untuk sang tamu yang datang berkunjung dikala langit sore akan berganti menjadi petangnya malam. Masih sama seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya, tak ada pemberitahuan yang diterima Sanata ketika Agnia hendak bertandang ke kediamannya. Dan, Sanata tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut sebenarnya. Akan tetapi, hari ini ketika mendapati sosok Agnia yang berdiri di depan pintu dengan tampang kusut dan tak bersemangat, mengakibatkan salah satu alis Sanata berhasil terangkat karena diselimuti rasa penasaran. "Lo kenapa, Ag?" Naluri seolah membisikkan Sanata bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan sahabat. Ralat, kekasihnya. "Muka lo kucel banget gue lihat. Lo pasti ada masalah, ya? Benar bukan dugaan gue?" Agnia tak menjawab. Bukan karena tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Sanata. Melainkan, dia masih terlalu malas untuk meluncurkan beberapa kalimat. Sebenarnya terdapat dua faktor utama yang mendukung dan menguatkan kebungkaman Agnia. Ragu mengatakan hal sebenarnya. Alasan pertama yang utama memengaruhi memang tak jauh-jauh dari efek pertemuan dan pembicaraannya dengan Sandy kemarin sore. Setiap kata yang diucapkan oleh pria itu seakan mengubur secara perlahan-lahan keinginan Agnia untuk membatalkan acara perjodohan di antara mereka berdua. Penyebab kedua, berkaitan erat dengan kekeroncongan perut Agnia yang belum terjamah makanan sudah sejak tadi siang. Setumpukkan pekerjaan di kantor yang harus segera disetorkan kepada atasan, menuntut Agnia untuk bergerak cepat dan mengorbankan waktu istirahat makan siang. Alhasil, tenaga beserta pikirannya cukup terkuras hari ini. Badannya terasa lemah. "Lo ada masalah, Ag?" Sanata dengan refleks meraih lengan kanan Agnia ketika perempuan itu hendak masuk ke dalam. "Masalah apa coba? Bisa kasih tahu ke gue sekarang? Biar gue bisa bantu lo jugalah, ya." Sanata pun menambahkan penjelasan. Kemudian, tarikan napas panjang dilakukan efek merasakan kejengahan yang semakin besar. Tak ada satu pun perkataannya mau dijawab oleh Agnia. Sanata jelas saja akan jadi kesal jika sudah begini balasan didapat olehnya dari sang sahabat. Padahal, sudah ditunjukkan kepeduliannya secara tulus. "Lo masih bisa dengar, 'kan? Gue yakin lo nggak tuli. Kenapa coba nggak dijawab?" Agnia kemudian melarikan pandangannya ke arah Sanata. Dan, saat bersitatap. Agnia bisa melihat sorot tanya dalam mata sahabatnya itu. "Nanti gue kasih tahu. By the way, ada makanan nggak? Gue lapar. Belum makan dari siang. Gue mulai lemas, San." "Gue minta makan di sini. Lo pasti nggak akan keberatan gue makan semua makanan yang lo punya. Gue bebas nanti kala--" "Kebiasaan lo dari dulu nggak pernah bisa berubah. Kalau lagi lapar baru datang ke rumah gue," sindir Sanata. Dia lantas melepas pegangan tangannya dan balik melemparkan delikan kali ini. Sanata sudah akan menanggapi keadaan Agnia yang menurutnya tak terlihat biasa tersebut dengan serius. Tetapi, jawaban yang baru saja dilontarkan oleh perempuan itu membuat Sanata ingin menyeretnya keluar, lantas menutup pintu rapat-rapat. Tetapi, dia tak akan tega sampai membuat idenya tersebut terlaksana. Bagaimana pun juga, Sanata merasa masih memiliki hati yang baik. Enggan berbuat hal kurang baik pada Agnia. Walau, perempuan itu sudah sangat sukses menyebabkan dirinya dilanda kekesalan cukup besar. Sanata akan memilih memaafkan. Tak terlalu lama memusingkan. "Woii, ada nggak?" tanya Agnia dalam nada kian meninggi. Kesabarannya berkurang. "Lo malah nggak jawab yang gue tanya. Lo mau balas dendam karena gue tadi nggak kasih lo balasan? Menyebalkan lo em--" "Nah, itu lo tahu. Tolong jangan bersikap enaknya kalau nggak mau dapat karma yang sama. Nggak enak, 'kan?" Sanata memotong cepat dengan suara yang santai, disengaja. "Bukan gue nggak mau jawab. Tadi, sudah gue bilang kalau akan kasih tahu semua pas perut gue kenyang. Lo aja yang nggak ada kompromi. Lo nggak tahu gimana rasanya lapar belum makan sampai buat sus--" "Makanan ada. Tapi, ya tergantung." Sanata pun potong kali dengan raut dan nada yang tanpa berdosa. Dialunkan kata-katanya pun dengan ringan. Seringaian belum hilang. "Hah? Maksud lo gimana, San? Jelasin." Seakan ada lampu bohlam yang menyala di kepala Sanata secara tiba-tiba, maka muncul pula sebuah keinginan untuk menggoda Agnia. "Tergantung," balasnya seraya mengeluarkan smirk aneh pada wajahnya. "Tergantung apaan?" Agnia tidak menaruh rasa curiga dengan perkataan Sanata. "Tergantung, kalau gratis nggak ada. Kalau lo bayar baru gue sediain," celoteh pemuda itu tanpa menunjukkan adanya rasa bersalah. Kedua mata Agnia melotot. Dia paham jika Sanata sedang berniat bercanda dan mengerjainya. Namun, waktu yang dipilih sang sang sahabat menurut Agnia kurang tepat karena dia sedang berada dalam keadaan mood yang cukup buruk. "Sebagai pacar aja lo pelit. Gimana mau jadi suami gue? Bisa-bisa berat badan gue turun drastis kalau hidup sama lo," sindir Agnia tidak berperasaan. Memang disengaja. Selepas mendengar ucapan kekasihnya itu, Sanata pun lantas maju beberapa langkah mendekati Agnia yang tengah berdiri sambil memasang ekspresi menyebalkan ke arahnya. "Waktu ini bilang nggak mau jadi pacar gue. Sekarang malah ngaku-ngaku." Sanata menyindir tak kalah pedas. Dia telah berada di depan Agnia. Kedua mata Sanata memandang setiap inchi bagian-bagian wajah perempuan itu dengan intens. Polesan make up yang mulai meluntur pun tidak bisa menutupi raut kelelahan Agnia. Hanya tersisa warna pink lipstick di bibir perempuan itu yang sukses menarik perhatian Sanata. Sehingga berikan dampak pula pada sensasi berbeda dirasa. "Lah 'kan waktu ini gue ngomongnya. Nah, Sekarang beda lagi." Sebuah pembelaan diucapkan Agnia tanpa sungkan. Dilengkapi pula kepercayaan diri yang cukup tinggi Mendadak dia teringat akan perkataan Sandy mengenai 'pacar pura-pura'. Sanata telah resmi menjadi kekasihnya bukan sekadar 'pacar pura-pura'. Ya, memang harus begitu aturannya bukan? "Terus sekarang yang membedakan apa?" Sanata sengaja memancing. Alhasil, delikan maut Agnia mengarah padanya. "Sekarang lo itu sudah jadi pacar gue," balas perempuan itu dengan menekankan setiap kata yang dia lontarkan. Menegaskan status Sanata untuk dirinya sendiri. "Hahaha. Kalau udah gini gue bersedia masakin lo mie instan. Gratis nggak pakai bayar. Perdana buat pacar gue." Sanata kembali mengeluarkan smirk andalannya. Dia kemudian meraih tangan Agnia dan menarik perempuan itu masuk ke dalam rumah. Sesuai janji dibuat, Sanata akan memasakkan Agnia mie instan dengan sepenuh hati. "Mie instan doang, nih? Nggak ada yang lain gitu? Menu tambahan biar makin kenyang." Sanata kemudian menghentikan langkah kakinya setelah mendengar pertanyaan perempuan itu dan memutar kepala guna melihat sosok Agnia yang sedang berdiri di belakangnya. Seringaian nakal diperlihatkan seraya menggeleng-gelengkan kepala. Tawa meremehkan juga diloloskan olenya. "Emang mie doang nggak cukup untuk lo makan, Ag?" Sanata bertanya santai. "Masa lo tega kasih pacar sendiri cuma mie instan doang? Nggak ada banyak gizi tahu di dalam mie instan. Lo nggak peka, ya San." Kini Sanata telah menyejajarkan tubuhnya dan Agnia. Tinggi perempuan itu hanya sebatas bahu, membuat Sanata leluasa memerhatikan air muka Agnia yang menurutnya jelek. Dia menatap perempuan itu sambil mengeluarkan smirk andalannya lagi dan lagi. Namun, Agnia belum juga sadar akan ekspresi yang sedang Sanata lemparkan padanya. "Gampang. Gue tambahin satu telur ceplok biar ada proteinnya," jawab Sanata dengan nada santai yang masih dipertahankan. Agnia mendengus kesal. Gagal sudah usahanya membujuk Sanata untuk membelikan makanan lebih enak dari mie instan. Pemuda itu memang perhitungan dalam mengeluarkan uang. Mentraktir pun sangat jarang. "Ujung-ujungnya gue bakal jadi nikah sama Sandy kalau kayak gini," ceplos Agnia asal-asalan. Ucapan Sandy benar-benar tak mau enyah dari pikirannya. "Bayangin dia ngajak gue makan steak di kafe udah dua kali. Nah, lo cuma bikinin gue mie instan sama telur ceplok doang," imbuh perempuan itu dengan sangat sengaja dan berniat membandingkan. Sanata menyilangkan kedua tangan di depan d**a. Kerutan-kerutan di dahinya juga mulai tampak. Mencerna setiap kata yang Agnia ucapkan. Walau, tidak jelas sepenuhnya. Sanata dapat menangkap informasi bahwa Agnia sudah bertemu dengan Sandy sebanyak dua kali. Akan tetapi, perempuan itu tak pernah membahas atau bercerita padanya. "Sana lo makan sama dia biar dibeliin steak lagi. Jangan datang ke rumah gue," cibir Sanata tak kalah pedas. Agnia bersidekap, sedikit membusungkan d**a, dan melototkan kedua bola mata. Hal tersebut merupakan salah kebiasaan yang sering dia perlihatkan ketika sedang merasa kesal. "Nggak peka banget sih lo, San!" seru Agnia sengaja meninggikan suaranya. Namun, Sanata tampak tak terpengaruh dengan aksinya. "Eh, yang ada itu lo 'Si Ratu Tidak Peka' Agnia gue tersayang yang b**o dan sama sekali nggak peka." Sanata benar-benar memberi tekanan pada kata-kata yang diucapkan. Sementara, jari telunjuk tangan kanan Sanata menempel, lalu melakukan gerakan memutar di dahi Agnia. "Ejek aja terus. Bilang gue b**o dan nggak peka sampai lo puas, San." Efek dari kelaparan dan mood yang memburuk membuat Agnia terpancing oleh candaan sang sahabat. Etss. Sahabat yang sekarang merangkap status sebagai kekasih baru. Sanata menyerah. Dia sudah tidak tahan dengan ekspresi Agnia yang berhasil menggelitik perutnya. Antara kasihan atau ingin lanjut mengerjai perempuan itu. "Meski lo b**o. Gue 'kan tetap mau bantuin dan jadi pacar lo, Ag. Nah, buat masalah nggak peka. Ntar gue siap ajarin biar kepekaan lo bertambah." Sanata kembali menarik tangan Agnia dan mulai melangkah menuju area dapur bersama perempuan itu. "Sekarang gue buatin mie instan sama telur ceplok dulu. Makan steak nanti aja. Gue yang bayarin dah," tambahnya tanpa menoleh ke belakang. "Kapan?" Agnia ingin memastikan waktu. Jarang-jarang Sanata mau menawarkan diri untuk mentraktirnya. "Pas lo udah resmi jadi istri gue," sahut pria itu santai tanpa beban. Yah, dia sukses memberikan prank lagi pada Agnia. "Sanata sompret! s****n lo! Kesal gue sama lo, ya! Pacar gadungan menyebalkan! Gue nggak akan sayang sama lo!” ............ Bukannya menunjukkan rasa simpati, Sanata malah tidak bisa berhenti ngakak setelah mendengar secara rinci cerita Agnia, yakni mengenai pertemuan perempuan itu dengan Sandy kemarin. Tawa Sanata kian mengeras tatkala memandang wajah Agnia yang dihiasi ekspresi sok dramatis, seakan ucapan Sandy begitu memberi pukulan telak bagi perempuan itu. “Tawa aja lo terus.” Agnia melemparkan tatapan horor dan tak suka untuk sang sahabat. Ketika sedang ingin serius dan juga melepaskan sejenak beban yang memang mengganggu dengan menceritakan semua pada Sanata, tanggapan sahabatnya itu malah membuat darah Agnia mendidih. “Sorry, Ag. Habis tampang lo lucu sih. Yah, Pengin ketawa mulu gue. Haha.” Pria itu belum berniat untuk meredam tawanya. Sanata seolah tak peduli akan kobaran api amarah yang mulai diperlihatkan Agnia melalui sorot kedua matanya, tentu saja. Lantas, tidak ada balasan diperoleh Sanata. Suasana di sekitar mereka semakin terasa diselimuti oleh aura dingin, terutamanya terpancar dari Agnia. Jelas, perempuan itu tak suka akan apa yang dirinya katakan. Dan, hanya tawa Sanata yang masih keras terdengar. Sedangkan, Agnia pun memilih menutup rapat bibirnya yang seolah sedang dilapisi lem perekat. Tatapan perempuan itu masih tetap tertuju pada Sanata yang duduk di sebelahnya. Semakin lekat memandang. “Nggak lucu!” seru Agnia kesal. Ingin sekali dia membekap keras-keras mulut Sanata yang tengah mengeluarkan suara tawa sok keren tersebut. Sungguh menyebalkan. Mereka berdua sedang mengambil tempat di ruang keluarga, rumah Sanata. Seusai menyantap mie instan plus telur ceplok buatan sang sahabat yang rasanya biasa saja.  Agnia pun kemudian mengajak Sanata untuk duduk-duduk santai sembari ingin memberi tahu perihal momen acara makannya bersama Sandy yang tak begitu menyenangkan. Malah membekas dengan memori cukup buruk. Enggan diingat. Dan, baru beberapa menit saja dia mulai mencurahkan isi hatinya tentang perkataan Sandy yang sedikit menyebalkan, Sanata malah tertawa tanpa henti. Jelas, mood-nya dibuat kian memburuk. Sang sahabat tidak menunjukkan keibaan atas apa yang tengah dirinya alami. Belas kasihan Sanata memang tak pernah ada untuknya. Meski demikian, tidak ada niatan memusuhi lelaki itu. “Luculah, Ag. Hahaha. Kata-kata Si Sandy ada benarnya juga tuh. Kenapa gue setuju, ya? Mewakili penilaian gue soalnya." Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Agnia menghantamkan satu pukulan maut di lengan kiri Sanata. Mulut sahabatnya itu memang perlu diplester. Bahkan, jika perlu dijahit dengan jarum tajam. Benang akan dipasang kuat agar tidak bisa tertawa lagi. “Benar dari Hongkong? Dia itu meragukan hubungan gue sama lo. Ngerti nggak? Sandy bilang gue sengaja jadiin lo pacar bohongan buat menghindari perjodohan. Kayak gue nggak laku aja,” cerocos Agnia dengan ekspresi kesal yang masih tampak nyata di wajahnya. Kedua mata turut dipelototkan. “Ya ‘kan awal niatan lo emang begitu, Ag. Jadiin gue pacar cuma buat batalin acara perjodohan kalian,” sindir Sanata disela tawanya. Diberikan penekanan pada setiap kata agar dapat memperjelas maksudnya. Agnia mendelik tak suka. Walau memang kenyataan. Tetapi, setidaknya Sanata bisa mengeluarkan sebentuk pembelaan untuk dirinya. Bukan malah membenarkan ucapan Sandy. Jika tahu reaksi Sanata akan seperti ini. Maka, Agnia tidak akan repot-repot menceritakan masalahnya. “Sorry, Ag. Maafin gue, ya.” Sanata berucap dengan nada tulus setelah sadar bahwa sikapnya sedikit kelewatan. Tawa Sanata bahkan sudah terhenti sekarang. Dia turut menatap Agnia serius. Sarat kesungguhan. Perempuan itu tak merespons secara lisan. Namun, lingkaran tangan Agnia yang berada di lengan kirinya seketika langsung mampu menyentak kesadaran Sanata. Ia jelas saja terkaget mendapatkan sentuhan dari Agnia yang terbilang lembut sehingga hantarkan sensasi aneh masuk ke dalam hatinya. “Bantuin gue. Tolong bantuin gue, San. Lo yang bisa gue percaya. Lo bisa gue andalkan untuk menolong gue dari masalah begini. Lo nggak akan biarkan gue kesusahan, 'kan?" Dengan segenap kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Sanata ingin kembali tergelak menyaksikan air muka Agnia yang memang masuk dalam  layak untuk ditertawakan. Akan tetapi, Sanata berusaha setengah mati menahan tawa agar tidak memperkeruh keadaan atau membuat Agnia kesal lebih lanjut. Akan merusak suasana. “Bantuin gue dong, San.” Perempuan itu meminta sekali lagi dengan tak sabaran. Ada nada permohonan yang tidak berkurang. Sebagai gantinya, Sanata kemudian sengaja menampilkan smirk yang mengandung godaan. “Bantuin apa, Sayang? Bilang aja." Spontan saja, Agnia melepaskan pegangan tangannya di lengan Sanata. Bulu kuduk Agnia berdiri saat mendapati senyum sang sahabat yang lain dari biasanya. Terlebih, panggilan ‘sayang’ yang diucapkan Sanata dengan nada sok manis membuat Agnia semakin bergidik ngeri saja. Terasa baginya tak biasa. Sebab, memang belum sekalipun pernah ditunjukkan sikap yang demikian. “Bantuin apa, Sayang?” Sanata mengulang pertanyaannya dengan sangat sengaja. Dia menyukai pelototan mata Agnia yang kini tertuju tepat ke dalam maniknya hingga menimbulkan sensasi aneh yang menjalar hampir di seluruh dadanya. Diluar dugaan. “Asli lo menyeramkan, San. Lo kayaknya lagi kemasukkan setan. Ini lo nggak kerasukan?" Sanata mendelik. Menggelengkan kepalanya dengan gerakan yang kuat. "Enak aja gue ini dibilang kerasukan. Padahal, niatan gue lagi baik mau menolong lo yang ada masalah." "Ya, maaf, San. Jangan tersinggung. Habisnya lo malah menyeramkan gue lihat tadi tahu. Wajar kalau gue jadi anggap lo kayak gitu." Agnia segera memalingkan wajah. Debaran jantungnya mulai mengalami peningkatan irama. Agnia juga tak paham mengapa. Semua terjadi dengan tiba-tiba. Dan, untuk mencairkan suasana yang entah bagaimana terasa canggung dengan begitu cepatnya. Sanata pun mencoba mencari ide untuk mengembalikan keadaan. Dia jelas sadari bahwa atmosfer di antara mereka memang begitu cepat berubah. “Jadi, Sandy nggak percaya kalau lo punya pacar?” tanyanya memulai topik pembicaraan yang baru. Agnia kembali mempertemukan tatapan mereka, kemudian mengangguk pelan. Ekspresi di wajah perempuan itu sudah digantikan oleh raut kelelahan dan tampak tidak bersemangat. “Tampang lo mungkin nggak meyakinkan, Ag. Pengalaman lo yang kagak pernah pacaran juga kayaknya kelihatan banget yak? Sampai tuh orang nggak mudah percaya.”  Ejekan maut Sanata keluar. Tangan kanan Agnia meraih sebuah bantal, lalu menimpukkan benda tersebut tepat ke arah wajah Sanata dengan keras. Sang sahabat memang tidak bisa diajak diskusi serius sebentar saja. Dan, beberapa menit kemudian, tawa Sanata pun lepas. “Mana gue tahu!” seru perempuan itu meningkatkan nada suaranya sebanyak satu oktaf karena kekesalan yang semakin menumpuk. Sindiran Sanata menyebalkan. Agnia segera bangkit dari sofa. Dia ingin pulang. Barang kali dengan tidur, mood-nya akan bisa sedikit membaik atau paling tidak dia dapat melupakan sejenak kekhawatiran mengenai perkataan dan perjodohannya dengan Sandy. Harus dapat mendinginkan kepala. Enggan semakin larut akan emosi. "Mau ke mana, Ag? Pulangkah?" Agnia langsung berhenti berjalan. Lalu, dia memandang ke arah Sanata. "Menurut lo gue akan ke mana? Ke kamar lo?" balasnya  dengan nada yang bertambah sinis. "Gue mau pulang. Mau tidur." Ketika mengetahui maksud Agnia. Sanata juga ikut beranjak dari sofa yang diduduki. Buru-buru dia menangkap tangan bagian kanan Agnia. “Gue antar lo pulang, Ag. Gue nggak bisa biarkan pacar gue sendirian." "Terserah lo aja. Mau antar silakan. Nggak akan gue larang. Lumayan gue bisa dapat tumpangan gratis ke rumah gue." ……………................ Di dalam mobil, Agnia tidak mengeluarkan satu patah kata pun dan terus bungkam. Agnia hanya melemparkan pandangannya keluar jendela. Sedangkan, Sanata fokus mengemudi. Sesekali, dia juga melirik ke arah Agnia. Rasa bersalah yang datang karena sikapnya tadi, membuat Sanata tak tenang. Dia paham betul sudah cukup tidak bersahabat. Tentu, harus meminta maaf agar dirinya merasa lebih baik dan nyaman. “Masih marah sama gue, Agnia?” tanyanya sedikit hati-hati. Takut menyinggung atau membangkitkan amarah perempuan itu. Agnia tidak menyahut, sebab rasa kantuk yang menyerang tanpa sadar membuat perempuan itu memejamkan mata dan hanyut dalam tidurnya. Di sisi lain, Sanata sedikit menggerutu karena belum terima jawaban yang ia ingin dari perempuan itu. Sanata hendak memperoleh jawaban lebih dan pasti agar bisa menjadi tolok ukur. “Lo masih marah sama gue, Agnia?” ulang Sanata sekali lagi. Nihil, tetap tak ada respon berupa keluarnya kata-kata dari Agnia. Hal tersebut membuat Sanata semakin dihantui rasa bersalah. Dia pernah membaca sebuah artikel jika terkadang seorang wanita bisa menampakkan sifat sensitif disaat yang tak terduga. Namun, Sanata tahu betul Agnia bukan tipe yang akan ngambek atau marah untuk masalah tak penting. Tetapi, Sanata mengakui kesalahannya yang tidak menganggap terlalu serius cerita Agnia tadi. “Mana bisa gue marah benaran sama lo.” Perempuan itu menyahut. Agnia menoleh sekilas ke arah Sanata. Hanya dua detik. Karena detik berikutnya dia sudah kembali memfokuskan pandangan keluar jendela. Menikmati pemandangan kota di malam hari. Sementara, Sanata mengulas senyum cukup lebar setelah memperoleh jawaban dari Agnia. Hatinya pun lebih tenang “Yakin nggak bisa marah sama gue?” tanya Sanata iseng. Memulai topik pembicaraan. Biasanya dia dan Agnia akan terlibat dalam percakapan ringan saat berada dalam perjalanan. Akan tetapi, kali ini Agnia lebih banyak diam. “Agnia? Lo yakin nggak bisa marah sama gue?” Sanata bertanya lagi, sebab tak ada tanda-tanda perempuan itu menanggapi pertanyaannya. Ketika lampu lalu lintas di depan berwarna merah untuk 20 detik kedepan. Sanata lantas memindahkan tuas transmisi ke posisi netral serta menginjak pedal rem untuk memastikan mobilnya diam di tempat. Dan dengan segera pula, Sanata memutar tubuhnya ke kiri yakni condong ke arah perempuan itu. Ketika mendapati Agnia yang tengah tertidur pulas. Sanata pun mengulas senyum. Tangan kirinya refleks bergerak menuju kepala Agnia, mengacak pelan helaian mahkota perempuan itu. “Tenang. gue bakal bantuin lo, Ag.” Sanata menggenggam tangan kanan perempuan itu seraya tetap mengulas senyum. “Jangan bersikap kayak gini lagi. Muka lo jadi tambah jelek,” tambah Sanata sambil mengeratkan tautan jari-jarinya yang menggenggam tangan Agnia. Senyum Sanata pun belum menghilang. ..................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD