03

2011 Words
Agnia berjalan dengan langkah gontai menuju pintu utama rumahnya yang sudah diketuk beberapa dari luar sana. Rasa penasaran sekaligus jengkel tengah dirasakan Agnia. Sebab pada weekend seperti sekarang, biasanya jarang sekali ada tamu yang bertandang ke rumah. Ah, Ralat. Sebenarnya Agnialah yang malas menerima kehadiran sosok-sosok tertentu. Terutama para pengganggu yang muncul tanpa diundang dan mengacaukan waktu berharganya dikala weekend. Tentu Agnia berharap prediksinya kali ini akan salah. Semoga para pengganggu yang merupakan sahabat-sahabatnya itu, tidak satu pun menampakkan diri nanti di depan pintu. Benar saja. Manakala Agnia sudah membuka daun pintu lebar-lebar. Tampak empat anak manusia berbeda gender berdiri di depan pintu. Tidak diragukan lagi, jika hari Sabtu yang biasanya tenang akan ricuh dengan kehadiran para pengganggu itu di rumahnya. Tiga pemuda dan satu orang wanita tengah berdiri di depan pintu. Mereka sama-sama memperlihatkan cengiran khas mereka ke si pemilik rumah, kecuali Sanata. Bola mata Agnia sukses membulat saat menyadari kehadiran sahabatnya itu. Ya, Sanata memang ikut menjadi salah satu anggota dari geng yang mereka bentuk sejak SMA tersebut. Akan tetapi, keberadaan Sanata menurut Agnia tidak masuk akal. Pasalnya sekitar enam jam yang lalu, Sanata memberi tahu melalui chat jika sedang berada di Bogor. "Lo kok bisa ada di sini, San?" "Kenapa? Lo kangen sama gue?" balasan telak dari Sanata mengakibatkan Agnia bungkam seketika. Suasana semakin memanas tatkala tiga sahabat mereka yang lainnya saling berdeham dengan suara lumayan keras, bahkan sampai pura-pura batuk. Guna menggoda Sanata dan Agnia. "Lo nggak suka Sanata ada di sini ya, Agnia?" tanya salah satu sahabat mereka yang bernama Reni. Dengan cepat Agnia menggelengkan kepala, menampik tuduhan yang dilayangkan kepada dirinya. "Bukan gitu elah. Soalnya Sanata bilang kalau lagi di Bogor. Gue kaget aja dia bisa ada di sini," Agnia berupaya menjelaskan agar dia tidak semakin terpojokkan oleh tatapan ingin tahu yang dilayangkan para sahabatnya. Sementara itu, Sanata hanya diam sambil memerhatikan Agnia yang tengah berbicara. Dia enggan mengeluarkan satu patah kata pun. Dua detik kemudian, giliran Agnia yang melemparkan pandangan curiga ke arah empat sahabatnya, tak terkecuali untuk Sanata. "Terus kalian ngapain datang ke rumah gue?" Agnia mengajukan sebuah pertanyaan yang kembali berhasil menciptakan cengiran di masing-masing wajah para sahabatnya. "Mau minta penjelasan dari lo dan Sanata." Agnia langsung memfokuskan perhatian dan menoleh ke arah salah satu sahabatnya yang sedang berdiri kurang lebih dua meter di depannya. "Penjelasan gimana, Angkasa? Gue sama Sanata emang bikin kesalahan?" tanya Agnia dengan disertai ekspresi polos. Ralat, b***t. Pria bernama Angkasa yang beberapa menit lalu mengeluarkan suara, hanya menganggukkan kepala sebagai bentuk balasan atas pertanyaan Agnia. "Emang gue bikin kesalahan apa sih? Ketemu sama kalian aja gue jarang. Masa iya gue buat kesalahan?" Agnia kembali bertanya-tanya. Pasalnya dia sangat yakin tidak melakukan kesalahan apapun. Titik! Kali ini Agnia sudah menyebarkan pandangannya. Menatap satu per satu sahabatnya dengan penuh tanda tanya. "Mau tahu kesalahan lo apa, Agnia?" Secepat kilat perempuan itu mengangguk mengiyakan. "Kesalahan gue apa ya, Agra? Lo pasti tahu, 'kan? Coba kasih tahu gue," Agnia melempar tatapan penuh penasaran pada sosok bernama Agra, sahabatnya. Dia butuh jawaban segera. "Kenapa kalian berdua menyembunyikan status hubungan kalian?" pertanyaan bernadakan selidik meluncur dengan indah dari mulut Reni. Agnia semakin cengo. Dia sama sekali tak bisa memahami, baik perkataan maupun pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh para sahabatnya. Otak Agnia seakan buntu. "Please ya, kalau ngomong sama gue jangan muter-muter. Cukup to the point. Lo semua tahu 'kan kalau memori di kepala gue limit," ucap Agnia pelan. Namun, berisi penekanan di setiap kata. Angkasa, Agra, dan juga Reni berusaha menahan tawa mereka. Ekspresi b***t yang diperlihatkan Agnia memang senantiasa sukses mengundang tawa sahabat-sahabatnya. "Gue bilang ke mereka. Kita berdua pacaran." Sanata akhirnya buka suara. Dan seketika itu juga, Agnia melayangkan tatapan cukup tajam ke arah sahabat laki-laki yang kini telah resmi menjadi kekasihnya. Di dalam hati, Agnia tak berhenti menggerutu. Dia tidak suka dengan mulut Sanata yang ember. Padahal, dia sudah memperingatkan agar status mereka tak diungkap dalam waktu dekat pada orang lain, khususnya ke sahabat-sahabat mereka. ........................... Teras belakang rumah menjadi spot yang terpilih kali sebagai tempat berkumpulnya para sahabat Agnia. Beberapa camilan ringan, botol-botol minuman bersoda, dan enam gelas kaca sudah tersaji di meja yang berada di tengah-tengah mereka berlima. "Kulkas lo dikit amat isi makanan ya, Ag. Sampai gue susah nyarinya," ujar Angkasa setengah menyindir. Dia duduk tepat di samping kiri Agnia. Perempuan itu lantas memperlihatkan cengiran kudanya pada sang sahabat. "Gue belum sempat belanja. Lagian, lo pada mau ke sini enggak bilang-bilang dulu. Jadi, gue nggak sediain stok makanan." Agnia membela diri. Mencari-cari alasan. Padahal sesungguhnya, dia sedang malas menghambur-hamburkan uang untuk membeli camilan atau makanan ringan. Orang yang tadi bertugas mengobrak-abrik serta mengeluarkan camilan-camilan tersebut dari dalam kulkas adalah Angkasa. Sahabat Agnia yang tetap memiliki tubuh atletis. Walau, doyan makan dan nyemil. Wajah Angkasa sih tidak terlalu tampan. Tetapi, cukup good looking-lah. Begitu penilaian personal Agnia sebagai seorang perempuan normal. "Kalaupun kita bilang. Lo pasti nggak bakal izinin kita datang. Dah ketebak modus lo, Ag," celoteh Agra tanpa menyaring kata-katanya terlebih dahulu, blak-blakan. Cengiran yang tak menampakkan rasa bersalah terus terukir di wajah Agnia.  "Bukan gitu juga. Gue 'kan butuh waktu juga buat istirahat. Lo pada bisa ngambil hari Sabtu atau Minggu kalau mau datang ke sini. Pasti gue izinin." Tak ada tanggapan lanjutan yang diberikan oleh sahabat-sahabat Agnia. Mereka memilih sibuk dengan kegiatan masing-masing Angkasa mulai membuka satu bungkus camilan berupa kacang kulit dan menenggak minuman bersoda yang semenit lalu sudah dia tuangkan ke dalam gelas. Agra terlihat mulai mengutak-atik handphone-nya. Begitu juga dengan Sanata. Saat Agnia melirik ke arah pemuda itu. Dia tidak memperoleh respon apa pun. Sanata tampak fokus memainkan game di smartphone-nya. Padahal ada beberapa pertanyaan ingin Agnia konfirmasi. Terutama, berkaitan dengan mulut bocor Sanata yang membeberkan hubungan mereka, tanpa melakukan perundingan dulu bersama dengannya. Tetapi, Agnia memutuskan untuk menyelesaikan permasalahan di antara dirinya dan Sanata nanti saja, setelah sahabat-sahabat mereka pulang. Saat ini, otak Agnia sedang bekerja sedikit keras. Menyusun sejumlah rangkaian kata-kata antimainstream, guna menjawab pertanyaan-pertanyaan absurd yang pasti akan diluncurkan para sahabatnya. Reni yang sedari tadi memisahkan diri sejenak untuk menerima telepon dari suaminya, kini telah ikut bergabung bersama mereka. Duduk di kursi kosong sebelah kiri Sanata. Mengedarkan pandangan ke sekitar, sekadar ingin mengetahui aktivitas para sahabatnya. "Simpan handphone lo semua! Sesuai perjanjian. No handphone pas kita lagi kumpul," ingat Reni dengan suaranya yang sedikit cempreng. "Sip, Bu Boss," tanggap Agra santai sembari memasukkan ponsel miliknya ke saku celana. Hal serupa juga turut Sanata dan Angkasa lakukan, minus Agnia—dia masih larut dalam pikirannya sendiri— "Eh, Ratu Jomblo!" seru Reni melengkingkan suaranya. Melayangkan tatapan horor dan menyelidik kepada Agnia. Panggilan 'khusus' tersebut sukses membuat Agnia menoleh ke arah sahabat perempuan satu-satu yang dia miliki itu. Kikikan pelan Angkasa dan Agra juga sayup-sayup tertangkap oleh indera pendengaran Agnia. "Apa, Ren? Lo jangan natap gue kayak gitu. Bikin ngeri gue aja." Sanata tak menampakkan ekspresi apa pun di wajahnya, alias datar. Padahal, Angkasa menyeringai nakal dan menyenggol siku tangan kanannya dengan sengaja. Sanata tetap tidak menunjukkan reaksi balik atas apa yang dilakukan Angkasa. Sementara, tatapannya terus tertuju pada Agnia. Dia bisa membaca lewat air muka perempuan itu jika Agnia sedang sedikit tegang. Sudut bibir kanan Sanata terangkat naik, senyum tipis lantas terbentuk. "Agni udah kagak jadi RATU JOMBLO lagi sekarang. Udah ada pacar. Geng kita terbebas dari kutukan," celetuk Agra dengan gaya ceplas-ceplos yang khas. "Apaan sih lo!" Agnia langsung melototkan mata ke arah Agra. Agra segera membentuk huruf V dengan dua jarinya sebagai tanda perdamaian. "Fakta, Ratu Jomblo! Eh, maksud gue Agnia pacarnya Sanata." Reni mengeluarkan sisi ke-alay-annya untuk menggoda Agnia. Reni kemudian melirik sebentar ke arah Sanata. Ingin tahu ekspresi sahabatnya itu. Sanata hanya menyunggingkan senyum tipis padanya. Agra pura-pura batuk dan berdeham agak keras dengan sengaja. Sementara, kikikan Angkasa semakin terdengar mengeras saja, sebisa mungkin dia mengontrol tawanya agar tidak meledak. "Eh, San. Udah berapa lama lo pacaran sama Agnia?" tanya Reni dipenuhi rasa penasaran. Sanata membenarkan posisi duduknya. Menegakkan kedua bahu. Pandangannya kembali tertuju kepada Agnia. "Empat bulan," jawab Sanata cepat. Dengan suara berat yang terdengar mantap. Reaksi yang ditunjukkan Agnia begitu cepat. Dia menoleh ke arah Sanata. Kedua mata perempuan itu melebar. Pasalnya, Agnia tidak percaya jika Sanata bisa mengatakan sebuah kebohongan dengan sangat lancar. "Terus kenapa lo berdua kagak kasih tahu ke kita? Takut kena pajak jadian?" Angkasa ikut-ikutan menggoda. Agnia menggelengkan kepala. "Bukan. Gue malas aja ngakuin Sanata sebagai pacar gue. Apalagi, kami baru saja menjalin kasih. Dia awalnya sahabat gue. Jadi masih belum bisa terbiasa," terangnya dengan kurang santai. "Bilang malas ngakuin gue sebagai pacar. Tapi, pas gue tembak malah nggak nolak," sindir Sanata sembari melayangkan tatapan mengejek ke arah Agnia. Kedua mata perempuan itu kembali membelalak. Ingin rasanya dia membalas perkataan Sanata sekali kali. Akan tetapi, Lidahnya mendadak terasa kelu. Tawa puas ala Agra, Angkasa, dan Reni pun semakin memperkeruh suasana hatinya. "Mungkin Agnia sudah haus belaian kasih sayang seorang laki-laki," ceplos Agra disela tawanya yang belum mereda. Satu pukulan keras Agnia mendarat dengan indah di lengan kanan Agra. Kebetulan mereka duduk bersebelahan. Jadi, Agnia bisa dengan mudah melancarkan tonjokan mautnya pada sang sahabat. "Dih, lo kira gue ini wanita j****y apa!" seru perempuan itu terlihat kesal. Mata melotot. Agra meringis pelan. Kekuatan Agnia memang patut diperhitungkan. Tetapi, suara tawa Agra kian mengerasa tatkala mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Agnia. "Bukan jarang lagi. Tapi, tidak PERNAH," imbuh Reni dengan penekanan sangat sengaj pada kata terakhir dalam ucapannya. Kali ini tawa Sanata lepas. Ekspresi cengo yang diperlihatkan Agnia membuat dirinya tak tahan lagi. Terkadang Sanata berpikir betapa sayangnya, wajah lumayan cantik Agnia harus ternodai dengan raut muka polos plus b**o yang kerap perempuan itu tunjukkan secara tak sadar. "Serius ya, awalnya gue punya rencana buat 'mepetin' Agnia. Nyokap gue udah ngebet nyuruh ngenalin mantu. Secara gue kagak ada gebetan. Nah, gue mau nyoba PDKT sama Agnia. Tapi, waktu gue cerita ke Sanata. Dia malah ngaku pacaran sama Agnia," jelas Angkasa santai. Lalu, menandaskan minuman soda yang masih tersisa di gelasnya. Sanata kali ini bereaksi. Dia merangkul pundak Angkasa, menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu cukup keras. "Lo cari cewek lain aja. Agnia udah gue yang dijinakin." Sanata seakan-akan mendeklarasikan Agnia sebagai miliknya. "Kok gue merasa kayak hewan buas, ya? Mesti dijinakin segala." Entah pada siapa pertanyaan tersebut Agnia tujukan. Namun, yang jelas. Perkataan dan ekspresi Agnia itu berhasil mengundang tawa keempat sahabatnya. Sanata menggeleng pelan di tengah-tengah tawa yang belum dapat dikontrolnya. Terkadang Sanata masih suka jengah sendiri melihat kelakuan Agnia. "Bukan hewan buas. You're my girlfriend," tanggap Sanata seraya mengedipkan salah satu matanya, tepat ke arah Agnia. Seketika rasa mual menghantam perut Agnia. Perilaku Sanata yang sok manis nan romantis benar-benar membuatnya mual. "Pengin muntah gue, San." Agnia meluncurkan sindiran cukup pedasnya. "Hebat banget lo, San! Baru empat bulan pacaran. Sudah bisa bikin Agnia muntah-muntah. Suami gue aja kalah." Reni pun mengeluarkan aksi drama untuk menanggapi ucapan sang sahabat. Agnia yang kadar kepekaannya hari ini terasah cukup baik, langsung mengerti maksud dari kata-kata yang diutarakan Reni barusan. "Set dah, lo kira gue hamil?" Reni mengangguk mantap. "Siapa tahu gitu lo sama Sanata ntar keblablasan pas main sentuh-sentuh. Secara setan selalu suka bergentayangan di tengah sejoli yang kasmaran. Jadi deh tuh little Sanata." Agra dan Angkasa hanya tertawa tanpa mau ikut melibatkan diri dalam percakapan absurd dua sahabat wanita mereka. Sedangkan, Sanata menunggu jawaban seperti apa yang akan dikeluarkan Agnia. "Sanata harus nikahin gue dulu baru boleh ada yang kayak lo bilang," balas Agnia sembarang. Dia sebenarnya tidak yakin dengan perkataannya sendiri. Asal ceploslah. Kedua sudut bibir Sanata terangkat naik, setelah mendengar kata-kata Agnia yang bagai tantangan untuknya. "Jadi, lo mau nikah sama gue, Ag? Ayo mau kapan?" Agnia seketika menoleh ke arah Sanata. Lagi-lagi dengan bola mata yang melebar. Bulu kuduknya merinding. Sebab saat dia melihat ke dalam manik Sanata. Tak ada kebohongan yang tampak di mata sahabat baiknya itu. Padahal, Agnia berharap bahwa Sanata hanya melakukan akting belaka. “San, kalau lo lagi serius. Kenapa lo kelihatan menyeramkan bagi gue, ya. Jago emang lo memainkan ekspresi di wajah lo.” Agnia berniat menyindir. “Hahaha. Seriusan gue menyeramkan? Tapi, gue rasa nggak akan bisa mengurangi ketampanan gue. Mau gimana pun ekspresi gue, Ag.” ................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD