3. Soundtrack Wajib

1971 Words
Don't you shiver I'll always be waiting for you So you know how much I need you But you never even see me, do you And is this is my final chance of getting you Shiver By Coldplay  >>>>> Mau tahu judul lagu wajib yang selalu aku dengarkan dari music player di ponselku sejak baper dengan hubungan persahabatanku? Yap, ‘Shiver’ miliknya Coldplay. Lagu itu yang setia menyambut pagiku dan menjadi  ucapan selamat malam saat menjelang tidurku. Lagu itu juga aku jadikan ringtone khusus untuk kontak ponsel Rama. Sumveh ya, lagunya itu enak banget, tapi galz artinya nyelekit parah. Nendang senendangnya buat yang merasa terjebak dalam labirin friendzone seperti yang aku alami selama sebelas tahun ini. Sore ini, aku berencana mengunjungi showroom yang aku jadikan alternatif terakhir tempat menyerahkan sisa hidupku, eh maksudku harapan terakhirku mendapatkan freelance dengan gaji lumayan. Hanya bos showroom itu yang bisa memberiku gaji di awal, tidak seperti tempat-tempat lain. Ralat! Yang bisa aku paksa memberiku gaji di awal. Begitu lebih tepatnya. Awalnya aku ingin pergi sendiri, tapi Rama bersikeras mengantarku, mana sanggup Prilly menolak. Sekarang aku sudah duduk manis di samping Rama yang sore ini terlihat fresh seperti apel baru dipetik dengan mengenakan kaus oblong warna merah maroon bergambar karikatur tumpukan buku yang sedang menggencet satu ekor tikus putih di bawahnya. Kata Rama makna dari gambar kausnya itu kita bunuh para koruptor dengan ilmu pengetahuan. Idealis sekali dokter muda satu ini. Mandeh ... ganteng bana laki-laki di sabalah ambo ko. Ganteng beneran loh, bukan ganteng dipelesetin jadi gadang tengak yang artinya bodoh dalam bahasa Minang. Matanya itu loh menenangkan, bibirnya tidak terlalu tebal cenderung kecil untuk ukuran cowok, kulitnya juga tidak terlalu putih seperti aktor-aktor Korea. Rambutnya berombak tersisir rapi tapi nggak yang sampai klimis macam petugas kelurahan. Penampilannya jika sedang mengenakan pakaian casual seperti ini sangat berbeda daripada ketika mengenakan pakaian kerja. Slimfit ala-ala eksmud kalah sama kaus oblong beraneka warna yang sering dikenakan oleh Rama. Ngomong-ngomong soal kaus dan kemeja slimfit, hampir 90% pakaian yang ada di lemari Rama adalah pilihanku dan dia pasti membelinya bersamaku. Jadi bisa dipastikan aku hapal betul dengan pakaian dan outfit lain milik Rama. Segitunya sih? Santai lah, nggak perlu ngegas gitu. Itu tadi hanya segelintir contoh kedekatan kami berdua. Daftar lainnya masih panjang, sepanjang rel kereta api Banyuwangi Jakarta. Sebelas tahun bersama sodara-sodara. Kalau dipakai menyicil KPR ya sudah lunas. “Tempatnya masih di tempat yang dulu kan?” Rama membuyarkan segala lamunanku tentangnya. “Iya masih kok, Da.” Aku menyebutkan alamat showroom yang hendak aku tuju. Rama sepertinya kurang nyaman. “Kok nggak pagi aja.” Dia berujar tanpa menatapku, tanda kalau laki-laki itu sebenarnya bukan sedang bertanya, tapi sedang bertitah. “Kalo pagi biasanya bosnya masih molor, Da. Masih bikin peta pulau Jawa.” Rama terbahak mendengar kelakarku. “Trus sepagian ini kamu ngapain?” “Tadi abis freelance di tempat bimbingan belajar. Gantiin temen yang biasa ngajar bahasa Inggris SD.” “Abis itu? Soalnya dari tadi kayaknya sibuk banget. Chat aku aja lama balesnya.” Penting gitu??? Rama suka aneh deh sekarang. Biasanya juga sekalipun aku nggak balas chat-nya dia nggak yang terlalu ambil pusing seperti sekarang ini. Nanyanya sudah macam detektif swasta saja. “Abis ngajar trus ke Best Chicken. Gantiin temen lagi cuti nikah. Kasian sih, daripada dia berhenti, jadi aku gantiin tugas dia. Lumayan dapat 200 ribu selama seminggu.” “Kenapa kamu mesti susah-susah kayak gitu? Kan masih ada orang tua kamu yang membiayai semua kebutuhan kamu.” “Kalau aja Uda lupa bagaimana kondisi keuangan keluargaku pasca gempa waktu itu. Aku bisa kuliah sampai saat ini aja udah bagus,” ucapku kesal sekaligus sedih. “Maaf. Aku bukannya mau nyinggung. Oke ralat, ada aku maksudnya yang bisa bantu memikul beban kamu juga.” Kalo lo pacar gue tanpa lo minta juga gue yang bakal neror elo buat bantuin gue, Ram. Aku diam. Malas berdebat soal perbedaan kondisi finansialku dan Rama yang begitu timpang. Lagian aku tidak suka dianggap lemah dan tidak butuh dikasihani. Itu bukan gayaku. Lima belas menit berkendara dari kosanku menuju showroom yang letaknya di pinggir jalan raya provinsi yang merupakan akses keluar kota ini, Yaris putih milik Rama sudah sampai di depan showroom besar ini. Mobil si bos ada, artinya bos pemilik showroom ada di dalam. Saat aku hendak melangkah masuk, tubuh jangkung seorang laki-laki menghadang jalanku. Urang apo galah sih ang? Gadang bana? Eh, ternyata laki-laki yang aku ingin temui ada di hadapanku dan menatap aneh seolah aku ini lalat yang siap dibasmi. Aku menampilkan senyum terbaikku. Si bos malah mengerutkan keningnya. “Santi, ada SPG rokok nih. Kalo rokok saya belikan aja, nanti uangnya diganti. Saya keburu banget.” Aku menatap nista penampilanku hasil karya Tita Sutita sahabat dunia akhiratku. Bela... Pantas saja. Si bos pasti mengira aku adalah mbak-mbak penjual rokok keliling. Yaaah tapi si bos mau ke mana coba. Nuke datang mas Boy-nya pergi, kan sia-sia pinjam rok pensil punya Tita dan kemeja pas body punya Franda nih. Mana mereka minta jatah traktir mie apong porsi besar lagi kalau aku keterima freelance di sini. “Mbak, bosnya mau ke mana tuh?” tanyaku agak kesal pada seorang perempuan yang tadi diberi titah oleh si bos. “Lagi buru-buru. Lagi sibuk juga dia. Kalau penting balik lagi aja besok. Percuma nunggu.” Aku mengangguk pasrah. Lalu kembali bertanya. “Masih dibutuhin marketing nggak mbak?” “Siapa yang mau kerja?” “Saya sendiri mbak?” “Tamat apa?” “SMA sih, sekarang lagi kuliah semester tujuh.”  “Kuat kamu kerja under presure?” “Kalau gaji dan insentifnya sepadan sih nggak masalah,” jawabku penuh percaya diri. “Besok balik lagi ya, saran saya mending kamu pakai celana bahan aja atau celana jeans juga nggak masalah. Trus kemejanya jangan yang ngetat gitu. Pakai blouse biasa aja, kayak pakaian kamu kalau kuliah gitu lah. Nanti dikira SPG rokok lagi kamu sama mas Andra kalo pakek pakaian kayak sekarang ini.” Mbak itu menahan tawanya. Mungkin  membayangkan kembali wajah bosnya tadi saat menyangka aku seorang SPG rokok. Aku terkekeh menahan malu. “Iya mbak makasih sarannya. Pasti saya ikuti.” Aku pamit dan kembali ke mobil dengan wajah tertekuk. “Kok cepet?” Rama menatapku iba. “Bosnya sibuk.” “Sekarang mau ke mana lagi?” “Pulang aja.” “Ke Royal Palace yuk. Lama nggak battle.” Rama menaik turunkan alisnya. Royal Palace itu salah satu supermarket atau departement store gitu lah yang ada di kota tempatku menempuh pendidikan strata satu selama hampir empat tahun ini. “Curang! Aku pakai rok gini, mana sempit lagi,” gerutuku. Battle yang dimaksud Rama adalah game dance yang ada di Time Zone Royal Palace. Yang mengharuskan seluruh tubuh bergerak bebas. Aku biasa memainkan permainan ini dengan Rama sejak kami SMP dulu. Tuh kan nongol lagi contoh kecil kedekatan kami. Rama ngotot minta diantar ke Royal Palace dan battle dance sampai gempor. Karena dia malas sekali jika harus putar balik ke daerah kampus hanya untuk mengantarku tukar pakaian, akhirnya dia mentraktirku belanja. Aku memilih jumsuit model celana, berbahan kaos, lengan pendek dan panjangnya sebatas lutut. “Masih pantes deh kamu jadi anak SMA.” Rama ketawa kecil melihat penampilanku saat keluar dari kamar ganti. “Makasih pujiannya pak dokter. Artinya aku awet muda dong?” Aku menaik turunkan alisku menggoda Rama. Rama mengacak rambutku dengan lembut. “Masih pantes kok,” ujar Rama lalu menggandeng tanganku menuju arena time zone. Mandeeeh... Aku lupa caranya bernapas. Dadaku sesak sodarah-sodarah. Ba'a ko? Biso mati, den. Aku berusaha menetralisir aliran pernapasanku. Itu mukanya si Rama kenapa bisa senyum ‘gaje’ gitu, njiiir??? Aku pengin nangis rasanya. Pasti kalah telak habis ini, karena napasku sudah keburu habis, dan jantungku tidak berhenti berdebar kencang. Namun, aku tetaplah aku, tidak bisa terkalahkan dalam hal game apa pun. Meski pak Dokter melompat sampai bengek, pecinta freelance inilah juaranya. Hahahaha... Aku tidak bisa berhenti tertawa melihat Rama yang kesusahan mengatur pernapasannya. Tanpa lelah, aku mengajak Rama bermain game yang lain seperti bola pingpong, basket dan balapan mobil. Semuanya tetap dimenangkan oleh aku. Bahkan untuk mengambil sebuah boneka di dalam etalase mesin penjepit berhadiah saja, dia tidak sanggup. Bagaimana mau menaklukan hati dan menjepit hatiku coba??? Ugh, Bae Suzy makin galau. Setelah puas bermain, aku baru sadar kalau belum menyiapkan makan malam untukku dan Rama. Saat aku mengutarakan hal tersebut, Rama justru membebaskan tugasku untuk malam ini. Selesai solat magrib berjamaah di Mushalla yang berada di kawasan mall, Rama mengajakku makan di sebuah restoran seafood, masih di dalam kawasan Royal Palace. “Aku bisa masak yang lebih enak dari ini,” bisikku saat mencicipi cumi saus tiram milik Rama. “Besok masakin ya!” Aku mengangkat jempol kiriku sambil manggut-manggut semangat. Rama tersenyum hangat dan membuat jantungku mulai bermasalah seperti tadi. Rama mengantarku pulang sampai pintu gerbang kosan. Baru saja b****g seksiku menyentuh kasur busa, Tita menggedor pintu kamarku dengan nggak sopannya. Emang Betawi nggak tahu aturan itu bocah. Ketahuan bokapnya sering nilep duit bulanan tahu rasa lo. “Apa?” Kepalaku muncul di kaca jendela, setelah menyingkap korden motif bunga tulip yang menggantung manja di jendela mungil kamar berukuran 3x4 ini. “Buka!” Perintah Tita seperti gerwani zaman PKI. “Apa sih?” “Gimana? Lo keterima?” Tita menyeringai. Bola mata yang cenderung sipit itu memaksakan diri membelalak. Tita ini cantik, tapi kadang agak norak. “Si bos sibuk. Besok mau coba ke sana lagi.” “Kenapa nggak lo coba samperin ke rumahnya! Atau lo taro aja surat lamaran lo.” Tita menjetikkan dua jarinya mengartikan bahwa dia sudah mencetuskan sebuah ide yang begitu jenius. “Lo ingat, surat permintaan magang gue berakhir di mana waktu itu gara-gara gue nitipinnya ke pegawai showroom? Tong sampah sistah.” Aku menoyor kepala Tita yang kadang otaknya suka ngadat macam bentor alias becak motor. “Iya ya. Gue lupa. Trus besok lo balik lagi dong?” “So pasti lah. Waktu terakhir registrasi tinggal lima hari doang. Gue lagi nyusun strategi, mencari manuver yang tepat untuk menggoyahkan pertahanan bos super annoying itu.” “Manuver apa? Eh, kamu abis dianter Albar ya?” Franda melebarkan daun pintu yang tidak ditutup rapat oleh Tita. Albar yang dimaksud Franda adalah Rama. Nanti aku ceritakan kenapa Rama bisa mempunyai nama panggilan lain. “Kok tau? Asa Uda Rama udah balik daritadi deh.” “Ciyus. Aku lihat dia lagi ngobrol sama mbak-mbak kosan depan kok di samping mobilnya. Mbak Rasti, dokter gigi yang pernah kasih kamu gratisan pasang behel itu loh.” What theee??? Mbak Rasti itu idola cowok-cowok sekompleks. Tinggi, langsing, mulus, muka lonjong dan tirus, mata kecil, hidung mancung, seperti artis Korea gitu lah. Aku menyebutnya Song Hye Kyo-nya Indonesia. Kalah telaklah akika. Ibaratkan dia apel fuji super impor dari Jepang, sedangkan aku apel busuk yang cuma berakhir di tong sampah pedagang es jus. Aku keluar dari kamar dan mengintip dari balik pagar. Uda-ku sedang bersenda gurau dengan titisan Dewi Aprodhite itu. Rama tertawa lepas. Berarti dia tidak langsung pulang ke kosannya setelah mengantarku tadi. Karena kebetulan saat keluar dari mobilnya aku bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku menyuruh Rama langsung pulang saja. Tita menepuk pundakku. Franda mengusap rambutku. “Upik abu yang sabar ya sayang. Mungkin sang pangeran sedang tersesat dan tak tau arah jalan pulang. Yang penting dia selalu ada buat kamu. Dia cuma sahabat kamu, nggak lebih. Camkan itu, Nak! Jadi kamu nggak boleh menuntut dia boleh berteman dengan siapa-siapa aja, oke!” Franda memberiku nasihat panjang lebar ala Ustadz Maulana. “Apaan sih lo pada? Gue cuma mau mastiin Rama ngobrol sama siapa? Kalau sama waker sini kan bahaya. Nanti mbah Engkus cerita lagi, kalau aku suka nyanyi-nyanyi tengah malam di atap. Bebe Rexha kan malu,” ujarku pura-pura tersipu. “Silitmu!” maki Franda. Aku menunjukkan bokongku pada Franda. Tita malah menendang bokongku hingga aku terduduk di tanah. Tita dan Franda kembali menuju kamar masing-masing tanpa membantuku berdiri. Kamar kami bertiga memang terpisah. Meski bersahabat, kami tetap butuh yang namanya ruang privasi. Aku beruntung bertemu dan bisa bersahabat dengan dua gadis langka itu. Mereka tidak pernah tahu tentang perasaanku yang sebenarnya pada Rama seperti apa. Selama ini Tita maupun Franda hanya suka meledekku dan menebak saja aliran persahabatanku dan Rama akan bermuara di mana. Gara-gara mengintip keakraban Rasti dan Rama aku jadi lupa mau membuat manuver apa untuk menaklukan hati si bos showroom besok. Ondeh, sudah kayak judul FTV pun. Bala... ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD