Dara meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja dengan asap yang masih mengepul. Wanita itu hanya melirik Dara dan kembali menghisap ujung tembakau lalu menghembuskan asap yang lebih tebal dari hidung dan mulutnya. Dara tidak banyak bicara, ia kemudian berjalan untuk mengambil sepatunya yang berada pada rak di bawah tangga.
"Uang kamu masih ada, kan?" suara wanita itu membuat Dara berhenti bergerak, ia menolehkan kepalanya kepada Ratna-ibu kandungnya yang kini sedang duduk sambil merokok dengan dua kakinya yang terangkat ke atas meja.
"Kemarin abis buat beli buku, tinggal sisa buat hari ini doang." jawab Dara, ia kemudian duduk di lantai untuk memakai sepatu.
Mendengar itu, Ratna langsung mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan yang ada di saku celana pendek yang ia kenakan. Wanita itu kemudian melemparnya ke punggung Dara karena terlalu malas untuk berjalan menghampiri anak tunggalnya itu. "Tuh, buat tiga hari."
Dara diam sebentar, ia selesai mengikat tali sepatunya. Dua detik kemudian ia baru bergerak untuk mengumpulkan uang-uang yang tercecer di lantai dan memasukkannya ke dalam saku seragam. "Aku berangkat,"
"Hm," jawab Ratna sekenanya. "Jangan lupa tutup pintu gerbang!"
Dara mengangguk, ia mengeratkan sweater tipis yang melekat di tubuhnya. Udara pukul enam pagi masih terasa dingin, belum lagi tadi malam hujan mengguyur langit Jakarta dengan cukup deras sehingga membuat genangan air di sekitar area gang sempit tempat Dara bermukim.
Dara sudah pindah rumah sebanyak lebih dari tiga kali, alasannya bermacam-macam dan Dara tidak ingin tahu karena itu urusan Ratna. Wanita itu juga bukan tipikal yang suka berbaur dengan tetangga, hingga Dara tidak banyak mengenal banyak orang di sekitar rumahnya. Mereka hanya tinggal berdua, karena Dara tidak pernah tahu dimana Ayahnya sekarang berada.
Jarum pendek berada diantara angka enam dan tujuh ketika Dara turun dari angkot, ia harus berjalan sekitar seratus meter lagi untuk sampai ke gedung sekolahnya yang berada di area komplek perumahan elit. Kebanyakan dari mereka ke sekolah menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan online. Tapi masih ada beberapa siswa yang juga berangkat dengan kendaraan umum, meski hanya sedikit.
Scratt!
"Woy! Sinting ya?!" Dara memekik ketika sebuah mobil civic putih melintas dengan kecepatan tinggi dan berhasil membuat roknya terkena cipratan dari genangan air berlumpur di sisi jalan. Mobil itu berhenti dua meter di depan dan Dara masih mengamatinya dengan tatapan tajam sampai pemilik mobil itu menurunkan kaca mobilnya.
"Good morning, b***h!" sapa Rafka, lalu menyeringai sinis.
Seketika tangan Dara mengepal hingga buku-buku jarinya memutih, ia emosi tapi Dara tidak ingin berteriak dan membuang energinya sia-sia. Perempuan itu pada akhirnya hanya diam hingga Rafka tertawa puas dan kembali menaikkan kaca mobilnya.
Saat mobil itu perlahan mulai menjauh, Dara menendang kakinya ke udara lalu berteriak, "AWAS YA LO SETAAANNN!!"
***
Pelajaran pertama hari ini adalah Sosiologi, tapi tidak ada guru yang masuk ke kelas sehingga kelas menjadi tidak kondusif. Beberapa ada yang bergerombol membentuk kubu untuk bergosip, ada juga yang sibuk bermain game online di ponsel masing-masing, dan kursi-kursi kosong yang tersisa ditinggal penghuninya ke kantin atau mungkin tidur di UKS.
Sementara Dara adalah tipe murid yang asik sendiri. Perempuan itu menyumpal telinga dengan earphone dan menyetel musik dengan volume sedang. Dengan dua lengan terlipat, Dara tertidur selama dua puluh menit pertama sampai seseorang sengaja menggebrak mejanya dua kali hingga perempuan itu langsung terlonjak kaget dan bangun seketika.
Gebrakan meja yang dilakukan oleh Rafka itu bukan hanya membangunkan Dara, tapi juga seisi kelas langsung menaruh perhatian pada mereka, termasuk kubu perempuan yang tadi sedang sibuk bergosip.
"Ahh," Dara memegangi kepalanya yang pusing karena dibangunkan secara tidak manusiawi seperti itu. Rasanya Dara ingin mencakar wajah Rafka hingga berdarah, tapi ia justru hanya bisa diam dan menatap Rafka dengan tatapan tajam. "Nggak ada kerjaan ya lo?"
"Ada," Rafka tersenyum. Ia kemudian duduk di kursi Farah, orang yang duduk persis di depan Dara. Rafka bersedekap dan mencondongkan kepalanya ke arah Dara. "Lo nggak tau ya? Kan mulai hari ini, kerjaan gue cuma gangguin lo."
Dara berdecak, ia mencabut kabel earphone-nya dengan satu tarikan dan berdiri dari kursi, namun Rafka menahan tangan Dara sebelum perempuan itu melewatinya. "Sans, dong... Mau kemana, sih? Buru-buru amat kayak kebelet boker."
Dara segera menyingkirkan tangan Rafka, "Jangan pegang-pegang! Najis."
Rafka tertawa dengan ekspresi arogan yang khas. Laki-laki itu ikut berdiri dari dari kursi dan seketika Dara harus mendongak ke atas untuk menatapnya karena tinggi badan Rafka yang lebih unggul. Rafka memasukan kedua tangan ke dalam saku celana, lalu memiringkan kepalanya, "Gue baru tau kalo kita sekelas. Kenalan dulu, dong."
Dara menatap uluran tangan Rafka yang mengambang di udara dengan sebelah alisnya yang terangkat. Dara enggan menjabat tangan Rafka, bahkan ia tidak ingin menyentuhnya sama sekali. Rafka tersenyum simpul ketika Dara tidak membalas sikap baiknya, maka laki-laki itu segera memasukkan kembali tangan ke dalam saku celana dan berjalan selangkah lebih dekat. Rafka melirik name tag yang terbordir di kemeja putih Dara, "Kayaknya nggak perlu kenalan. Lo juga udah tau siapa gue, dan sekarang gue juga udah tau siapa lo. Nama lo... Dara, kan? Dara Aretha."
Dara hanya mematung ketika Rafka berbicara dengan jarak sedekat ini. Kedua tangannya mulai berkeringat karena mengepal kuat-kuat di samping jaitan roknya. Tapi pertahanan Dara belum runtuh, tatapan matanya masih beradu dengan bola mata hitam milik laki-laki itu.
"Oke," Rafka kembali mundur satu langkah sambil menyeringai. Seringaian yang kebanyakan anak perempuan bilang seksi itu nyatanya sama sekali tidak membuat Dara terpesona, melainkan semakin membuatnya benci karena itu adalah ekspresi arogan khas milik Rafka. "Hari ini mungkin lo jual mahal sama gue. Tapi suatu saat nanti gue pastiin lo bakal ngesot-ngesot di depan kaki gue. Rafat aja."
Mendengar itu Dara memalingkan wajah sambil berdecih. Ia kembali memandang Rafka dengan sorot mata tajamnya. "Mau lo liatin sampe mata lo jadi tiga pun gue nggak akan pernah sudi jongkok apalagi sampe ngesot di depan kaki lo! Ngerti?!"
Rafka hanya tertawa kecil, ia mundur selangkah demi selangkah. Lalu kemudian Rafka tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya dan mengedipkan sebelah matanya ke arah Dara, sebelum akhirnya laki-laki itu berbalik dan melenggang pergi ke luar kelas.
Ketika orang-orang mengira Rafka sedang menggoda Dara, yang Dara tangkap dari ekspresi itu adalah signal bahwa Rafka menyatakan bahwa perang baru saja di mulai.
Started from today, i officially hate you, bastard.
***
"Siapa tadi namanya?"
"Dara," jawab Rafka. Laki-laki itu menyelipkan sebatang rokok di ujung bibir, lalu mengeluarkan sebuah korek gas dan membakar bagian ujungnya.
"Kayaknya galak, ya?" tanya Farrel yang kini sedang fokus mengisi teka-teki silang bersama Nevin di pojok meja.
"Rafar," Rafka mengoreksi.
"Rafar gimana?" kini Nevin ikut mengalihkan perhatiannya. Laki-laki menyeruput kopi hitam yang tersisa setengah gelas.
"Ya gitu," Rafka menghisap rokoknya, sebelum menghembuskan asap mengepul melalui lubang hidung dan mulut. "Lo tau nggak, sih? Tipikal cewek yang berani, songong, terus belagu?"
"Tipe lo yang kayak gitu?" tanya Nevin.
"Bukan, bukan gitu juga." Rafka berdiri, mengapit batang rokok itu diantara jari telunjuk dan jari tengahnya. "Maksudnya tuh, gue baru nemu aja cewek yang se-berani itu."
"Ya jelas lah, orang biasanya cewek-cewek nempel mulu sama lo. Mau aja lo apa-apain," sahut Ares. Suaranya baru terdengar karena sejak tadi ia sibuk membalas chat dari Dinda. "Makanya sekalinya liat cewek beranian gitu lo ngerasa aneh. Iya, kan?"
Farrel menutup buku teka-teki silangnya karena menyerah, ia berdiri dan masuk ke dalam warung untuk membeli rokok, lalu keluar lagi dengan sebatang rokok yang sudah dibakar, "Orangnya yang mana, sih?"
"Lo pernah sekelas, bego." sahut Ares, sementara pandangannya fokus pada layar ponsel. "Waktu kelas sepuluh."
"Masa, sih?" Farrel berusaha mengingat-ingat. "Dara, yang pendek itu?"
"Sialan, lu." Rafka meninju lengan Farrel hingga laki-laki itu otomatis meninju balik. "Biar badannya kecil tapi tenagannya gede."
"Lah iya, makanya lo sampe kejengkang di kantin kemaren, kan! Hahaha." Ares tertawa ngakak, membuat Rafka melayangkan tinju di udara sambil bercanda. "Salah nggak gue?"
"Seriusan?!" sahut Nevin, ekspresinya seolah dibuat-buat.
"Nggak, Nggak, bohong! Mau aja lo dikibulin si Ares!" Rafka mengelak, meskipun tak mendapat tanggapan dari teman-temannya.
Ares memasukkan ponselnya ke dalam saku, ia mulai fokus bercerita. "Abis itu ya, udah dia kejengkang, si Dara langsung dudukin perutnya! WEH, menang banyak dah si Rafka, sumpah!"
"Terus kenapa nggak lo gulingin balik aja, sih? Kan ntar jadi lo yang di atas?!" tanya Nevin antusias, diantara yang lain, Nevin ini adalah yang paling ngeres pikirannya.
Ares tertawa lagi, "Lah gimana mau ngegulingin si Dara?! orang dia aja dicekek sampe lemes. Cemen banget emang!"
"b**o, haha."
"Nggak gitu, b******k!" Rafka menoyor kepala Ares. "Kenapa cerita lo jadi ngawur, sih?!"
"Lah emang reality, kok!"
"Seksi, ya?" tanya Farrel, lebih kepada dirinya sendiri.
"Siapa?"
"Si Dara-Dara itu. Nyesel gue waktu dulu sekelas nggak mepet dia aja," ungkap Farrel. Tapi kemudian ia tertawa.
"Gue cepuin ah..." Nevin melirik Farrel sinis. "Doi lo namanya siapa sih? Gue lupa?"
Farrel menoyor kepala Nevin. "Janganlah, bodo. Sembarangan lu!"
Mereka berempat tertawa. Saat itu warung Kang Ujang sedang sepi sehingga hanya ada Rafka dan teman-teman satu kubunya di sana. Mereka berempat berada di kelas yang berbeda untuk tahun ini. Mereka berempat bertemu di kelas yang sama saat kelas sebelas, dan karena sering membuat ulah, pihak kesiswaan sepakat memisahkan mereka berempat di kelas yang berbeda. Padahal semua itu sama sekali tidak berpengaruh karena kenyataannya mereka akan tetap menjadi empat anak berandalan di sekolah.
"Cabut, ah." Rafka mematikan rokoknya dan mulai memakai jaket levi's yang ia sampirkan di atas motor Nevin. "Vin, lo bawa motor?"
"Iye, mobil gue dipake Nyokap," jawab Nevin. "Mobil lo parkir dimana?"
"Biasa, di depan indomaret," kata Rafka. Mengingat halaman depan warung Kang Ujang agak sempit dan hanya bisa menjadi tempat parkir yang bahkan tidak lebih dari lima motor. Rafka melirik Ares, "Ar, mau nebeng nggak?"
"Kagak, gue ikut Farrel aja, ntar lo harus muter lagi kalo gue tebengin." Ares menggeleng, dan Farrel yang namanya di sebut itu hanya mengacungkan sebelah jempol karena satu tangannya sedang fokus bermain mobile legend.
"Santai aja kali, bos." Rafka terkekeh. "Ya udah kalo gitu gue duluan ya, keburu magrib. Ntar nggak sempet solat, lagi."
"ciYAAAA, tumben solat!" seru Ares dan Nevin bersamaan. Farrel yang mendengar itu hanya ikut tertawa.
"Biasanya diajakin jumatan aja males lu!" tambah Ares, meledek.
"HEH!" Rafka melotot. "Setan emang ya lo semua, udah ah gue cabut!"
"Yooo, tiati!"
***
Jam menunjukkan pukul satu dini hari ketika Dara terbangun dari tidurnya. Perempuan itu turun dari ranjang dan menyingkap selimut karena tiba-tiba ia merasa ingin buang air kecil. Kamar mandinya berada di dekat dapur dan perempuan itu segera melangkah sambil berlari kecil melewati ruang tengah yang gelap.
Rafma menit berikutnya, Dara sudah kembali dengan langkah yang lebih tenang. Dara mengeringkan tangannya dengan mengelapkan telapak tangan ke celana sebelum mendorong pintu kamarnya.
"Ssshh,"
"..."
"...uhm, ahh.."
"..."
"Hmm.."
"..."
Dara seketika mematung, bahkan tangannya masih berada di knop pintu yang dingin. Kepalanya perlahan menoleh ke arah pintu kamar sebelah yang tidak tertutup rapat sehingga memperlihatkan celah sempit. Segaris cahaya kuning dari lampu yang berada di dalam kamar menembus keluar dan menyorot ruang tengah yang gelap.
Dara menelan ludah, ia tahu apa yang sedang dua orang manusia itu lakukan di dalam sana. Dara tahu bahwa wanita yang baru saja mendesah dengan s*****l adalah Ratna, ibu kandungnya. Tapi yang Dara tidak tahu adalah siapa p****************g yang berada di kamar itu. Dara yakin pria itu berbeda dari yang minggu kemarin.
Dan ini bukan pertama kali Ratna membawa klien-nya ke rumah. Sebenarnya tidak sering, karena Ratna biasanya hanya akan menerima sewaan di hotel berbintang. Dan pria yang Ratna bawa ke rumah hanyalah pria tertentu. Seperti pacarnya, mungkin.
Entahlah, Dara tidak ingin tahu. Yang pasti setiap Ratna membawa seorang pria asing ke rumah, wanita itu selalu melarang Dara keluar kamar bahkan jika pria itu belum pulang sampai besok pagi, Dara bisa jadi tidak pergi ke sekolah sampai pria itu benar-benar pergi dari rumah.
Dengan tangan bergetar ia segera mendorong pintu kamar untuk masuk ke dalam dan menutupnya sepelan mungkin. Keringat dingin mengucur di peluhnya dan lututnya lemas. Dara merosot dan duduk sambil bersandar di pintu, telinganya ia tutup rapat-rapat berharap desahan s*****l itu tidak membayangi otaknya terus-menerus.
Ketika semua orang menganggap Dara adalah perempuan bernyali tinggi, kenyataannya tidak. Perempuan itu tetap rapuh. Seperti daun musim gugur yang kering dan akan hancur jika sekali saja terinjak oleh kaki.
Sejauh apapun Dara berlari, sekuat apapun Dara mengelak kenyataanya ia tidak pernah bisa mengingkari fakta bahwa ia adalah putri dari seorang p*****r. Dan Dara tidak lebih dari sekedar anak yang tidak diinginkan oleh Ratna, atau mungkin hanya kecerobohan wanita itu dalam pekerjaannya.
.
.
(TBC)