BAGIAN 3

1928 Words
"Pindah dong," Dara menolehkan kepalanya ke belakang, mendapati Ajeng yang sedang sibuk melengkapi catatan bukunya tiba-tiba di ganggu oleh laki-laki sialan yang kemarin juga mengganggu tidur siangnya. "Mau kemana?" tanya Dara pelan ketika Ajeng membawa tas dan buku-bukunya dari meja. "Pindah ke depan," jawab Ajeng sekenanya. Tatapan matanya memperlihatkan kepasrahan karena perempuan itu tidak ingin menjadi seperti Dara yang sampai sekarang masih berurusan dengan laki-laki tengil bernama Rafka itu. Dara hanya mengangguk dan menatap Ajeng yang kini sudah menaruh buku-bukunya di meja paling depan. Itu adalah tempat duduk Rafka sebelumnya, dan sekarang laki-laki itu duduk di belakangnya. Iya, tepat di belakangnya. Pagi ini firasatnya tidak enak, dan ia tidak yakin dengan apa yang akan terjadi nanti siang, besok dan besoknya lagi. Selama Rafka masih berada di sekitarnya, selama itu pula Dara tidak akan pernah mengingat lagi bagaimana rasanya hidup tenang. *** Masuk jam pelajaran kedua, kini kelasnya sedang melakukan sesi listening untuk pelajaran bahasa inggris. Semua orang sibuk berkonsentrasi dan memasang telinganya lebar-lebar agar bisa mengisi soal di buku masing-masing. Ngomong-ngomong, Kelas ini terdiri dari dua puluh lima orang, mereka semua memiliki bangku yang saling terpisah. Seisi kelas ini adalah sekumpulan murid individualis yang fokus pada urusan mereka sendiri. Tapi semenjak hari pertama semester baru di mulai, atau lebih tepatnya saat mereka semua berada di kelas yang sama dengan Rafka, mereka semua tidak lagi bisa fokus pada urusan masing-masing. Rafka selalu membuat ulah, bahkan ini baru tiga hari pertama kelas intensif di mulai. "Ak'!" Dara menoleh ke belakang untuk yang ke sekian kali ketika ia merasa rambutnya yang dikuncir satu itu di tarik. Dan yang ia lihat masih sama, Rafka berpura-pura tertidur dengan kedua lengan yang terlipat seolah barusan yang menarik rambutnya adalah mahkluk ghaib. Dara memutar bola mata dan kembali fokus pada soal yang hampir saja terlewat, ia sedang berkonsentrasi karena ia tidak ingin membuat masalah di kelas Miss Anna, guru bahasa inggris yang terkenal disiplin dan keras kepala itu. Matanya sesekali mencuri pandang pada wanita dengan ekspresi judes-nya yang kini sedang bersedekap dan berdiri di tengah-tengah kelas mengamati satu persatu muridnya. "Aw! Sakitt!" Dara meringis, perempuan itu tidak tahan lagi dan sekarang ia berani memukulkan pulpen-nya ke kepala Rafka yang masih telungkup di atas meja. Dara berbisik keras, "Bisa diem nggak, sih lo?!" Tidak ada respon. Dara memang hanya membuang-buang waktu seolah ia sedang berbicara dengan sebuah patung hidup. Perempuan itu mulai kesal dan mulai menggerakkan kursinya ke depan agar Rafka tidak bisa menjangkau rambutnya lagi. Untuk lima menit selanjutnya memang tidak, tapi ketika Dara sedang kembali fokus pada lembar terakhir soal listening di tangannya. Tiba-tiba kursi yang ia duduki ditarik kuat hingga membuat ia berjengit kaget dan refleks berdiri lalu menggebrak meja Rafka. "LO TUH KENAPA SIH?!" Teriakan Dara itu sukses membuat perhatian seisi kelas tersita. Miss Anna kemudian berjalan menghampiri tape dan mematikan audio soal hingga kelas menjadi hening seketika. Rafka kemudian mengangkat wajahnya dan melakukan peregangan sambil menguap lalu tersenyum miring ke arah Dara. "DASAR COWOK SINTING!" "Hey Dara, why are you so noisy?" Dara menolehkan kepala ke arah wanita yang kini berjalan ke arahanya dengan aura horor, menyadari bahwa semua pasang mata kini menatap ke arahnya, ia menelan ludah. "Miss, dia dari tadi jambak rambut saya terus," Miss Anna menatap Rafka yang kini juga membalas tatapannya, wanita itu juga melihat bagaimana Rafka menarik rambut teman perempuannya. Tapi ia tidak ingin mempersulit posisinya dengan anak pemilik Yayasan yang terkenal hobi mengadu domba itu. Tahun lalu seorang guru sejarah dipindah tugaskan ke sekolah lain-yang bernaung di Yayasan yang sama-hanya karena menyita rokok Rafka. Miss Anna menekan kaca mata yang berada di pangkal hidung yang sedikit turun, "Bener, Rafka?" "Iya, bener." jawab Rafka dengan intonasi yang sangat tenang dan hal itu lantas membuat Dara melotot. Miss Anna menggelengkan kepala samar, kepalanya mendadak pusing, ia menghela napas kasar. "Kalian berdua, keluar." Dara berdecak, "Tapi bu, kenapa saya juga harus-" "Keluar," seru Miss Anna dengan penuh penekanan. "Jangan masuk sampai pelajaran saya selesai." Rafka tersenyum, dan segera berdiri lalu melengos pergi keluar kelas. Miss Anna memperhatikan punggung laki-laki itu dan menatap Dara, "Kamu bisa ke ruangan saya habis istirahat nanti, kalau kamu mau ngulang sesi listening-nya." Dara mengangguk, ia keluar dengan wajah pasrah menyusul Rafka yang sudah keluar lebih dulu. Begitu perempuan itu melewati pintu kelas, sebuah kaki panjang seolah sengaja diluruskan hingga membuat Dara seketika terjatuh dengan posisi terduduk. "SETAN!!" Tanpa menepuk debu yang berada di lututnya Dara langsung bangkit dan menarik kerah seragam Rafka, membuat Rafka sedikit condong ke arah Dara yang tingginya lebih pendek darinya. Rafka hanya menyeringai, kedua tangannya masih berada dalam saku celana dan ia tanpa takut membalas tatapan tajam Dara yang penuh emosi. Untuk lima detik, Dara menatap bola mata hitam laki-laki di depannya lalu saat sadar bahwa hanya membuang-buang waktu, Dara langsung mendorong Rafka hingga membuat laki-laki itu sedikit terhuyung kecil. "AH! b******k!" Dara berjalan sambil sedikit menghentakkan kaki, lalu menabrakkan bahu kanannya pada lengan Rafka dan melewati tubuhnya. Dara sangat marah, tapi Rafka tidak pernah merasa terancam dengan kemarahannya. Itu yang membuat Dara kesal. *** Rooftop sekolahnya cukup teduh karena dibayangi oleh sebuah gedung pencakar langit yang berada di belakang gedung sekolahnya. Pukul sepuluh pagi juga matahari belum terlalu naik, jadi sinarnya masih terasa hangat. Biasanya ada beberapa siswa yang tidur di salah satu bangku kayu yang berada di sini. Tapi kali ini, hanya ada Dara bersama dengan tanaman-tanaman hijau milik sekolah. Perempuan itu hanya butuh ketenangan. Tapi tiba-tiba saja pikirannya melayang mengingat kejadian di kantin kemarin lusa, satu-satunya hal yang membuat ia terlibat dengan Rafka sampai sekarang. Dara mendesah frustasi, ia memegangi kepalanya yang mendadak sakit, "Shh, sialan emang!" Dara sebenarnya menyesal, ia hanya tidak ingin mengakuinya. Tapi Dara merasa puas karena sudah mempermalukan anak paling disegani di sekolah, selama ini Dara hanya bisa mengamati dan mengumpat dalam hati saat Rafka berbuat seenaknya. Tapi kemarin ia merasa puas karena berhasil menunjukkan pada semua orang rasa muak yang selama ini ada dalam dirinya. Perhatiannya kemudian teralih ketika pintu seng yang menghubungkan anak tangga terakhir dan rooftop itu di dorong oleh semua orang. Dara memutar bola mata ketika melihat batang hidung laki-laki bersurai hitam yang kini justru berjalan ke arahnya dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana-seperti biasa. "Lo lagi," desah Dara, lalu memalingkan wajahnya ke sembarang arah. "Eh, lo di sini juga, ya?" kata Rafka, basa-basi. "Ngapain? mau ngerokok?" Ditodong seperti itu lantas membuat Dara langsung menolehkan kepalanya cepat dengan kedua alis tertaut, seolah kembali menanyakan maksud Rafka menuduhnya seperti itu. Rafka tidak berkata apa-apa, ia hanya mengangkat ke dua bahu dan berdiri sambil bersandar pada dinding semen yang menjadi tumpuan kedua tangan Dara sekarang. Mereka saling memunggungi. Dara menyibukkan dirinya dengan memandangi gedung pencakar langit yang berdiri kokoh dan membuat nilai estetika tersendiri untuk pemandangan kota Jakarta, sementara Rafka mulai mengeluarkan bungkus rokok dan korek dari saku celana. Anehnya, gulungan tembakau dan korek itu tidak pernah terjaring razia selama menghuni saku celananya. Dara berdecak ketika Rafka mulai menghembuskan asap rokok dari hidung dan mulutnya, perempuan itu bergeser sedikit karena ia tidak mau terkena asapnya. Namun Rafka hanya menyeringai dan mendekati Dara lagi, "Kenapa lo?" Dara melirik Rafka sinis, "Gue nggak mau seragam gue bau asap, lo kalo mau ngerokok jauh-jauh dari gue!" Rafka menyeringai lagi, sekilas Dara merasakan darahnya berdesir melihat seringaian Rafka yang terlihat seksi. Tapi perempuan itu segera memalingkan wajahnya dan hal itu membuat Rafka sengaja mendekatkan mulutnya dan menghembuskan asap rokok ke wajah Dara. "HEH! GILA YA!" pekik Dara, ia menggerakkan kedua telapak tangannya untuk menepis asap yang berkelebat di sekitar wajahnya. "Lo juga suka ngerokok, kan?" "Nggak, siapa yang bilang?" "Gue," Rafka tersenyum. "Barusan." Dara berdecih. Ia sebisa mungkin berusaha mengabaikan keberadaan Rafka yang kini berada di sebelahnya. Rafka sengaja semakin memepet Dara hingga kedua lengan mereka kini bersentuhan, lalu Rafka memperlihatkan bungkus rokok itu di depan wajah Dara, hingga membuat Dara tertegun dan memundurkan wajahnya sedikit. "Apa?" "Nih," Rafka menggoyangkan bungkus rokok itu. "Ambil aja, kalo lo mau." "Nggak," "Nggak apa? Nggak mau nyoba di sini?" Rafka menaikkan sebelah alis tebalnya itu, seraya tersenyum. Sementera Dara diam, "Ya udah coba aja di rumah. Kalo lagi stress, lo bisa sesekali coba. Tapi awas..." Dara menelan ludahnya, karena Rafka kini mendekatkan wajahnya ke arah Dara yang sedang menolehkan kepala ke arahnya. Perempuan itu menghirup aroma tembakau dari seragam laki-laki itu. "Jangan keterusan, nanti lo ketagihan lagi." Suaranya lembut dan gentle. Bulu kuduknya meremang ketika Rafka mengatakan kalimat itu dengan intonasi yang s*****l. Kenapa laki-laki ini memiliki daya tarik yang membuat banyak perempuan bisa berfantasi lebih liar? Dara langsung memejamkan mata dan menarik diri. Perempuan itu mendorong d**a Rafka, "Pergi." Tapi Rafka menarik pergelangan tangannya segera sebelum Dara melangkah meninggalkan ia lebih dulu. Laki-laki itu menempelkan bungkus rokok yang masih tersisa tiga atau empat batang itu ke telapak tangan Dara dan memaksa perempuan itu untuk memegangnya. "Buat lo." Dara terdiam, karena detik selanjutnya Rafka memasukkan kedua tangannya ke dalam celana dan berbalik meninggalkan Dara duluan. Sosoknya angkuh, dingin dan kasar. Tapi percaya atau tidak, itulah daya tariknya. Daya tarik dari seorang Rafka Adhitama. ***   Sudah lebih dari dua hari bangku di belakangnya kosong. Rafka absen dan tidak ada guru yang menanyakan keberadaan laki-laki itu. Mereka bahkan melewati nama Rafka dalam daftar absen ketika melirik bangku paling belakang itu kosong. Bayangan tentang pertemuan terakhir mereka di rooftop pagi itu masih mengakar di memorinya. Pertemuan terakhir, karena setelah itu Rafka tidak lagi masuk di jam pelajaran selanjutnya sampai bel pulang berdering. Sekarang pukul lima sore dan semua orang sibuk berkemas setelah pelajaran sejarah berakhir. Kebanyakan dari mereka tertidur di jam pelajaran terakhir, apalagi pelajaran sejarah yang dibina oleh Pak Malik, pria paruh baya yang lebih banyak bercerita dibandingkan menerangkan materi dan Dara pun begitu. Wajahnya masih terlihat mengantuk saat ia sibuk merapikan barangnya sendiri. "Dar," seorang laki-laki secara tiba-tiba menghampirinya dan meletakkan buku tulis miliknya dengan hati-hati. "Ini catetan sejarah hari ini..." "Arsya, lo kenapa? Kok tiba-tiba?" kedua alis Dara bertaut. Ia bukan orang asing, Arsya adalah teman sekelasnya dan mereka baru pertama kali berada di kelas yang sama tahun ini. Arsya juga adalah orang yang sama dengan yang ia beri piring makan siang di hari yang sama saat insiden dengan Rafka di kantin waktu itu. Arsya menaikkan kaca mata minusnya yang sedikit merosot, lalu menggaruk belakang kepala. "Eng, Enggak. Gue cuma... tadi liat lo tidur pas pelajaran Pak Malik, kebetulan tadi dia nerangin buat ulangan harian minggu depan, kali aja lo butuh catetan gue?" "Oke," Dara menggerakkan kedua alisnya dan tersenyum. "Gue balikin besok ya, thank you." Arsya hanya mengangguk sambil memandangi punggung Dara yang perlahan menghilang dibalik pintu kelas. Yang ia tahu, perempuan berkuncir satu itu adalah perempuan paling menarik di matanya. *** Jarang ada kendaraan umum yang melintas di sekitar area komplek sekolahnya. Jadi Dara harus berjalan untuk sampai ke halte atau paling tidak jalan raya. Selama hampir tiga tahun ia bersekolah, Dara selalu melewati jalan yang sama entah itu pulang atau pergi. Beberapa kali memang ia sering mendengar dari teman-temannya kalau ada jalan pintas yang lebih dekat ke jalan raya. Tapi Dara belum pernah melewatinya, lagian Dara juga selalu pulang sendiri. Untuk kali ini Dara ingin mencoba jalan yang sering dikatakan orang-orang. Kalau lebih cepat itu akan menguntungkan, Dara mungkin akan lebih sering melewati jalan itu mulai besok. Setelah hampir lima puluh meter Dara berjalan, ia melewati sebuah gudang yang sudah tak terpakai. Ia mengusap kedua lengannya karena merinding, memikirkan berapa banyak mahkluk astral yang menghuni tempat tak terurus itu. Jalannya melambat dan tiba-tiba bahunya berguncang karena terkejut dengan suara berisik dari dalam menggema keluar. Awalnya Dara tidak berniat menghampirinya, tapi rasa penasaran seolah menarik kaki mungil perempuan itu untuk mendekat. Suaranya makin lama makin keras, bahkan Dara bisa mendengar teriakan dan u*****n yang keluar dari seorang laki-laki. "Anjing," "Mati aja lo, b*****t!" Dara seketika langsung membekap mulutnya yang hampir memekik. Lututnya lemas, ia melihat bagaimana seorang anak laki-laki dikeroyok dengan brutal, seragam abu-abunya sudah kusut disertai bercak darah. Wajahnya babak belur dan ia tidak berhenti meringis. Tapi hal yang membuatnya merinding adalah karena ia mengenal siapa yang menjadi pelaku utama pengeroyokan itu. Dara takut, karena Rafka seperti sedang kesurupan. Rafka juga sama kacaunya, tapi tidak separah dengan laki-laki yang kini tersungkur di lantai semen. Dara tidak tahu apa yang membuatnya masih berdiri disana, memperhatikan tiga orang itu terus menghujani pukulan dan hantaman pada seorang laki-laki yang satu almamater dengan mereka itu. Rafka menarik kerah seragamnya hingga terangkat dan mendorong tubuh babak belurnya ke pilar. Mata hitam Rafka yang sudah menyala karena emosi itu teralihkan dengan keberadaan seorang perempuan yang berdiri dengan kedua tangan yang membekap mulut. Pandangan merekat bertemu, tapi tidak saling menusuk. Dara tahu bahwa Rafka sedang marah, tatapannya lebih menakutkan dari biasanya. Mengetahui bahwa Rafka sedang mengancam lewat matanya, Dara segera berlari sekencang mungkin keluar dari gudang itu. Tiba-tiba matanya berair, ia takut. . . (TBC)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD