Dara menggunakan jatah makan siangnya untuk jam istirahat pertama. Beberapa menit yang lalu saat ia mengantri piring makanan ia tiba-tiba mengenang sesuatu tentang situasi yang sama. Awal mula bagaimana ia bisa terlibat dengan Rafka. Tapi beruntungnya, Dara tidak melihat eksistensi laki-laki itu sejak jam pelajaran pertama.
Dara menghela napas dan menyisir pandang ke seluruh meja yang berada di kantin. Semuanya penuh. Mereka membentuk kubu-kubu kecil dan tak jarang ada beberapa meja tanpa kursi karena kursi yang seharusnya ada di meja itu diambil agar bisa duduk dengan teman-teman mereka dalam satu meja.
Dara menemukan sebuah meja untuk empat orang yang bangkunya telah lenyap dua. Dara tidak ambil pusing dan langsung melangkahkan kakinya ke sana, lagian ia tidak punya teman istirahat selama ia bersekolah di sekolah ini, jadi ini bukan masalah. Perempuan itu hanya ingin mengisi perutnya dengan damai.
"Lo tau nggak, Rian anak kelas sebelas yang suka ngajakin Rafka berantem itu?"
"Tau, kenapa?"
"Katanya hari ini di rumah sakit,"
"Sakit apa?"
"Bukan sakit, digebukin. Katanya dikeroyok gitu, gue nggak ngerti deh."
"Kok bisa? Sama siapa?"
"Sama anak-anaknya Rafka, lah. Siapa lagi? Rian kan cuma punya masalah sama mereka."
"Nggak aneh, sih. Lagian dari pertama kali MOS anaknya songong, sih. Cari gara-gara aja udah tau Rafka gitu orangnya."
Dara berusaha untuk tidak mendengar, meskipun sebenarnya percuma karena suara dua orang perempuan yang duduk di sebelahnya terlalu keras untuk dibilang bisik-bisik. Dasar perempuan.
"Emang orang-orang tau kalo yang bikin Rian babak belur itu Rafka?"
"Belom, sih. Makanya ini lagi dicari siapa pelakunya, soalnya Rian sampe sekarang belum bisa ngomong."
"Sampe nggak bisa ngomong? Asli?"
"Iya. Parah, kan?"
"Kok lo tau yang ngeroyok Rian itu Rafka, sih?"
"Nebak aja, lagian siapa lagi? Pasti dia, kan? Oh terus, katanya nih, orang tuanya Rian lapor polisi gitu. Sekarang kasusnya lagi di urus sama sekolah. Rafka bisa-bisa dipenjara kalau sampe kena kasus kekerasan."
"Ah, serius?"
Gerakan sendok Dara berhenti, ia menolehkan kepala sejenak untuk memastikan apakah ia mengenal dua perempuan tukang gosip ini. Ternyata tidak, jadi Dara segera memalingkan wajahnya. Ia penasaran, apakah Rian adalah laki-laki yang kemarin dikeroyok di gudang?
"Tapi gue pikir percuma, sih ya."
"Kenapa?"
"Tau, lah. Bokapnya Rafka, kan main duit. Makanya Rafka sekarang nge-bossy banget."
"Alah, gitu-gitu juga lo suka, kan?!"
"Ya lo pikir, cewek mana yang nggak ketar-ketir liat cowok yang tiap pagi bikin perempuan melting saking seksinya?"
Perbincangan dua perempuan itu juga berhenti bersamaan dengan sepiring nasi yang di letakkan tepat di depan Dara. Perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatap Rafka yang kini sudah berdiri di depan mejanya. Dara diam, ia hanya mengamati wajah Rafka yang memiliki luka lebam di sekitar tulang pipi.
Tanpa meminta persetujuan, Rafka memiringkan kepalanya dengan sebelah alis terangkat, ia tersenyum sebelum akhirnya menarik kursi untuk duduk. "Selamat makan—"
"Nggak ada tempat duduk lain apa?" sela Dara cepat.
Rafka tersenyum miring, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seolah kembali memeriksa penjuru kantin yang sudah penuh. "See? Apa lo nemu kursi kosong lain di sini?"
"Gue nggak mau duduk semeja sama lo,"
"Gue mau,"
"Gue-nggak-mau," ucap Dara dengan penekanan.
"No one's care," Rafka kemudian menggerakkan kedua bahunya. "Kalo lo nggak suka, lo aja yang pindah. Gue nggak mau pindah."
Dara meletakan sendok dan garpunya di sisi piring. Ia memalingkan wajahnya karena muak, saat perempuan itu kembali menolehkan kepalanya ke arah Rafka, laki-laki itu menatapnya sambil mengunyah makanan. Pipinya mengembung sedikit, tapi senyumnya masih bisa terlihat. Dara tidak mengerti kenapa senyum Rafka terlalu ambigu. Laki-laki itu sulit terbaca.
Dara mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan ekspresi jengah. Semua orang kini menjadikan mereka pusat perhatian. Telingannya terasa panas, entah karena malu atau justru karena efek banyak orang yang sekarang membicarakan mereka di depan dan di belakang. Dua orang perempuan yang barusan membicarakan Rafka juga tidak bisa fokus menelan makanan mereka lagi begitu menyadari Rafka berada di dekat mereka.
Rafka menelan kunyahan dalam mulut, ia menyimpan sendoknya sejenak dan menaruh kedua tangannya di atas meja, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Dara. "Kemarin, lo kenapa bisa ada di sana?"
Dara menoleh ketika ditanya seperti itu, ia hanya mengerutkan dahi. "Kemarin? Di sana, dimana? Gue nggak kemana-mana perasaan,"
Rafka berdecih, "Terus yang gue liat setan gitu?"
"Iya kali."
"Gue serius," Rafka menggebrak mejanya sekali, tapi tidak keras dan hanya membuat Dara berkedip dua kali. "Lo ada di sana, kan kemarin?"
Dara menelan ludah ketika menyadari rahang Rafka mulai mengeras. Entah mengapa Rafka begitu menyeramkan di matanya. Dara tidak ingin terlihat lemah di hadapan laki-laki itu, makanya tanpa pikir panjang perempuan itu segera mengangkat piringnya yang masih tersisa sedikit untuk pergi, "Gue disana atau enggak, itu bukan urusan lo. Tapi kalau gue tau apa yang lo lakuin disana, gue bakal berusaha buat pura-pura nggak tau. Lo nggak usah khawatir."
Rafka mengepalkan tangannya dan menghela napas kasar sementara matanya masih terkunci pada punggung perempuan berkuncir satu itu. Dara rupanya masih mempertahankan harga dirinya yang tinggi itu. Rafka salah, kenyataanya membuat seorang Dara bertekuk lutut tidak semudah yang ia kira.
***
Malam itu gerimis lagi, mengingat bulan ini masih masuk musim penghujan. Dara mengeratkan hoodie abu-abu dan langsung membuka payungnya begitu keluar dari pintu kaca minimarket. Ditangan ia memegang sebuah kantung plastik putih berisi beberapa bungkus rokok dan a**************i yang diminta Ratna.
Dahinya bekerut ketika melihat sebuah motor bebek terparkir di depan halaman rumah dan pagarnya dibiarkan terbuka tak terkunci. Dara semakin gelisah ketika melihat pintunya juga tidak terkunci. Perempuan itu mengambil gagang sapu untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi.
Tranggg!!
Dara berjengit, genggaman pada gagang sapunya mengerat, begitupun juga kantung plastik berisi barang yang ia beli di minimarket. Jantungnya berdegup kencang kala suara pecahan barang dan perabot rumah terdengar di ruang tamu.
"Balikin uang aku!!"
"Itu uangku, b******k!"
"Kamu itu p*****r, harusnya dari dulu aku jual kamu aja sama temen-temenku! Pasti aku udah kaya sekarang!"
"b******k kamu sialan! Balikin uang aku!!"
Dara memejamkan mata begitu mendengar potongan percakapan dengan intonasi keras itu. Perempuan itu hampir roboh tapi ketika seorang pria berjaket kulit hitam itu muncul keluar dari ruang tamu, Dara langsung memukulkan gagang sapu yang ia pegang ke punggungnya.
"Pergi, Pergi, Pergi!!"
Pria yang kaget karena mendapat serangan tiba-tiba itu segera menarik gagang sapu yang Dara pegang, tenaganya tentu saja lebih kuat. Pria itu baru pertama kali Dara lihat, ia tidak pernah kemari ataupun ke rumah yang sebelumnya. Dara baru pertama kali melihatnya, dan ia begitu asing. Pria itu langsung mengunci tangan Dara dan mendorong Dara ketembok.
Perempuan itu tidak bisa melakukan apapun kecuali memejamkan mata dan menahan napas karena tidak tahan dengan aroma alkohol yang begitu menyengat. Pria ini mabuk. Dara ingin menangis ketika tangan kotor pria itu membelai kulit pipinya yang halus. "Hei, cantik... siapa nama kamu, hm?"
Dara tidak ingin menjawab. Ia terlalu takut untuk sekedar menelan ludah. Air matanya jatuh ketika rahangnya di cengkram dan kini ia bisa merasakan napas pria itu yang begitu menyengat ke hidungnya. "Main sama Om, yuk? Bentar..."
Dara menggeleng cepat, ia berusaha melepas kan cengkraman tangan Pria itu di tangannya. Kantung plastik minimarket sudah terjatuh entah dimana. Saat ia membuka mata sedikit, ia melihat Ratna duduk dengan luka lebam disekitar wajah. Wanita itu setengah sadar. Dara tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi.
"Jangan.."
"Bentar doang, kok... Kamu pasti nanti suka..."
"Nggak mau..."
"JANGAN PEGANG DIA, b******n!!"
"LEPASIN DIA!!"
Perhatian Pria itu teralih ketika Ratna memukul kan botol kaca ke kepala Pria itu hingga akhirnya botol kaca itu pecah di lantai setelah ditepis olehnya. "ALAH DIEM KAMU p*****r!"
Pria itu menendang kaki Ratna hingga wanita itu kembali tersungkur, Dara hanya bisa menangis sambil berjongkok sementara Ratna dengan sekuat tenaga menahan kaki pria itu sebelum kembali berhasil mendekati Dara. "Ambil uangku! Ambil semua yang kamu mau! Tapi, jangan sentuh dia!"
"Mana? Mana uang kamu?!"
Ratna langsung mengambil sebuah amplop cokelat di dalam laci. Amplop itu cukup tebal dan berisi lembarang uang seratus ribuan hasil kerja kerasnya sendiri. Ratna langsung melempar gepokan uang itu tepat ke d**a Pria itu. "Ambil semua! Jangan pernah balik lagi ke rumah ini, anjing!"
Begitu amplop cokelat itu berada di tangan, pria itu memeriksa isinya. Ia tersenyum simpul namun sarat akan rasa kemenangan, ia menoyor kepala Ratna, lalu bergumam, "Gitu, dong. Dari dulu kek, lo kerja jadi j****y kan gue pasti udah punya mobil sekarang,"
Pria itu kembali mendekati Dara yang berjongkok di sudut ruangan, ia mengangkat dagu Dara dengan telunjuknya. "Nanti kita ketemu lagi, ya cantik..."
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, pria itu pergi begitu saja. Saat suara motor bebek miliknya sudah mulai memudar, Dara langsung berlari menghampiri Ratna dan memeluknya. Pelukan itu tidak bertahan sampai dua detik karena Ratna langsung menepis pelukan Dara dan berusaha berdiri untuk berjalan ke kamar mandi.
Dara menyusul Ratna, "Ma, m-mau apa?"
"Udahlah, jangan banyak tanya!" seru Ratna. Ia membanting pintu kamar mandi.
Dara mengusap sisa air mata dipipi dan bagian bawah matanya. Siapapun juga tahu, apa yang ada di kepala Dara sekarang. Tentang Ratna dan tentang pria mabuk itu. Apa hubungan mereka? kenapa dia bisa datang? dan kenapa Ratna begitu membencinya. Dara ingin tahu jawabannya, tapi ia tidak pernah berani bertanya.
***
Sore itu ada jam kosong, karena guru-guru sedang mengadakan rapat dengan kepala sekolah. Kelas begitu berisik karena banyak dari mereka yang bercanda dan mengobrol dengan teman-temannya. Padahal guru yang mengisi mata pelajaran sudah memberikan mereka tugas pengganti, tapi dibandingkan mengerjakannya di sekolah, mereka lebih memilih untuk membawa tugas itu ke rumah dan mengumpulkannya minggu depan.
Hanya Dara yang mengerjakan tugas itu.
Bukan. Sebenarnya Dara bukan orang terpintar atau yang paling rajin di kelasnya. Perempuan itu tidak punya pilihan selain mengerjakkan tugas itu. Ia tidak memiliki teman untuk mengobrol atau teman untuk bercanda di kelas. Perempuan itu terlalu tertutup.
Entah mengapa, Dara refleks menoleh ke belakang. Tepat dimana bangku Rafka berada. Hanya ada tas selempang hitam milik laki-laki itu. Keberadaan Rafka di kelas ini hampir seperti mahkluk ghaib. Barang-barangnya ada di kelas, bahkan absennya selalu terisi di jam pelajaran pertama—kecuali jika Rafka benar-benar bolos sekolah, tapi wujudnya sangat jarang terlihat di kelas.
Mungkin jika Rafka berada di kelas Dara tidak akan bisa menyelesaikan tugasnya hari ini. Maka dari itu Dara sangat bersyukur. Kepala perempuan itu kembali menoleh ketika bahunya dicolek oleh seorang laki-laki dengan kaca mata berbingkai besar yang kini berdiri di sebelah bangkunya.
"Lo udah selesai?"
"Eh, Arsya?" Dara memutar tubuh, memberi perhatian sepenuhnya ke arah Arsya. "Lo ngerjain juga?"
"Iya, lah."
Dara menelan ludah. Ia salah. Harusnya ia sudah tahu kalau Arsya pasti juga akan mengerjakan tugas. Laki-laki itu adalah siswa terpintar selama tiga tahun berturut-turut. Dara bahkan sudah mengetahuinya saat mereka belum berada di kelas yang sama. Arsya adalah peraih juara umum sekolah. Ayahnya seorang pengacara dan ibunya adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, begitu kabar yang tersebar di sekolah ini mengenai laki-laki itu.
"Mau ngumpulin bareng? Sekalian ngumpulin buku paket ke perpus?"
"Ooh, iya." Dara mengangguk, ia kemudian menutup buku tulis dan buku paket milik perpustakaan. "Gue aja yang bawa buku paketnya. Lo kumpulin tugasnya ke ruang guru."
"Kenapa?" tanya Arsya dengan kedua alis terangkat. "Barengan aja kali."
"Gue sekalian mau ke perpus soalnya. Nyari tempat enak, di sini berisik."
Arsya mengangguk paham dengan apa yang Dara maksud. Perempuan itu sedang ingin sendiri. Akhirnya Arsya membawa buku tulis Dara sementara Dara membawa dua buku paket milik perpustakaan yang harus segera dikembalikan setelah selesai di pakai.
Mereka keluar kelas bersamaan, namun berjalan di dua koridor yang saling berlawanan. Selama Dara melewati koridor kelas yang membawanya ke arah perpustakaan, ia tidak melihat banyak murid yang keluar kelas, padahal banyak kelas yang jam pelajarannya kosong. Dara mengerutkan dahi ketika melintasi beberapa kelas yang sudah kosong, mungkin diantara mereka ada yang memilih untuk pulang karena sudah masuk jam pelajaran terakhir belum ada guru yang masuk.
Langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara-suara desahan dari salah satu kelas sepi yang berada di koridor yang ia lewati. Dara mendekat ke salah satu kelas kosong yang pintunya sedikit terbuka. Suara desahan itu semakin jelas dan matanya seketika membola ketika melihat darimana suara itu berasal.
"Bianca?"
Perempuan berseragam almamater yang sama dengan Dara itu seketika menoleh ketika namanya dipanggil. Ia menghentikan ciuman panasnya dengan Rafka.
Iya, dengan Rafka.
Dara sudah menduga siapa laki-laki bersurai hitam yang sedang berdiri memunggunginya itu. Bianca langsung turun dari meja dan hendak berjalan menghampiri Dara sebelum Dara tersenyum, "Nggak papa. Lanjutin aja. Gue nggak akan bilang siapa-siapa, kok."
Rafka juga kini menatap Dara tajam, laki-laki itu berdecih tapi tetap bertahan di posisinya dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. Ekspresinya berbanding terbalik dengan Bianca yang terlihat shock bercampur malu. Entahlah, mungkin Rafka memang sudah tidak punya malu untuk melakukan hal-hal menjijikan seperti itu. Dara tersenyum miring dan menatap Rafka, "Gue tutup pintunya ya. Biar nggak berisik, ntar ada guru yang lewat lagi."
Setelah itu Dara menutup pintu kelas kosong itu rapat-rapat dan melanjutkan langkahnya. Setelah beberapa meter berjalan, ia tiba-tiba merasa lemas bahkan hingga buru-buru mencari kursi panjang di depan kelas karena lututnya mendadak mati rasa. Napasnya masih tak beraturan dan telapak tangannya berkeringat.
Gila, apa? Dasar sinting!
Dara tidak habis pikir, kalau ia akan menyaksikan adegan panas itu dengan kedua matanya sendiri. Ia jadi semakin membenci Rafka. Membayangkan bagaimana tadi Bianca yang duduk diatas meja, sementara Rafka berdiri di depannya. Kedua tangan Bianca mengalung di leher Rafka, sementara tangan Rafka tadi mengusap punggung dan pinggang perempuan itu. Mereka berdua menjijikan. Apalagi ia baru tahu, bahwa Bianca—teman sekelasnya yang juga masuk ke dalam kategori Cewek Eksis sekolah itu begitu murahan.
Bego, kayak nggak punya duit buat sewa tempat lain aja!
Tapi ada satu hal yang membuat Dara merasa menang, karena ia berhasil mempermalukan Rafka. Setidaknya ia tidak terlihat lemah dihadapan Rafka tadi.
.
.
(TBC)