Aku masih merunduk. Gelisah menyelimuti hati dan pikiran. Ternyata terlalu berharap itu tidak baik. Selama ini aku berharap bisa hidup bersama Sultan, tetapi justru dipisahkan oleh takdir. Sekarang aku pun berharap dapat diterima Ardian, nyatanya telah jelas. Laki-laki ini menginginkan perempuan suci.
Ardian menyentuh daguku dan mengangkat wajahku menghadap ke arahnya. Tatapannya penuh tanya. Semakin membuatku gemetaran.
"Kamu ketakutan?"
"Aku ..."
Ia memberikan kecupan singkat di bibirku. Dua tangannya menangkup pipiku. Bahkan tawanya terdengar ketika air mataku menetes.
"Jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Bisa bikin nagih"
Ya, benar. Seks memang bikin nagih. Karena aku pernah merasakannya. Ingin melakukan lagi dan lagi. Andai malam itu Papa tidak datang, aku dan Sultan akan benar-benar bercinta di depan Fita. Ternyata benar, aku iblis yang tak punya hati.
"Aku bersumpah demi anak dalam kandunganku, kamu enggak akan bahagia."
Ingatan akan kata-kata Fita pada hari itu menyentak naluriku. Bagaimana jika sumpahnya jadi nyata. Bahkan pada malam pertama yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan, justru aku merasa sesak oleh keadaan.
"Bang, aku pengin jujur."
"Tentang?"
"Aku bukan perawan."
"Hah?" Ardian mundur, memberi jarak. "Kenapa kamu baru bilang setelah akad?"
"Aku takut ..."
Tak disangka ia melayangkan tamparan di pipiku. Matanya menatap nyalang. Tak peduli aku terpekik kesakitan.
"Kamu berikan kesucian pada laki-laki lain dan berharap suamimu menerima keadaanmu dan memperlakukanmu dengan manis."
"Kenapa keperawanan begitu penting, sih?" Aku membantah. Tak mau disudutkan. "Ini zaman modern. Anak SMP saja sudah melepas perawannya."
Rambutku ditarik hingga tersuruk ke belakang. Benar-benar ia tak peduli meski aku meringis. Bahkan air mata menetes, tak ada rasa kasihan.
"Kamu menjijikkan. Kenapa zaman semakin modern, tapi pemikiranmu kayak orang jahiliyah?"
"Aku emang menjijikkan, tapi Abang sendiri sadar enggak, sih. Katanya diajari adab. Memangnya berbuat kasar kayak gini adab yang baik apa?"
Rambutku ditarik semakin kencang. Sakit. Namun, hatiku jauh lebih sakit. Sehina itukah perempuan yang tak lagi suci. Bagaimana kalau perempuan yang menjaga keperawanan, tetapi tidak menjaga hatinya. Bukankah kesucian hati lebih utama daripada selaput tipis bernama hymen? Okelah aku terima jika dikatai perempuan hina. Memang aku hina karena tak mampu menahan nafsu. Namun, berbuat kasar seperti ini juga termasuk hal hina? Kenapa Ardian begitu egois?
"Dengar! Aku akan beradab yang baik pada mereka yang pantas. Sedangkan kamu, perempuan lacur yang menjebakku dalam pernikahan ini tidak pantas menerima adab baik dariku."
Aku didorong hingga jatuh tertelungkup di atas ranjang. Aku terisak pelan. Tak ingin orang rumah mengetahui kekacauan di kamar pengantin berdarah ini. Detik selanjutnya aku ditarik paksa hingga terjatuh dari ranjang. Pahaku diinjak. Astaga! Kukira Ardian laki-laki dewasa yang manis, nyatanya monster tak berhati.
"Kenapa tidak berteriak? Takut orang rumah tahu kalau kamu perempuan lacur yang sengaja menjebakku?"
"Aku enggak menjeba ... arght!"
Ia menginjak selangkanganku. Ini benar-benar gila. Akan lebih baik jika aku bersama Sultan. Meski dibenci banyak orang, aku masih memiliki cinta dan perhatian darinya. Daripada seperti sekarang. Dianggap hina dan pantas disiksa.
"Udah, Bang. Sakit. Aku rela diceraikan kalau memang Abang enggak berkenan."
"Apa kamu bilang?" tanyanya sambil memukul kepalaku berkali-kali. "Kamu pikir nikah tidak butuh biaya. Orang tuamu seenak jidat meminta uang sebelum merestui pernikahan kita. Belum lagi biaya lain-lainnya. Kamu pikir itu semua gratis. Lantas seenak udel kamu bilang cerai. Kamu pikir pengurusan cerai tidak butuh biaya?"
Pipiku ditampar lagi. Kali ini lebih kencang.
Seketika aku melihat semua barang berputar-putar. Darah segar pun menetes dari hidung. Aku tak lagi memiliki daya. Bahkan tak mampu membuka mata. Kupikir Ardian akan menyudahi siksaannya. Nyatanya, derita malam ini masih berlanjut.
"Aku tidak akan menceraikamu, Jalang! Kamu akan tetap bersamaku, tapi bukan sebagai istri. Kamu akan jadi budakku," ujarnya sambil merobek bajuku. Tidak ada yang bisa aku lakukan selesai pasrah. Tanpa pemanasan, ia menyetubuhiku dengan kasar. Aku menahan rasa sakit dengan menggigit sobekan baju.
Sekarang aku paham tentang adanya RKUHP suami memperkosa istri bakal dipenjara selama dua belas tahun. Saat ramai orang membicarakan hal itu, aku pun turut menertawakan pasal tersebut. Kenapa suami menggauli istrinya malah dipenjara begitu lama. Sedangkan hukuman untuk yang kumpul kepo lebih ringan. Ternyata seperti ini rasanya diperkosa suami. Menyakitkan. Sementara yang kumpul kepo lebih ringan karena mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Pengadilan negeri ini tidak mengurus dosa, tetapi mengadili pelaku kejahatan. Maka, suami yang memaksa istrinya seperti yang dilakukan Ardian, pantas mendapatkan hukuman berat.
Namun, aku tidak akan melaporkan kejahatannya. Biarkan derita ini kutahan sejenak. Aku akan terus berbuat baik. Semoga kebaikan yang aku berikan membuat Ardian sadar dan memberikan cintanya tanpa syarat.
Setelah puas, Ardian tertawa mengejek. Ia memakai celana, lalu bergegas keluar. Tinggallah aku sendiri, terkapar tak berdaya. Kupejamkan mata, meski napas masih memburu. Belum berhasil menormalkan pernapasan, pintu kembali terbuka. Aku ingin menangis. Jika Ardian kembali menyerang, lebih baik aku mati saja.
"Apa yang terjadi, Nina?" Suara Vini. Kutarik napas lega. "Aku lihat tuh laki berjalan keluar. Marah-marah ora jelas. What happen?"
Vini membelalak ketika melihat wajahku. Mungkin bekas tamparan terlihat jelas. Ia membantu aku duduk serta memperbaiki rambutku yang berantakan.
"Astagfirullah. Jangan bilang dia berbuat kasar? Atau, is he a sadomasochist?"
Aku tertawa pelan. Sepengetahuanku, sadomasokis yang dimaksud Vini adalah bentuk penyimpangan seksual melalui penyiksaan. Sadomadokis tergabung dalam dua kata, sadis dan masokis.
Sadis artinya seseorang akan mengalami kenikmatan luar biasa jika menyiksa lawan pasangannya. Sementara masokis adalah kebalikannya. Yakni, orang yang mendapat kenikmatan jika disiksa.
Sadomasokis tidak berbahaya jika sadistis berpasangan dengan masokis. Keduanya saling mengisi. Namun, sangat berbahaya jika salah satu bertemu dengan pasangan normal. Akan timbul berbagai masalah dari hubungan tersebut.
Namun, Ardian bukan penganut sadomasokis. Ia penganut kaum suci yang memandang perempuan itu baik atau tidak hanya berdasarkan selaput tipis di s**********n. Ya, kalau perempuan seperti aku mungkin patut disalahkan. Namun, bagaimana dengan mereka yang hilang keperawanannya karena diperkosa? Orang seperti Ardian tidak akan mau peduli dengan hal semacam itu.
"Enggak usah ikut campur, Vin. Ini urusan aku dengannya. Makasih sudah mau peduli."
Aku tidak ingin Vini tahu penyebab kemarahan Ardian. Bukan hanya tak ingin membongkar aib di hadapan sahabat baikku ini, tetapi juga ingin Vini tetap berpihak padaku. Setidaknya ia tidak berhenti peduli. Aku takut mendapat kebencian Vini jika ia tahu kebenarannya. Mungkin saja ia menganggapku munafik karena perilaku yang bertolak belakang dengan kata-kataku dulu.
"Ora iso kayak ngono yo. Pokoknya aku mau tunggu tuh laki pulang." Ia menatapku lekat-lekat, lalu bertanya, "Kamu mau minum?"
Aku mengangguk. Minum air bukan hanya karena haus, saat ini air juga mungkin bisa mendinginkan otakku yang panas. Itu asumsiku saja, bukan hasil penelitian para ahli. Dan, keyakinan itu berdampak. Setelah segelas air kuhabiskan, aku jadi lebih tenang. Kantuk pun mulai menyerang.
"Tidurlah!" seru Vini sembari menarik selimut, menutupi tubuhku. Semoga saja Vini tetap peduli dan tidak berubah sikap jika nanti ia tahu penyebab kemarahan Ardian. Itu harapan indah yang kulirihkan saat memejamkan mata.
Rasanya baru sesaat tertidur, aku terbangun oleh suara pukulan. Saat membuka mata, kudapati Vini menghajar Ardian.
"b*****t! Kamu berbuat kasar pada teman baikku. Kami kira aku tinggal diam?"
"Apa kamu juga tidak perawan seperti teman baikmu?" Ardian menatap nyalang. Aku tertunduk sedih saat Vini terdiam dengan kening mengerut. Mungkin terkejut atas fakta teman baiknya yang dulu bertekad memberikan perawan pada sang suami, justru hanya dusta. Aku pasrah jika setelah ini Vini pun menjauh.
"Apa maksudmu? Jangan ngadi-ngadi, deh."
Ardian tertawa sinis. Ia mendekat dan membelai pipiku, seolah menghina.
"Teman baikmu ini, yang kukira polos, ternyata sudah bolong. Apa dia tidak cerita padamu? Biasanya teman baik saling berbagi cerita, kan? Apa dia tidak cerita tentang ini. Mungkin berbagi kisah terkait laki-laki yang mengajaknya berzina."
Tak disangka, Vini menggebuk kepala Ardian. Ia menggeram saat tangannya dicekal. Tak ingin kalah, ia merunduk dan secepat kilat menggigit lengan Ardian. Mungkin gigitan Vini sangat menyakitkan, laki-laki berstatus suamiku itu melepaskan cekalan tangannya dan menarik rambut Vini. Belum kehabisan akal, Vini menendang s**********n Ardian. Ia terlihat puas ketika Ardian merintih kesakitan sambil memegang depan celananya.
"Kenapa kalau temanku enggak perawan lagi? Apa nilainya sebagai manusia runtuh karena hilangnya keperawanan? Lantas seenaknya b*****t sepertimu berbuat kasar? Dengar, Ardian yang sok suci! Aku, Vini Pramita. Enggak akan biarkan teman baikku diperlakukan secara keji. Lihat!" Vini memperlihat layar ponselnya yang menampilkan gambarku yang sedang tertidur. Lalu, menggeser lagi ke gambar pipi yang memerah serta paha yang membiru.
"Kamu mau mengancam aku dengan foto itu?"
"Betul sekali, Tuan Ardian yang terhormat. Aku akan laporkan ke pihak berwajib jika Nina masih kausakiti."
"Bagaimana kalau aku menceraikannya sekarang?"
"Oh, dengan senang hati Vini Pramita akan membantunya terbebas dari monster enggak punya hati sepertimu. Setelah diceraikan statusmu sebagai ASN bisa saja dicopot. Aku enggak main-main."
Ardian mendengkus, tetapi ancaman Vini membuatnya keder. Ia tidak membalas lagi. Hanya bisa terduduk di pinggir ranjang. Selang beberapa detik, tangannya ditarik Vini hingga menjauh dari ranjang.
"Malam ini, aku temani Nina. Monster sepertimu, tidur di lantai. Aku bisa berbuat lebih keji jika kamu masih main-main."
Vini melemparkan selimut dan bantal ke arah Ardian. Kemudian ia berbaring di sampingku.
"Vini, enggak baik kamu tidur di sini. Baliklah ke kamar. Aku baik-baik saja."
Vini memutar bola mata, tak setuju dengan ideku. Namun, ia tetap menurut.
"Baiklah. Jika b*****t ini masih berbuat kasar, teriak saja. Aku akan meminta orang kampung menghajarnya."
Vini keluar dan aku meminta Ardian naik ke ranjang. Ia membelai pipiku dengan tatapan tajam.
"Ini belum berakhir, Jalang. Kamu pikir aku takut dengan ancaman Vini? Atau, kamu mau mengaduh padanya?"
"Enggak, Bang. Berbuatlah sesuka Abang jika nurani Abang memang telah mati."
Sejatinya itu perkataan untuk diriku sendiri. Nuraniku dulu telah mati hingga mengabaikan rasa sakit yang diderita Fita.