Demi mendapat ampunan Mama, aku benar-benar menjauh dari kota kelahiranku. Menghilang dari kota yang mempertemukan aku dengan Sultan. Ponselku disita. Aku diancam kalau berani menghubungi Sultan, bakal tidak dianggap lagi sebagai anak.
Aku mencintai Sultan, tetapi cinta itu kalah oleh kemurkaan orang tua. Melihat air mata menetes di pipi Mama, membuat hatiku teriris. Melepaskan cinta Sultan untuk mendapat maaf Mama dan Papa sudah seharusnya kulakukan. Itu jalan terbaik.
Sudah dua hari aku di Jogja. Sengaja memilih daerah ini karena satu-satunya daerah yang kukenali. Aku tidak tinggal di kota, tetapi desa yang masih sejuk oleh pepohonan. Di rumah Vini, teman kuliahku dulu. Saat masih kuliah, aku pernah diajak ke sini. Kedatanganku yang tiba-tiba mengejutkannya. Aku disambut dengan hangat. Kebaikan keluarga Vini tidak diragukan lagi. Mereka orang baik.
"Aku mau cari kerja," ujarku saat Vini pulang kerja. Ia bekerja di kantor lurah. Sungguh keluarga Vini memang baik, tetapi aku tidak mungkin terus menerus tinggal di sini dan menjadi beban.
"Bawa ijazah opo ora?" Aku mengangguk. "Terus mau kerjo opo?"
"Enggak tahu. Pokoknya kerja apa aja dah. Yang penting dapat duit."
"Ngelacur juga mau?"
Aku terdiam. Dari dulu temanku ini memang ceplas-ceplos kalau bicara. Tidak pakai filter. Keuntungan memiliki teman seperti itu, kejelekan kita tidak dibicarakan di belakang.
"Yee, kenapa diam? Aku cuma bercanda. Aku masih ingat, kok. 'Keperawananku hanya akan kuberikan pada suami tercinta saat malam pertama," ujarnya meniru kata-kataku dulu. Aku tertawa dalam hati sembari menahan agar air mata tidak menggenang di pelupuk. Nyatanya, kata-kata indah dulu tidak kuterapkan. Aku telah menyerahkan kesucian diri pada laki-laki yang berstatus suami orang. Air mata yang kutahan itu tetap mengalir membasahi pipi.
"Nina! Why are you crying?"
"Aku enggak apa-apa, Vin. Kangen nyokap aja, sih."
"Yaelah, kirain. Sudah gede. Ayo mandiri!"
"Vin, kalau laki-laki yang kamu cinta ngajak nikah, tapi dia sendiri punya istri, apa yang akan kamu lakukan?"
"Tergantung kondisi."
"Maksud kamu?"
"Ya, kalau dia memenuhi syarat untuk berpoligami, why not. Tapi kalau sama istri pertama kelakuannya nauzubillah, tendang saja selangkangannya."
Aku tertawa, tetapi diam-diam merasa tertampar dengan jawaban Vini. Sultan memang tidak ingin poligami. Ia berniat menceraikan Fita. Tetap saja itu kejam. Ah, kenapa otakku baru berfungsi sekarang.
"Kenapa? You kabur neng kene gara-gara itu?" Vini memang suka berbicara seperti ini, dicampur aduk.
"Apaan, sih?" Aku membantah tuduhannya. Namun, bukan Vini jika menyerah. Ia usut hingga aku mengangguk sambil meneteskan air mata. Tangannya terulur menghapur tetesan bening di pipiku, lalu memberikan pelukan menenangkan.
"Aku punya kenalan di kantor. Mau kukenalkan?"
Aku menggeleng. Untuk saat ini aku ingin fokus mencari uang. Tidak terikat oleh apa pun. Apalagi dengan laki-laki asing.
"Nina, cuma menikah yang menghalangimu bertindak nekat. Kalau you masih sendiri, tuh laki b*****t bakal terus mengejarmu. Jadi aku sarankan you menikah, Nina. Masih ada ribuan laki-laki di negara ini. Jangan merusak diri dengan mencintai milik orang lain. You juga ora usah mikirin kerja."
Saran Vini kucerna. Semalaman aku tidak tidur. Terus memikirkan ide pernikahan. Dengan menikah, aku dapat menghalangi Sultan mendekat. Menikah juga menjadi solusi aku mendapat maaf Mama dan Papa secepatnya. Yang paling penting, kebutuhan harianku dipenuhi. Aku tidak perlu merepotkan keluarga Vini.
Maka, tawaran Vini kuterima. Pada sore hari setelah menyetujui ide Vini, aku ditelepon laki-laki yang mengaku sebagai kenalan Vini. Ia mengajak bertemu di warung dekat kantor kelurahan. Aku didandani Vini dengan cukup sempurna.
"Bedak ini sudah dijampi-jampi. Tuh laki ra bakal berpaling dari wajahmu." Aku tertawa mendengar candaan Vini. Namun, tidak membalas. Aku tidak ingin terlambat datang. Bukan karena tak sabaran, hanya ingin melihat rupa laki-laki itu duluan sebelum ia melihatku. Kalau jelek, aku mundur dengan hormat. Tidak meminta ia seganteng Lee Min Ho. Yang penting tidak malu-maluin saat kumpul keluarga atau membanggakan diri di depan Sultan.
Dengan bantuan ojek pangkalan, aku tiba lingkungan kantor kelurahan. Berdiri di bawah pohon, lalu memperhatikan sekeliling. Hanya ada satu warung makan yang berada tepat depan kantor. Tanpa melirik kiri kanan, aku melangkah masuk. Kursi di sudut ruangan menjadi pilihan mengintai.
Kukirimkan pesan, "Kamu di mana?"
"Sudah di warung depan kantor. Kalau kamu sudah datang, masuklah. Aku di meja dekat pintu."
Kulihat ke arah yang disebut. Hanya ada seorang laki-laki di sana. Wajah sih lumayan, tetapi kutaksir usianya di atas Sultan. Aku dan Sultan saja bedanya sepuluh tahun. Kuhela napas sejenak, lalu melangkah mendekat. Tidak masalah berapa pun usianya, asalkan belum keriput. Aku tertawa dengan pemikiran itu.
"Hai, aku Nina."
"Owalah, cantik. Silakan duduk. Mau makan apa?"
"Aku masih kenyang. Pesan minum aja."
Sambil menunggu pesanan, kami berbagi cerita. Namanya Ardian. Ia juga pendatang dari Riau. Sudah sepuluh tahun di daerah ini. Ia bertanya hal-hal remeh yang kujawab apa adanya.
"Usiaku sudah 39. Aku tidak lagi mencari pacar. Kamu masih sangat muda. Apa bersedia menikah denganku?"
Kini aku terdiam. Belum mampu menjawab. Keraguan masih menyelinap dalam benak. Akankah laki-laki ini menerima aku yang tak perawan? Bukankah laki-laki itu sukanya mencari istri yang masih utuh? Bagaimana kalau ia tahu aku bukan lagi gadis suci? Pikiranku tak keruan sekarang.
"Kalau belum yakin, jangan melangkah maju. Aku bisa nyari perempuan lain yang siap menikah."
"Aku mau." Entah kenapa aku mengucapkan kalimat itu. Namun, melihatnya mengucapkan syukur dengan mata berbinar membuatku ikut bahagia.
"Dengar, aku cuma punya sedikit uang. Kalau kamu minta pernikahan mewah, itu tidak akan terjadi."
Aku tersenyum. Sejak dulu aku juga tidak memimpikan pernikahan mewah. Bagiku menikah itu yang terpenting sah. Daripada menghabiskan uang untuk pesta pernikahan yang hanya sehari. Lebih baik uangnya disimpan untuk kebutuhan sehari-hari yang ada sepanjang waktu.
"Enggak masalah, Bang. Kita nikah di KUA saja. Nanti malam aku ngasih tahu bokap, ya. Minta izin penyerahan wali. Mungkin bapaknya Vini mau mewakili."
"Ide bagus. Mau beli baju?"
"Enggak usah, Bang. Aku pakai bajunya Vini saja."
Ardian berdecap. Ia menyeruput jus pesanannya hingga tandas, lalu meletakkan bayaran di meja. Tanpa meminta izin, ia menarik tanganku keluar. Naik ke motor dan melaju entah ke mana. Mungkin ke toko baju.
Tepat dugaanku. Aku dibelikan beberapa pasang baju. Bahagia, tentu saja. Perempuan mana yang menolak diajak belanja.
Pukul delapan ia mengajakku ke rumahnya. Rumah papan satu kamar yang tidak layak disebut rumah.
"Kamu tinggal di sini?"
"Iya. Aku tidak punya uang buat bangun rumah sendiri. Kebetulan ada tetangga berbaik hati memberikan rumah ini. Aku hanya diminta bayar biaya listrik. Lumayan, hemat anggaran. Daripada tinggal di kos-kosan yang harganya cukup mahal. Kamu tidak masalah, kan tinggal di gubuk ini?"
Aku mengangguk ragu. Nanti akan aku coba menyesuaikan diri. Seperti katanya, kami bisa menghemat pengeluaran. Mudah-mudahan bisa membangun rumah sendiri. Meski aku yakin, ini tidak akan mudah. Memang aku bukan seperti Fita yang berasal dari keluarga berada. Hanya anak pedagang kaki lima yang makan seadaanya dan tidur dengan alas yang tak empuk. Namun, rumah Papa luas dan bersih. Berbeda jauh dengan kondisi gubuk ini.
"Ayolah, jangan pasang tampak kayak gitu. Aku jadi takut tidak bisa membuatmu nyaman. Boleh, ya kita bertahan di sini? Aku janji bakal memberikanmu rumah idaman, tapi kita berusaha bareng ya."
"Iya. Ini sebenarnya layak ditinggal kalau kamu lebih rapi dikit. Kamu jorok, sih! Tuh, lihat. Sempak saja dilembar sembarangan. Kalau dibawa tikus gimana?"
"Ya, tidak usah pakai sempak kalau gitu."
"Aku serius, Bang. Pokoknya jangan jorok lagi."
Pipiku dicubit gemas. "Iya, Bawel. Kenapa perempuan itu rata-rata bawel?"
"Kamu pilih dibawelin atau didiamkan?"
"Lebih bagus kalau tidak dua-duanya."
"Enggak bisa. Harus pilih salah satu. Karena cuma dua itu yang sering perempuan lakukan. Termasuk aku. Kamu tahu, bawel itu karena kami masih peduli. Kalau diam artinya udah pegal dan memilih bersikap masa bodoh."
"Daripada bawel mending ngajak berdiskusi. Apa yang salah bisa langsung ke intinya."
"Ah, dasar laki-laki. Kenapa enggak mau ngalah sih sama cewek?"
Ardian tertawa dan mengacak-acak puncak kepalaku. Hal yang selalu dilakukan Sultan. Ah, kenapa aku malah mengaitkan ini dengan suami orang itu. Kutarik napas sambil berikrar dalam hati, setelah menikah aku harus menghapus jejak Sultan secara utuh. Akan kuukir kenangan baru bersama Ardian. Tidak mungkin aku menjadi istri durhaka dengan tetap menyimpan nama laki-laki lain.
Satu hal yang masih membuatku ketakutan. Keperawananku. Memang zaman sekarang ini sulit menemukan gadis yang masih utuh. Kebanyakan telah memaklumi hal tersebut. Karena sebenarnya mereka juga tidak perjaka. Aku tidak tahu Ardian tipe yang mana. Hanya terus berharap ia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Semoga.
Dua hari kemudian, ijab kabul terlaksana di rumah Vini. Bahkan ibunya menyediakan kamar khusus untuk ritual malam pertama kami. Dihias sederhana, tapi menyejukkan mata.
Pukul sepuluh malam ketika para tamu telah pulang ke rumah masing-masing, Ardian dengan senyum semringah memasuki kamar. Aku memejamkan mata di depan cermin meja rias. Waswas. Tiba-tiba tangannya melingkar di dadaku. Aku terperangah. Sebisa mungkin kutahan napas.
Ia mengecup telingaku dan berbisik, "Boleh sekarang, kan?"
Aku berdiri, membalikkan badan menghadap ke arahnya. Kusunggingkan senyum kikuk, lalu mengajaknya duduk di permadani tanpa hiasan bunga.
"Apa kamu pernah punya pacar yang serius?"
"Pernah. Tapi, aku ditinggal nikah. Kenapa? Takut aku tergoda mantan? Tenang saja. Aku laki-laki setia."
"Apa kamu pernah tidur dengannya?"
"Hah? Yang benar saja. Aku tidak paham ilmu agama, tapi orang tuaku mengajarkan tentang adab. Dan, berzina bukan hal baik."
Mendengar jawabannya membuat deguban jantungku tak lagi menentu. Ya, Tuhan! Bantu aku menghadapi semua ini.