Sekian menit kami terdiam. Hanya detak napas Fita yang memburu sangat jelas terdengar. Aku hanya bisa meremas tangan sambil memejamkan mata. Andai Fita membawa pisau dan menusuk perutku, aku bakal pasrah. Kesalahanku memang tidak bisa dimaafkan.
Tiba-tiba Fita berteriak, lalu terisak. Meski gemetaran, aku membuka mata. Kulihat ia mencengkeram setir hingga urat di tangannya tampak jelas. Detik selanjutnya setir yang tak bersalah itu mendapat serangan. Fita memukulnya berkali-kalu, lalu membenamkan kepala di sana. Isak tangisnya menyayat hati. Siapa pun yang mendengar tangisannya akan merasa iba. Termasuk aku yang saat ini teramat terpukul. Karena akulah penyebab ia menangis tersedu.
Fita mengambil ponselnya di dasboard, lalu membuka pintu mobil dan keluar. Dengan isyarat, ia memintaku mengikutinya. Perintahnya kuturuti. Tidak ingin membuatnya semakin murka. Ada batu besar tepi danau. Ia mengajakku duduk di sana. Setelah menarik napas sejenak, ia menyodorkan ponselnya padaku.
"Bantinglah atau pukulkan dengan batu sampai rusak!"
"Itu barang berhargamu. Kenapa nyuruh aku ngerusakin?"
Fita tertawa dalam tangisnya. Ia mengusap ingus, lalu tertawa sinis.
"Kamu tidak berani merusak HP-ku. Kamu tahu? Keutuhan rumah tanggaku lebih berharga daripada HP ini, tapi kamu berani merusaknya. Kamu benar-benar iblis!"
Ia menjambak rambutku hingga wajahku tersuruk di atas rumput. Tangan kirinya memukul punggungku berkali-kali.
"Aku ingin membunuhmu, Nina!"
"Bunuhlah!"
Kini dua tangannya menjambak rambutku. Kemudian kepalaku dibenturkan ke tanah. Berkali-kali hingga aku merasa pusing dan sakit. Namun, rasa sakit itu aku tahan. Biarkan Fita melampiaskan amarah. Jika ia benar-benar ingin membunuhku, semoga Tuhan mengampuni dosa yang baru kulakukan.
"Aku benci bau Sultan yang melekat di tubuhmu, Perempuan Iblis!"
Rambutku dilepaskan. Ia tersungkur di atas rerumputan. Menangis tersedu. Tangisannya terhenti saat ponselku berdering. Sultan memanggil. Bergegas kutolak dan menekan tombol off.
"Kenapa ditolak? Mungkin dia belum puas? Bilang saja kamu akan datang ke rumah kami nanti malam. Bercintalah sepuasnya di kamar kami."
Wajah Fita memerah. Kemarahannya mungkin sudah di level puncak. Sepertinya selama ini ia menahan diri dan sekarang tidak mampu ditahan lagi.
"Apa kamu mau membalas kejahatanku dulu yang suka mem-bully? Apakah itu sepadan? Kamu bisa merusak barang-barangku, tapi jangan usik rumah tanggaku, Nina. Aku mohon, jauhilah Sultan! Pergi dari kota ini sejauh-jauhnya jika kamu enggak bisa menahan diri. Aku hamil dan suamiku malah mau menghamilimu. Di mana nuranimu, Nina? Aku tahu nurani Sultan sudah lama mati, tapi kamu ..."
Ia terisak lagi. Untunglah ia memilih danau yang sepi untuk melampiaskan amarahnya. Jika tidak, kami akan menjadi bahan tontonan. Bahkan akan ada tangan usil yang merekam demi konten.
"Bicaralah, Nina! Jangan diam saja seperti boneka yang dimainkan Sultan seenak udelnya," ujarnya sambil menampar pipiku. Sakit. Namun, aku tetap membisu. Memangnya kata apa yang pantas kuucapkan? Permintaan maaf? Hah, aku tidak ingin mengucapkan sesuatu yang dipaksakan.
"Aku minta maaf, Nin." Fita menggenggam tanganku. Sorot matanya terluka. "Sebenarnya akulah orang ketiga di antara kamu dan Sultan."
Aku mengernyit. Kutatap lekat-lekat matanya yang dipenuhi genangan air mata. Ingin kutanya maksudnya perkataannya, tetapi tidak ada kata yang terucap. Aku membisu. Biarkan ia menjelaskan sendiri. Namun, detik-detik berlalu hanya tangisan Fita yang terdengar. Dan, aku tak tahan lagi.
"Apa maksudmu?"
"Dulu saat melihat kebersamaanmu dengan Sultan, aku tidak terima. Bagaimana perempuan berwajah kusam sepertimu bisa menggaet laki-laki rupawan dan dewasa sepertinya. Aku menggoda dan dia merespons. Ya, sifat laki-laki memang seperti itu, kan? Akhirnya aku menggunakan kamu untuk mendapatkannnya. Jika dia enggak menurut, kamu yang akan dalam bahaya. Tapi itu sudah berlalu, kan? Sekarang dia suamiku. Aku mohon, jangan merusak rumah tanggaku. Apa kamu mau anakku tumbuh tanpa kehadiran ayahnya? Aku akan kasih kamu uang, berapa pun jumlahnya. Menjauhlah dari Sultan."
Kuempaskan genggaman tangannya. Setelah mengetahui maksudnya, aku memiliki keberanian melawan. Kalau Fita bisa bersikap egois, kenapa aku tidak bisa. Apa keadilan hanya untuk orang cantik dan berduit sepertinya? Sementara perempuan berwajah kusam dan berasal dari keluarga sederhana hanya bisa menerima apa pun yang terjadi? Tidak. Aku akan membalas perbuatannya dulu. Sultan milikku dan Fita hanya pengganggu yang merusak kebersamaan kami.
"Sepertinya ide tidur di kamarmu nanti malam seru juga. Sultan sangat buas dan aku yang belum puas." Ia membelalak. Kutepuk pelan pipinya sembari tersenyum miring. "Tunggulah adegan panas kami. Kamu bisa merekamnya sebagai tontonan saat kesepian."
Kunyalakan ponsel dan menghubungi Sultan. Sepertinya seru membuat Fita kepanasan.
"Kamu di mana? Kenapa taksinya datang kamu tidak ada?"
"Aku sedang belajar kamasutra."
"Hah?"
"Belajar posisi yang nikmat untuk percintaan kita nanti malam."
"Ada apa denganmu, Nin? Besok kita nikah, jangan aneh-aneh."
"Aku tahu. Tapi, aku masih belum puas."
"Apa yang terjadi, Nina? Jangan gila kayak gini. Kamu di mana? Aku jemput."
"Enggak usah. Aku mau ngasih surprise nanti malam. Bye, Sayang."
Kuakhiri panggilan dan tersenyum puas saat melihat Fita memandang sendu. Biar perempuan ini tahu betapa sakitnya aku dulu. Aku tidak pernah mengusiknya karena merasa tidak setara. Kenapa ia malah merundung dan memanfaat kuasanya untuk memiliki Sultan. Ya, kuakui semua terjadi atas andil Sultan. Namun, biarkanlah kulimpahkan semua kesalahan pada Fita.
"Kamu benar-benar ingin balas dendam, Nin?"
"Ya. Dulu aku diam bukan karena masih remaja, Fita. Aku hanya mengira Sultan menganggapku adik atau sekadar sahabat. Sekarang semua sudah jelas. Karena ulahmu aku kehilangan Sultan. Maka, sebentar lagi aku akan merebutnya kembali."
"Kamu enggak perlu melakukan itu, Nina. Dari dulu Sultan tetap mencintaimu. Kalian saling cinta, aku tahu. Aku enggak memaksa Sultan mencintaiku. Biarlah aku cinta sendiri asalkan enggak ada perceraian."
"Kamu stres atau nggak waras, sih? Untuk apa coba kamu bertahan dengan pernikahan seperti itu?"
Fita menghapus air mata yang masih setia menetes. Entah air mata itu sudah lama menemaninya atau baru sekarang ini. Itu urusannya. Mau menangis darah sekalipun, aku tidak peduli lagi.
"Kamu tahu, kan? Waktu nikah dulu, papaku enggak mau. Ia tahu kedekatan kalian. Ia merasa kalau pernikahanku dan Sultan enggak akan berhasil. Aku enggak mau Papa semakin kecewa. Tolong, Nina. Sekarang Papa sudah mau menerima Sultan. Jangan buat papaku syok."
"Sepertinya itu bukan urusanku, Fita. Ayo, pulang!"
Aku berdiri dan masuk ke mobil. Detik-detik berlalu, Fita masih meratap di atas rerumputan. Menangis dan menangis lagi. Aku mendengkus dan berteriak, "Fita! Buruan!"
Dengan langkah gontai Fita masuk ke mobil. Ia ingin mengantarku pulang, tapi aku menggeleng.
"Aku ikut kamu pulang. Bukannya tadi kamu memberi saran bercinta di kamarmu? Aku bakal turuti ide itu."
"Kamu benar-benar sudah jadi iblis sekarang, Nina! Demi anak dalam kandungku, aku bersumpah, kamu enggak akan bahagia."
"Sekarang aku sedang bahagia, Fita."
"Ya, sama seperti aku dulu. Sangat bahagia saat berhasil membuatmu terluka."
"Sudahlah, terima saja akibat perbuatanmu. Sekarang jalankan mobilnya. Aku pengin mandi dan menyambut Sultan dengan baju seksi. Kamu punya, kan? Aku pinjam."
Fita memukul setir dan menggeram marah. Namun, ia tidak bertindak kasar lagi. Mobil melaju dan berhenti di rumah mereka.
"Yang mana kamar kalian?"
"Nina ..."
"Enggak usah ceramah. Seperti katamu aku iblis. Iblis enggak suka dinasihati."
"Itu kamarnya. Silakan puaskan nafsu bejatmu. Dan lihatlah apa yang akan aku lakukan."
"Mau bunuh diri? Bagus, deh. Jadi aku bisa miliki Sultan tanpa rengekanmu."
Ia melangkah menjauh. Masuk ke salah satu kamar dan membanting pintu dengan kasar. Mungkin melanjutkan tangisannya. Aku tidak peduli lagi.
Bergegas aku masuk ke kamar. Ada kamar mandi di dalam. Selesai membersihkan diri, aku memakai kemeja Sultan yang panjangnya hanya menutupi sebagian pahaku. Aku benar-benar jadi perempuan nakal sekarang. Ada sebagian hatiku berbisik untuk membatalkan rencana gila ini. Namun, bisikan itu terhalang oleh besarnya kekesalan atas kenyataan yang dibeberkan Fita. Biarkan aku jadi iblis seperti katanya.
Pukul delapan malam, mobil Sultan terdengar. Aku bergegas keluar. Fita di ruang TV, bermain dengan ponselnya.
"Hai!"
Sultan ternganga melihatku menyambut kedatangannya. Ia terpaku di tempat dengan mata dan mulut terbuka lebar.
"Kenapa kamu di sini?"
"Masuklah! Kan, sudah kubilang bakal ngasih kejutan."
Kulingkarkan tangan di lengannya, lalu mengajak masuk. Tiba di ruang TV, aku mendorong ke sofa panjang samping Fita. Perempuan itu diam saja. Tatapannya tidak beralih dari ponsel. Aku tahu itu hanya pengalihan.
"Apa yang terjadi, Nina? Kenapa kamu jadi nakal begini?"
"Kamu suka, kan?" Kukecup bibirnya sejenak, lalu melirik Fita yang masih membisu. "Fita ngidam, pengin lihat kamu bercinta denganku. Ngidam yang aneh."
Sultan tertawa, lalu menarik aku duduk di pangkuannya. Pantatku ditepuk dan kami pun b******u. Tidak peduli pada keberadaan Fita. Saat cumbuan Sultan semakin memanas, aku mendengar suara pintu dibuka dengan kasar. Aku milirik Fita, ia tersenyum sinis. Namun, tidak kupedulikan apa pun. Karena Sultan tidak menghentikan cumbuannya. Kenikmatan itu membuatku lupa.
Tiba-tiba rambutku ditarik. Sebuah tangan kekar melayang ke pipiku. Kemudian beralih menghajar Sultan. Papaku.
"Apa seperti ini kelakuan orang berpendidikan? Papa siang malam nyari duit agar kamu bisa sekolah tinggi, jadi orang yang berguna. Tapi, apa yang kamu lakukan. Ya, Tuhan! Nina kamu anakku yang polos, kenapa jadi jalang?" Ia menarik tanganku dan hendak melangkah pergi. Namun, Sultan mencegahnya.
"Nikahkan kami, Pa."
"Dasar laki-laki b***t!" Sekali lagi Papa menghajar Sultan. Menonjok perutnya hingga ia tersungkur. Aku ditarik keluar. Tiba di rumah, Papa mencambukku dengan ikat pinggang. Mama menangis sesenggukan. Setelah keadaan tenang, Mama memberikan uang dan dua buah cincin yang selama ini selalu disimpan dengan baik.
"Pergilah! Menjauh dari kota ini. Sampai kamu benar-benar sadar diri dan kembali ke jalan yang benar, barulah pulang temui kami. Jika kamu masih mengambil jalan yang salah ini, maaf Nina. Tidak usah memanggilku Mama."
Kini, air mataku yang menetes beriringan dengan perih mengiris hati. Aku telah menyakiti Mama dan Papa hanya karena ego.