Sehari setelah pernyataan cinta Sultan yang mencengangkan, aku tidak bersemangat lagi berangkat kerja. Hari ini ada rapat pengurus. Sudah pasti bakal hadir. Rasanya aku belum ingin bertemu dengannya saat-saat seperti ini. Hatiku masih dipenuhi kekesalan dan ... ah entahlah. Sebenarnya tidak benar-benar kesal. Aku hanya ingin menghindar sementara waktu. Namun, Mama terus memintaku berangkat kerja. Katanya, jangan jadi karyawan yang makan gaji buta. Malas-malasan kerja tapi minta gaji lebih.
Sebelum ceramah Mama semakin panjang dan membuat telinga berdengung, aku memilih berangkat. Tiba di tempat kerja, laki-laki yang ingin kuhindari itu duduk santai dalam ruanganku. Asyik mengetik tanpa dosa.
"Minggir! Aku mau kerja."
Sultan melirik tajam sejenak, lantas berdiri dan melangkah keluar tanpa kata. Setelah sosoknya menghilang, aku mengembuskan napas lega. Namun, mulutku ternganga kala melihat tulisan di komputer.
KALAU KAMU TIDAK JADI MILIKKU, SIAPA PUN TIDAK BISA MENDEKATIMU
Sungguh, aku tidak mengerti apa maunya. Kenapa tidak dari dulu ia nyatakan cinta dan posesif seperti ini. Kenapa cinta itu ia nyatakan setelah menikmati tubuh perempuan lain. Bukankah ia terlihat seperti b******n pecundang? Jangan-jangan ia hanya berlindung atas nama cinta, tetapi sebenarnya aku dimanfaatkan. Dugaan itu mengentak kesadaranku. Aku menarik napas pelan. Keadaan ini harus dipikirkan pakai logika. Tidak ingin mengandalkan perasaan senang hingga aku tersakiti kembali. Bukankah sudah dua kali sakit itu kurasakan?
Kuenyahkan semua perasaan gelisah yang terjadi. Fokus mengerjakan proposal yang diminta Pak Haris. Proposal itu harus selesai sebelum pukul dua belas siang ini. Pukul sembilan tiga puluh, aku selesai mengerjakannya. Kutarik napas lega dan menyunggingkan senyum meski hati diselimut gelisah.
Kuketuk pintu ruangan Pak Haris. Suara bass dari dalam menyuruhku masuk. Tidak seperti biasanya, hari ini aku diminta duduk. Sementara laki-laki paruh baya itu memeriksa proposalnya.
"Bagus," ucapnya memberi pujian singkat, lalu membubuhkan tanda tangan dan stempel. Berkas itu diletakkan di meja, kini Pak Haris mendekatiku. Ia memberikan tatapan aneh, membuatku waswas. Detik selanjutnya ia memelukku dari belakang. Ingin teriak, tetapi ketakutan mendominasi sehingga aku hanya bisa gemetaran dalam dekapannya. Air mata perlahan menetes. Aku menangis tanpa suara. Ketika dekapannya terlepas, aku ingin berlari keluar. Namun, otot-ototku terlalu lemas setelah mendapat kejutan terkutuk ini. Aku tidak bisa bergerak. Aku hanya bisa menutup muka dengan kedua telapak tangan sambil menangis sesenggukan.
Bencana apa ini ya Tuhan? Masalah dengan Sultan belum kelar, sekarang bertambah lagi. Kesalahan apa yang telah aku perbuat hingga Tuhan seolah memberi hukuman ini. Menjadi perempuan perusak rumah tangga orang bukanlah sebuah impian yang pantas diperjuangkan. Aku tidak ingin menjadi yang kedua apalagi perusak. Aku memang tidak kenal keluarga Pak Haris, tetapi ia tetaplah seorang suami. Apa yang akan istrinya katakan jika melihat suaminya memeluk perempuan lain. Sebenarnya itu kalimat yang sungguh munafik. Karena kemarin aku justru menikmati ciuman Sultan. Padahal ia pun berstatus sebagai suami orang.
Tiba-tiba aku merasakan usapan lembut di kepala. Kuturunkan tangan dan melihat ke depan. Pak Haris tersenyum hangat dan memberikan tisu. Meski hati masih diliputi amarah dan ketakutan, kuterima tisu itu dan bergegas menghapus jejak air mata di pipi.
"Maaf," ujar Pak Haris dengan senyuman khasnya yang meneduhkan siapa pun. Laki-laki ini yang kukenal sebagai orang ramah dan bersahabat pada siapa saja. Meski kami berbeda usia jauh, ia tetap menganggap semua karyawan adalah sahabat. "Saya hanya ngetes nyalimu."
Dua alisku bertaut. "Apa maksudnya, Pak?"
Ia tertawa hingga gigi-giginya terlihat. "Apa hubunganmu dengan Pak Sultan?"
Tanya itu membuat tangisku pecah. Aku terisak. Kubekap mulut agar suara tangis tak terdengar hingga keluar ruangan. Pak Haris terdiam, sengaja menungguku melampiaskan beban yang menyiksa hati. Setelah tangisan itu, aku merasa agak lega. Memang benar, menangis memang tidak menyelesaikan masalah. Namun, setelah menangis kita bakal bisa berpikir jernih karena hati sudah lebih tenang.
"Aku dan Sultan teman lama, Pak."
Pak Haris mengernyit. "Usia kalian berbeda jauh. Bagaimana bisa jadi teman lama?"
"Sewaktu aku SMA kelas satu, dia menolongku yang hampir pingsan di jalan. Itu awal perkenalan kami, lalu menjadi dekat."
"Dia sudah punya istri."
"Aku tahu, Pak. Istrinya kakak kelasku dulu."
"Lantas kenapa kamu mendekati Pak Sultan? Kebersamaan kalian tidak seperti teman, Nina."
"Ya, Sultan ingin aku jadi istrinya."
"Gila. Lantas kamu terima? Kamu suka jadi istri kedua? Saya ingatkan kamu, Nin. Jadi istri kedua itu tidak menyenangkan. Masyarakat di negara kita ini, sebaik apa pun istri kedua, selalu dianggap salah. Kamu harus bersedia dihujat dan dicaci oleh siapa pun. Bahkan orang yang tidak kamu kenal."
"Terima kasih nasihatnya, Pak. Aku juga tidak ingin jadi perusak."
"Maka jauhilah Sultan. Saya punya anak gadis, sama seperti kamu. Siapa pun bebas menyukaimu, tapi kamu harus bisa mengontrol siapa yang bisa kamu terima. Kamu anak baik. Jangan menyakiti hati perempuan lain demi pemenuhan egomu. Kembalilah ke ruangan! Sebentar lagi rapat."
Aku berdiri setelah mengucapkan terima kasih atas nasihat baiknya. Sungguh aku bersyukur mendapat pencerahan dari Pak Haris. Rencanaku selanjutnya telah tergambar jelas. Aku harus keluar dari lembaga ini. Bila perlu menjauh dari kota yang mempertemukan aku dan Sultan.
Rapat dimulai. Aku tidak ikut. Hanya berdiam diri dalam ruangan setelah membuat surat pengunduruan diri. Ini ketetapan yang kuyakini sebagai jalan terbaik. Daripada aku menjadi pencetus luka batinnya Fita. Aku masih percaya sebab akibat. Apa yang kita tanam, bakal menuai hasilnya. Hari ini aku membuat perempuan lain sakit hati, esok atau kapan saja Tuhan bisa memberikan rasa sakit itu dalam hidupku.
Dua jam berikutnya aku masih membisu. Kupejamkan mata sambil memijat pelipis. Mungkin kebanyakan mikir kepalaku tiba-tiba sakit.
Kebisuanku terganggu oleh pintu yang dibuka kasar. Saat aku membuka mata, Sultan mengunci pintu, lalu melangkah mendekat.
"Kenapa enggak ikut meeting?" tanyanya sambil duduk di sampingku. Ia merogoh saku, mengambil rokok dan segera dinyalakan. Ia tidak peduli meski aku memandang aneh dan penuh tanya.
"Sejak kapan kamu merokok?"
"Sejak kamu pergi ke Jogja tanpa pamit."
Aku membuang napas. Masa lalu. Tak ingin kubahas lagi. Aku menyodorkan surat pengunduran diri. Setelah melihatnya sejenak, ia menggertakkan gigi hingga syaraf di rahangnya jelas terlihat.
"Kamu mau menjauh dari aku lagi?" tanyanya sambil memandang tajam ke arahku. Aku tertawa sinis.
"Sebenarnya bukan aku yang menjauh, Sultan. Kamu sendirilah yang memberi jarak itu. Sudahlah, aku enggak mau bahas lagi apa yang telah terjadi. Intinya aku enggak mau ikut campur urusan rumah tanggamu. Aku akan pergi dan enggak butuh izinmu."
Aku berdiri, menyambar tas di meja hendak melangkah keluar. Namun, ia memelukku dari belakang. Dua tangannya melingkar di perutku. Kepala bersandar punggungku dan ia sesenggukan.
"Please, jangan pergi!"
Ia mencumbuku dari leher ke telinga. Aku terlena. Nurani dan pikiranku berperang. Sejatinya aku memang ingin dicumbu olehnya, tapi sadar jika ini dosa dan akan menyakiti Fita. Namun, cumbuan itu terasa semakin nikmat dan aku lupa diri. Aku berbalik dan kami berciuman panas.
Menit-menit berlalu, aku dan Sultan basah oleh keringat. Ia mengangkat tubuhku ke meja dan meminta persetujuan. Aku mengangguk pasrah. Persetan dengan dosa. Peduli amat dengan Fita. Ini saat aku membalas kekejamannya dulu yang suka merundung. Biar ia juga rasakan sakit saat barang kesayanganya dirusak.
Aku terbaring lemah. Tidak ada penyesalan. Aku justru tersenyum lega sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang menggila. Bahagia semakin tak terbendung kala Sultan memberi kecupan singkat di keningku sambil berbisik, "Besok kita nikah. Ayo, aku antar pulang."
Setelah memperbaiki baju dan rambut yang berantakan, aku dan Sultan keluar ruangan tanpa dosa. Beberapa orang memandang sinis. Apa peduliku. Semua sudah terjadi. Keyakinan bahwa Tuhan Maha Melihat saja kuabaikan. Maka, tatapan sinis orang-orang ini pun tidak akan berpengaruh.
Pintu mobil dibuka, tetapi dering ponsel Sultan mencegah aku naik ke mobilnya. Ia berbicara serius, lantas memberikan tatapan sendu seusai mengakhiri panggilan.
"Aku ada urusan mendadak. Kamu naik taksi saja, ya!" Ia mengetik sesuatu di ponselnya, lalu mengecup keningku lagi. "Aku sudah pesankan taksi online. Tunggulah di depan."
Tanpa menunggu persetujuanku, ia naik ke mobil dan pergi. Tinggallah aku sendiri di halaman parkir. Sebelum Pak Haris atau karyawan lain datang menginterogasi, aku bergegas menjauh dari kantor. Sebuah mobil berhenti, pintunya dibuka. Aku melirik ke dalam dan seketika terngaga saat melihat Fita.
"Naiklah! Aku ingin bicara."
Dengan hati gelisah, aku naik ke mobilnya. Detik selanjutnya, Fita melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali ia menyalip mobil depan. Aku semakin waswas.
"Fita, kamu sedang hamil. Turunkan kecepatannya."
Seruanku tidak diindahkan. Bahkan semakin menggila. Ia menerobos lampu merah dan bisa ditebak. Kami dikejar polisi lalu lintas. Mobilnya terhenti di dekat jembatan. Kami dihampiri polisi.
"Maaf, Pak. Saya sedang kesal karena suami saya bercinta dengan perempuan ini."
Aku terngaga. Astaga. Jadi, Fita tahu kejadian di ruangan tadi. Apakah tatapan sinis karyawan berhubungan dengan keberadaan Fita di kantor.
"Selesaikan urusan keluarga di rumah, bukan di jalan," ujar Pak Polisi. Fita dimaafkan dan diminta pulang ke rumah dengan kecepatan normal. Namun, mobil tidak melaju ke arah rumahku atau rumah Sultan. Aku tidak bertanya. Sengaja membisu untuk memberi ruang pada Fita menenangkan diri. Ia pasti sangat terkejut. Mobil berhenti di tepi danau. Fita menarik napas dan menatap mataku.
"Berapa ronde? Kamu terlentang atau menungging? Apakah kamu sangat menikmatinya?"
Seketika aku gemetaran. Ya, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?