Pesan untuk Sultan

1533 Words
Pagi setelah memerkosaku lagi, Ardian pergi entah ke mana. Mungkin menginap di warung, tempatnya bermain catur. Hari ini genap tiga hari jika ia tidak pulang lagi. Bahkan hari ini pun hampir gelap. Aku benar-benar pusing memikirkan sikapnya yang tak menentu. Efeknya aku jadi telat haid. Entah telat karena stres atau memang pembuahan telah terjadi. Harusnya kemarin tamu bulanan itu berkunjung. Sekarang kebingungan melandaku. Tadi menyempatkan diri ke apotek, membeli tespack. Namun, alat itu masih tersimpan rapi dalam tas. Aku tidak berani mencoba dan melihat hasilnya. Dalam kekalutan, aku masih berharap Tuhan tidak mencandai kehidupanku lagi. Air mata tak bisa dibendung. Aku menangis tanpa suara di sudut kamar yang gelap. Kaki tak lagi memiliki energi untuk bergerak. Suara motor yang kukenali milik Ardian terdengar. Diikuti deritan pintu terbuka pada menit berikutnya. Aku masih bergeming. Toh, tak ada gunanya juga kusambut kedatangannya. Bukan aku yang menabuh genderang perang. Sikap egoisnya yang menciptakan rasa enggan di hatiku untuk menyambut kedatangannya secara wajar. Lagi pula, seharusnya aku yang ngambek karena dikasari dan ditinggal pergi berhari-hari. Bunyi saklar dibarengi dengan ruangan yang mendadak terang, tak mengusik pergerakanku. Aku tetap membisu dengan kepala tertunduk. Ada dua alasan; ingin balas mengabaikan Ardian dan menyembunyikan gelisah yang menyerang batin. "Astaga, Nina. Kenapa duduk di lantai?" Dapat kurasakan Ardian melangkah mendekat. Tak lama ia sudah duduk di depanku. Tangannya bergerak mengusap lembut kepalaku. Tindakan yang membuatku ingin menangis tersedu-sedu. Kenapa sikapnya seperti air pasang surut. Kadang meledak hanya karena salah paham. Kadang berubah lagi seperti pangeran dalam dongeng yang sangat memanjakan permaisurinya. "Maaf. Aku pergi karena ingin meredam amarah. Jika tetap di sini, niat ingin berbuat kasar padamu semakin tak terkendali." Kalimat yang baru diucapkan itu kucerna dengan baik. Ada rasa bahagia karena ia menghindari demi menyelamatkan ragaku. Namun, ketakutan pun seketika menyerang. Mungkinkah Ardian memiliki penyakit mental. Bagaimana jika ikatan pernikahan ini terjebak dalam abusive relationship. "Nina!" Tanpa mengatakan apa pun, aku berdiri tiba-tiba membuat tubuhnya terdorong ke belakang. Tak menghiraukan hal itu, aku beranjak naik ke dipan lalu menutupi seluruh tubuh dengan selimut. "Baiklah jika tak ingin berbicara denganku. Aku kasih kamu waktu membisu selama tiga hari. Lebih dari itu, aku akan menmpermalukan diri di tengah jalan." Dari balik selimut, tangannya bergerak mengusap kepalaku. Suaranya pelan-pelan melirihkan nyanyian pengantar tidur. Seolah aku bayi kecilnya yang harus dininabobokan saat hendak tidur. Diam-diam aku tersentuh. Sedikit demi sedikit pikiran mulai tenang dan kantuk seketika menghampiri. Tanpa paksaan, mataku perlahan terpejam lantas semua menjadi gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi selain bermimpi indah. Aku terbangun dengan badan segar. Sudah tak ada Ardian. Padahal biasanya ia selalu bangun telat. Saat melangkah keluar, aku melihatnya sibuk di dapur. Sikapnya mendadak aneh lagi. Baru kali ini aku melihatnya berdiri di depan kompor. Itu kompor baru kubeli. Sejak diajak ke sini, rumah ini sama sekali tidak memiliki kompor. Jadi, selama bertahun-tahun hidup di Jawa, Ardian menjadi pelanggan setia warung makan. Saat ia menoleh, aku mengalihkan pandangan dan bergegas masuk ke kamar mandi. Hari ini aku mulai kerja. Setelah mandi dan berkemas, aku hendak pergi tanpa pamit. Aku tahu itu salah, tetapi keinginan memberi efek jera pada Ardian sedang menguasai pikiran. "Sarapan dulu. Nanti aku antar." Ardian mencegah langkahku. Tanganku dicekal. Dengan terpaksa aku duduk dan menyantap roti bakar buatannya. "Makanlah yang banyak. Aku mau salin bentar. Ingat, jangan kabur. Aku antar kamu ke tempat kerja." Aku menurut. Namun, tetap membisu sepanjang perjalanan dari rumah ke butik. Ardian pun sama. "Terima kasih," ujarku ketus setelah tiba di depan butik. Kipikir ia akan bergegas pergi agar tidak terlambat ke kantor. Nyatanya, ia turun dan berjalan di sampingku. Tanpa ragu tanganku digandeng. "Enggak perlu antar aku ke dalam, Bang. Nanti kamu telat masuk kantor." "Kamu tidak mau aku masuk agar karyawan-karyawan di sini mengiramu masih single, hah?" Suaranya kencang. Beberapa karyawan yang sudah tiba melirik ke arah kami. Aku tidak ingin berdebat apalagi ribut di tempat kerja. "Oke, antar aku sampai ke ruangan. Bila perlu kamu tungguin aku sampai kerjaan hari ini beres." "Tidak usah marah-marah. Aku tahu batasan." Astaga! Bukankah ia duluan yang berbicara kasar sepagi ini. Kenapa malah aku yang dibilang marah-marah. Kutarik napas dalam-dalam. Semoga beban di pikiran dan jiwaku diembuskan bersama tiap helaan napas. Tiba di ruangan yang ditunjuk Ivan saat pertemuan waktu itu. Sebuah ruangan yang cukup luas dan nyaman. Aku dan Ivan berada dalam satu ruangan. Namun, laki-laki itu belum tiba. Aku bersyukur. Benar-benar tak ingin Ivan bertemu dengan monster yang masih berdiri dalam ruanganku ini. Ingin memintanya ke kantor sekarang, tetapi tak lagi berani. Tak ingin ia mengamuk lagi. Biarkan saja ia berdiri di sini sampai puas. Urusan kerjaannya tak mau kuurusi lagi. Nanti juga bakal ditegur atasannya. "Kamu tidak menyuruh aku duduk?" tanyanya saat melihatku duduk. Demi apa pun aku ingin berteriak. Ardian benar-benar seperti anak kecil. "Aku bukan pemilik ruangan, Bang. Kalau mau duduk ya duduk saja." "Kenapa marah-marah lagi? Aku sudah berbaik hati bangun pagi-pagi buatin sarapan, antar kamu ke sini. Aku cuma mau kerja dengan hati tenang. Kenapa kamu tidak mengerti, sih?" Aku ternganga. Jadi sedari tadi ia tidak segera berangkat karena ingin mendapat maaf dariku. Aku mengulum bibir, menahan tawa yang hampir meledak. Tak ingin ia semakin kesal, aku berdiri dan melangkah mendekat. Tepat di depannya, aku mengulurkan tangan, mengusap lembut pipinya. "Baiklah, Sayang. Makasih sudah mengantarku. Sekarang pergilah ke kantor. Aku memaafkan kesalahanmu yang pergi tanpa pamit berhari-hari." "Tidak usah diungkit. Aku tahu itu salah, tapi ada alasannya. Jangan memancing kemarahanku lagi." Kutarik napas lagi sambil menahan diri agar tidak mengeluarkan umpatan atau caci maki. Pagi ini, Ardian benar-benar membuat jantungku bekerja ekstra. "Iya, maaf." Hanya dua kata itu yang akhirnya kuucapkan. Tak ingin memperpanjang masalah. Ia mengecup keningku, lalu melangkah keluar. Tiba di ambang pintu, ia bertemu Ivan yang baru saja tiba. Laki-laki berlabel Ardian yang berstatus suamiku itu menghentikan langkahnya. Ia dan Ivan saling tatap. Seolah terjadi perang meski tanpa menggerakkan fisik. "Aku suami Nina. Dengan sangat hormat pada Anda agar jangan sekali-kali menggodanya." Aku meringis sambil menepuk jidat. Astaga. Ardian benar-benar membuat masalah dalam hidupku. Sebelum Ivan membalikkan kata-kata peringatan Ardian, aku menangkupkan kedua tangan. Memohon pada Ivan tanpa suara. Berharap ia memahami pergerakan tangan dan wajahku. "Saya tahu batasannya, Mas. Saya lebih suka janda daripada menggoda istri orang." "Bagus. Ingat, jangan coba-coba mengajak masuk ke mobil dan pura-pura mengantarnya pulang. Aku tidak sudi istriku disentuh laki-laki lain walau hanya ujung jarinya." Ardian melangkah keluar dengan arogan. Mungkin merasa hebat karena berhasil mengancam dan membungkam Ivan. Ia benar-benar laki-laki egois. Namun, ada rasa yang mengingkari. Nyatanya, hatiku menghangat ketika Ardian bersikap protektif seperti itu. "Maafkan suami saya, Pak." Ivan tertawa sambil melangkah duduk di balik meja kerjanya. Ia menghidupkan laptop dan meletakkan beberapa berkas ke mejaku. "Apa dia menyiksamu malam itu?" "Enggak." Tidak mungkin aku ceritakan perilaku Ardian pada laki-laki lain. Tidak pantas. "Dia hanya menggosok tanganku dengan sabun. Ya, katanya aku pasti abis bersalaman dengan laki-laki." "Cukup mengerikan laki-laki dengan sikap over protective kayak gitu." Ivan menghela napas sejenak. Menjeda kalimat. "Nina, meskipun kita baru kenal, aku sungguh peduli padamu. Jika hubunganmu bermasalah, jangan ragu kasih tahu aku. Jangan menyimpan lukamu sendiri. Kita sama-sama anak rantau. Hidup jauh dari keluarga itu menyedihkan." "Terima kasih atas kepeduliannya, Pak. Tapi ... sebaiknya kita sudahi pembicaraan yang enggak ada kaitan dengan kerjaan. Apa aku boleh kerja sekarang." Aku mulai mengerjakan segala sesuatu yang telah Ivan instruksikan. Benar-benar fokus kerja dan tak mau sekadar basa-basi. Menjelang makan siang, Ivan mengajakku keluar. Makan siang di warung depan butik. Namun, aku menggeleng. Ancaman Ardian malam itu masih teringat jelas. Daripada ia mengamuk, lebih baik pilih jalan aman. "Kenapa? Si posesif itu melarang makan bersamamu?" tanya Ivan tepat sasaran. Aku hanya tersenyum kecut. "Baiklah. Tunggus saja di sini. Aku pergi beli makanan. Kalau kita makan dalam ruangan, tuh laki tidak akan tahu. Seandainya dia punya mata-mata di luar." Makanan yang sudah dibeli Ivan, tidak bisa kutolak. Hari esok nanti, aku akan membawa bekal sendiri. Selain untuk menghemat, aku pun tak ingin terus menerus ditraktir Ivan. Aku tahu ia tulus, tetapi tetap saja tidak enak hati jika terus-terusan menerima kebaikan hati orang lain. Saat keluar dari butik pada jam pulang kerja, Ardian telah menungguku di atas motor. Kusunggingkan senyuman manis untuk membuat suasana hatinya tenang. Aku berhasil. Bibirku dikecup tanpa sungkan. Kami pulang ke rumah dengan hati yang damai meski lelah menyerang. Baru saja membuka pintu, sebuah pesan masuk di ponselku. Nomor asing. "Gimana? Kamu belum haid, kan?" Ya, Tuhan! Ini Sultan. Hanya laki-laki itu yang tahu siklus haidku. Aku benar-benar pusing sekarang. Tadi aku sempatkan baca di internet, kehamilan belum terdeteksi jika baru satu minggu pembuahan. Aku kalut. "Aku tidur duluan, Bang." "Kamu kenapa?" tanyanya bernada simpati. "Pusing." Kupejamkan mata dan menangis dalam diam. Dadaku sesak. Penyesalan tiba-tiba menyeruak. Kenapa aku begitu bodoh. Terpedaya akan cinta yang tak pasti. Sekarang menderita sendiri. Aku tertidur pulas, lalu terbangun pukul dua belas. Ardian masih asyik bermain ponsel. Mungkin terlalu fokus, ia tak menanyakan apa pun ketika aku melangkah keluar menuju kamar mandi. Aku menutup mulut dengan linangan air mata yang terus menetes saat melihat ada darah. Aku haid. Segera kuberlari ke kamar, mengirimkan chat pada Sultan. "Aku sudah haid. Jangan mengganggu kehidupanku lagi." Baru selesai menekan tombol kirim, Ardian merampas ponselku. Aku terbelalak. Ya, Tuhan. Bencana apa lagi yang bakal kuhadapi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD