Plin-plan

1494 Words
Lima hari berlalu dengan sangat indah. Ardian membuatku mabuk kepayang. Sungguh tak menyangka ia bisa menjadi sangat lembut dan perhatian. Dengan mudahnya ia menghapus jejak Sultan dalam pikiranku. Meski belum seutuhnya. Mungkin kelak bila kebersamaan kami telah berbilang tahun, segala tentang Sultan tidak ada lagi walau setitik. Itu hanya sebuah harapan. Semua itu akan mudah terwujud jika dua hari lagi tamu bulanan berkunjung. Jika tidak, tamatlah kebahagiaan yang aku dambakan. Sirna bersama keegoisan Sultan dan kemurkaan Ardian. Entah masalah apa bakal kuhadapi jika janin itu benar-benar melekat di rahim ini. Kutarik napas panjang. Tak ingin memikirkan hal-hal buruk yang belum terjadi. Hanya ingin menenangkan hati dari gelisah jika terlalu dipikirkan. Bergegas aku meraih ponsel yang berdering. Senyumanku tersungging saat melihat nama Vini tertera di layar. "Ada apa?" "Ada tawaran kerja di butik dekat kantor kecamatan. Sebagai finance. You arep ra?" "Wah, tawaran yang menarik. Tentu saja aku mau, tapi harus minta izin Ardian dulu deh." "Ardian sudah tahu dan dia oke. Jadi aku mau ngajak you ke butik." "Memangnya kamu enggak kerja?" Bentar sore, Nina. Not now. Aku telepon awal buat you siap-siap. Ngerti?" "Paham, Bu. Enggak usah nge-gas. Aku bakal datang tepat waktu." Aku tersenyum sendiri setelah Vini mengakhiri panggilan. Sungguh sangat bahagia mendapat tawaran kerja ini. Dengan bekerja, aku bisa menyibukkan diri dan bisa menghasilkan uang untuk membantu Ardian. Harapan awalku adalah bisa menabung untuk membeli sebidang tanah. Semoga saja harapan itu terkabul. Selama berharap atau berangan-angan itu masih gratis, aku akan selalu melambungkan harap. Terkabul atau tidak hanya urusan Sang Kuasa. Aku hanya ingin terus berusaha. Karena berharap tanpa usaha adalah mimpi yang sia-sia. Menunggu sore tiba, aku membuat taman kecil di depan rumah yang tidak luas. Kemarin Ardian pulang membawa banyak pot. Saat menanam bunga yang didapatkan dari kebaikan hati tetangga, ponselku berdering. Kuabaikan karena tangan sudah berlumuran tanah. Namun, panggilan itu tidak berhenti hingga kali ketiga. Aku menyerah. Setelah mencuci tangan, kulihat nama penelepon. Tidak ada. Panggilan berturut-turut itu dari nomor asing. Aku sudah memblokir nomor Sultan. Mungkin saja ini nomornya yang baru. Aku terima, tetapi tetap membisu. Hanya ingin mendengar suara di seberang sana. Jika itu suara Sultan, aku akan segera memblokirnya lagi. "Halo!" Suara perempuan. Sepertinya sudah berusia lanjut. "Iya. Siapa, ya?" "Kenapa tidak diangkat? Kau tuli?" Aku menggeleng dan hampir tertawa mendengar nada marah sang penelepon. Tidakkah ia berpikir bahwa yang ditelepon mungkin sibuk. "Maaf, aku sedang di luar. Enggak pegang HP. Ada apa, ya?" "Ardian itu anak laki-lakiku satu-satunya je. Dia jadi seperti sekarang karena jasa ibunya nih. Jangan coba-coba kau kuasai uangnya." Aku terpaku. Bagaimana mungkin ada yang menelepon hanya mengancam orang seperti ini. Namun, aku tidak ingin semakin dianggap tak sopan jika membantah. Kuturuti saja perkataannya. Bagaimanapun perempuan ini yang melahirkan Ardian. "Terima kasih sudah meluangkan waktu menelepon menantu kesayanganmu ini. Maafkan saya yang lupa meminta Bang Ardian agar menghubungi Mama. Maaf, ya. Mama tenang saja. Selamanya Ardian tetap milik Mama. Ia di sini hanya ditugaskan Tuhan untuk menjaga anak orang." "Tak payah berlagak baik. Aku nih tahu kau mau jerat anakku. Kalau tak, kiapa nikahnya tiba-tiba. Padahal selama hidup di Jawa, Ardian selalu cakap bila ada perempuan nak dia dekati. Dia akan minta doa restu ibunya nih." Aku memutar mata dengan kesal. Ternyata aku belum bisa sabar menghadapi manusia seperti ini. "Berarti selama ini doa Mama enggak terkabul. Makanya dia enggak bilang lagi saat kenal sama aku." "Kurang ajar! Kau cakap doa seorang ibu tertolak?" "Enggak tuh. Aku enggak bilang kayak gitu. Mamaku yang baik hati, murah senyum, dan enggak suka marah-marah, tolong tenang ya. Aku sayang Mama. Karena Mama sudah melahirkan dan merawat Bang Ardian dengan baik. Nanti aku kirimkan Mama oleh-oleh sebagai tanda perkenalan kita." "Jangan kaurayu aku dengan hadiah. Aku tak terpancing dengan omong kosongmu." "Iya, aku tahu Mama bakal suka hadiah ini. Pokoknya Mama tunggu saja, ya. Love you, Mama. Aku mau pipis dulu. Bye, Ma." Membayangkan ibu mertua yang kesal dengan mata membelalak membuat tawaku tak bisa ditahan. Aku tahu, rasa cemburu dan takut kehilangan melatarbelakangi kecurigaan perempuan paruh baya tadi. Kini sang anak tak hanya miliknya seorang. Cinta Ardian telah terbagi antara ibu dan istrinya. Siapa pun yang mengalaminya akan merasa cemas. Takut ditinggal dan tak lagi menjadi prioritas. Aku memahami kecemasan ibu mertua. Tak ingin terlalu memikirkan hal itu, aku melanjutkan kerjaan. Hingga pukul 14.45, aku telah bersiap-siap menemui Vini di kantor kelurahan. Hanya butuh beberapa menit perjalanan, akhirnya ojek yang kutumpangi berhenti di depan kantor. Aku duduk di bawah pohon, menunggu Vini keluar. Beberapa menit lagi jam kerjanya selesai. "Eh, Bang Ardian! Tuh, istrimu menunggu." Aku menoleh ke samping saat mendengar suara laki-laki. Senyumanku tersungging ketika melihat Ardian melangkah mendekat. Keningku dikecup setelah ia duduk di sampingku. "Vini mau ngajak aku ke butik. Katanya Abang udah tahu." "Iya." Ardian menggenggam erat tanganku. "Kalau gitu aku belum pulang. Mau ke warung itu. Main catur." "Ya, udah sana." "Kamu hati-hati, ya." Ardian mengusap lembut puncak kepalaku sebelum melangkah menjauh. Tak ayal senyumanku semakin merekah. Bisa-bisanya secuil tindakan itu membuat hatiku berbunga-bunga. Tak peduli beberapa karyawan yang baru keluar memandang aneh. Aku ingin dicintai seperti ini. Ingin selalu bersama tanpa bayang-bayang perasaan bersalah pada orang lain. Bahagia seperti ini tidak akan aku raih jika bersama Sultan. Karena aku pasti terus merasa dibayangi penderitaan Fita. Belum lagi cibiran dan hinaan yang bakal kuterima dari masyarakat. Kutarik napas sambil melirihkan rasa syukur. Beruntung hari itu Fita berinisiatif memberitahu papaku. "Senyum-senyum sendiri di bawah pohon kayak Mbak Kunti." Aku terperanjat oleh suara Vini yang tiba-tiba. Temanku itu berdiri menongkak pinggang. Ia mencibir karena ulahku yang menurutnya aneh. Tidak kupedulikan hal tersebut. Kugandeng tangannya ke tempat parkir. Motor matiknya di sana. Sekitar tiga puluh tiga menit, motor yang dikendarai Vini tiba di depan sebuah butik dua lantai. Lumayan besar. Aku diajak masuk dan dipertemukan dengan seorang laki-laki muda yang memperkenalkan diri sebagai manajer keuangan. Cakep dan ramah. Pertemuan pertama yang berkesan. Ia seorang laki-laki yang asyik diajak bicara. "Hari Senin kamu sudah boleh mulai kerja. Selamat bergabung." "Terima kasih sudah menerima saya, Pak." "Berterima kasihlah pada Vini. Dia yang merekomendasikan kamu." Baru aku sadari, Vini tidak ada dalam ruangan. Kuperhatikan sekeliling pun tak ada. Kenapa Vini meninggalkan aku sendiri. "Tidak usah dicari, Nina. Temanmu bareng pacarnya di ruangan sebelah." "Pacar Vini kerja di sini? Pantasan. Kok, dia enggak cerita?" "Belum sempat kali. Mereka baru jadian minggu ini." Aku mengangguk pelan. Seketika merasa canggung berduaan dengan laki-laki. Rasanya seolah menyeleweng dari suami. "Sebagai awal perkenalan kita, bagaimana kalau kita minum kopi di kedai sebelah." Tak ada keberanian menolak. Ini permintaan atasan meski aku belum mulai bekerja. Sekadar ucapan terima kasih karena sudah menerimaku di sini. Aku tidak memiliki niat menyeleweng. Lagi pula, laki-laki ini pasti memilih perempuan single yang cantik. Bukan istri orang yang burik sepertiku. "Atau, kamu mau jadi obat nyamuk di sini? Vini dan pacarnya bakal lama. Bisa jadi, temanmu itu sudah melupakan kamu." Dengan terpaksa aku menyetujui ajakannya. Sebuah coffe shop samping butik yang lumayan ramai. Sebuah pemandangan yang biasa dijumpai pada waktu pulang kerja. Banyak orang ingin melepaskan penat setelah seharian kerja. "Bapak asli di sini?" tanyaku basa-basi saat menanti pesanan. Daripada hanya membisu, aku ingin lebih mengenal orang yang bakal jadi teman kerja ini. Tak ada salahnya, kan? "Sebelum aku jawab pertanyaanmu, boleh tidak jangan panggil aku bapak? Panggil Ivan saja." Aku mengangguk pelan. "Aku dari Kalimantan. Dulu kuliah di sini berkenalan dengan Fian. Lantas bekerja sama bangun butik ini" Bibirku membulat. "Oh, jadi bapak ownernya. Pikirku cuma karyawan." "Kok, bapak lagi sih? Aku lebih senang ada di bagian keuangan. Jadi, aku suka jadi manajer keuangan. Biarkan Fian saja yang jadi direkturnya." Rasa canggung perlahan lenyap seiring banyak cerita yang dituturkan Ivan. Waktu berlalu tanpa disadari. Sudah pukul tujuh dan Ivan menawarkan diri mengantarku pulang. "Vini diajak pacarnya nonton. Dia chat aku minta ngantar kamu. Tidak usah canggung. Aku senang bisa kenalan denganmu. Andai kita berjumpa lebih awal." "Eh?" Ivan tertawa. "Lupakan. Ayo kita pulang." Tiba di depan rumah, aku melihat kemarahan Ardian saat menanti kedatanganku. Wajahnya benar-benar merah. Matanya berkilat seperti pedang tajam yang siap menghunus. "Seru jalan bareng laki-laki kaya?" "Maaf, Bang. Aku telat pulang. Dia bakal jadi bos aku. Tadi enggak berani nolak pas diajak ngopi. Aku pikir Abang masih keasyikan main catur." "Tubuhmu bagian mana yang dia sentuh?" "Dia cuma ngantar aku pulang. Kami enggak ngapa-ngapain." Ardian menarikku masuk dengan kasar. Ia copot semua bajuku dan dilemparkan ke keranjang baju kotor. Lalu, ia mengambil air dan menyiramkan tubuhku. Ia gosok dengan sabun berkali-kali. Tak peduli aku menggigil kedinginan. "Kalau bosmu kayak gitu, besok cari kerjaan lain." "Bang! Nyari kerjaan sekarang susah. Aku janji bakal menjaga jarak. Aku bakal menolak ajakannya. Please, Bang. Jangan larang aku kerja, ya?" "Bagaiman kalau terulang lagi?" "Aku rela resign." "Baik. Layani aku sekarang. Karena kamu sudah bikin aku kesal, jangan ngarep dapet kenikmatan." Benar saja, ia menyetubuhiku dengan kasar seperti pada malam pertama. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Sikapnya mudah sekali berubah-ubah. Sedikit saja membuatnya kesal, seketika ia menjadi monster. Bagaimana kalau ia tahu kebohonganku. Ya, Tuhan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD