Tanpa mengatakan apa pun setelah terdiam dalam waktu lama, Ardian berdiri lalu melangkah keluar. Langkahnya gontai. Entah apa yang ia pikirkan. Keterkejutan terlukis jelas di wajahnya. Mungkin ia merasa bersalah telah menyiksaku. Bukankah tindakannya pada malam itu sama seperti memerkosa?
Air keran di kamar mandi terdengar. Aku menarik napas. Porsi rasa lega memenuhi rongga dadaku meski sikap Ardian masih abu-abu. Setidaknya saat ini aku belum kena injak atau diperkosa lagi. Hasratku yang tadi membara, entah menghilang ke mana. Aku hanya duduk diam di tepi ranjang, menanti Ardian kembali dari kamar mandi.
Menit-menit berlalu, tetapi Ardian masih betah di kamar mandi. Air keran masih terdengar mengalir. Sepertinya bak sudah kepenuhan, tetapi tidak dimatikan. Kulirik jam di ponsel. Sudah pukul 23.45. Hampir tengah malam. Apa yang dilakukan Ardian hingga tidak kunjung keluar dari sana.
Kuberanikan diri mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Kupanggil namanya. Tidak ada jawaban meski sudah berkali-kali dipanggil. Saat memutar handle, pintunya tidak dikunci dari dalam. Aku terbelalak saat mendapati Ardian menenggelamkan dirinya dalam bak.
"Astaga, Bang!"
Kumatikan keran, lalu menarik tubuhnya keluar. Ia masih sadar, tetapi tubuhnya seolah tak memiliki daya. Sorot matanya tidak setajam tadi. Kini terlihat kosong. Sendu dan menyedihkan. Semua bajunya sudah kulepaskan. Kutuntun tubuh telanjangnya ke kamar, lalu kuselimuti. Kupeluk erat-erat tubuhnya yang kedinginan. Reaksinya benar-benar di luar dugaan. Aku sungguh tak menyangka ia akan seperti ini.
Selang beberapa menit, Ardian berbalik menghadap ke arahku. Ia memelukku erat-erat hingga aku kesulitan bernapas.
"Bang, aku susah bernapas. Tolong longgarkan pelukannya."
Pelukannya dilepaskan. Kini tangannya beralih ke bagian wajahku. Ia belai lembut pipiku dan memberikan kecupan ringan berkali-kali di keningku. Perlakuannya yang lembut seperti ini, membuatku merasa sangat dicintai. Seketika perasaan bersalah kembali menghantam. Aku telah menipu demi mendapatkan cinta dan perlakuan yang pantas sebagai istri. Bagaimana kalau kebohongan ini terbongkar. Ia akan semakin murka dan brutal.
"Maaf. Karena egois, kamu malah seperti diperkosa lagi di malam pertama kita."
"Aku enggak apa-apa, Bang. Aku suka diperkosa lagi, tapi sama Abang saja."
Astaga! Apa yang telah aku bicarakan. Aku meringis sambil menelan air liur yang rasanya tidak seenak jus buah. Tanpa dosa aku nyengir kala melihat perubahan wajah Ardian. Ia sepertinya tak menyangka aku berbicara seperti tadi.
"Maksudnya aku suka gaya hardc*re ..." Rasanya ingin kutampar mulut sendiri saat menyadari kalimat yang semakin tak terkontrol. Kupejamkan mata sambil menggigit bibir dan berharap Ardian tidak melayangkan tamparan.
"Hei, buka matamu!" seru Ardian sambil menepuk pelan pipiku. Aku meringis dan perlahan-lahan membuka mata.
"Maaf aku ngomongnya sembarangan."
"Jadi, kamu menikmati saat diperkosa?"
"Hah? Mana aku tahu. Orang aku masih kecil." Aku tak menyangka jika satu kebohongan akan diikuti dengan kebohongan berikutnya. Namun, sebuah kejadian tidak menyenangkan saat kecil tiba-tiba teringat. Sewaktu aku masih SD, aku punya paman. Katanya ia saudaranya Mama. Ia sering datang ke rumah kami dan selalu memberikan aku permen dan uang. Saat sudah mulai senang akan kehadirannya, ia meminta izin pada Mama. Ingin mengajakku jalan-jalan katanya. Namun, ia malah membawaku ke tempat tinggalnya yang kosong. Ia hidup seorang diri.
Aku diajak ke kamar. Diberi janji akan diberikan uang banyak jika menuruti perintahnya. Aku yang tidak paham, hanya mengangguk. Tak menyangka, ia membuka celananya lalu memintaku mengocok k*********a sampai keluar cairan putih yang tidak aku pahami saat itu. Janjinya ditepati. Ia berikan aku uang. Besoknya, ia datang lagi ke rumah dan minta izin lagi.
Mungkin karena bosan, pada hari ketiga ia malah memintaku membuka celana dan melebarkan pahaku. Kemudian ia gesek-gesekkan k*********a di kemaluanku. Sungguh itu menakut. Ketika motornya terdengar dari jauh, aku bersembunyi di bawah tempat tidur. Tidak ingin diajak lagi ke rumahnya.
"Kamu diperkosa waktu kecil?"
Aku mengangguk. Kukarang saja kalau si paman itulah pelakunya. Tapi, akan kubumbuhi dengan banyak kebohongan agar semakin gurih. Dengan begitu, Ardian akan semakin bersimpati padaku.
"Yang aku tahu, dia saudaranya Mama. Sering datang dan mengajakku jalan-jalan. Padahal aku dibawa ke rumahnya yang enggak ada penghuni lain. Dia tinggal sendiri. Terus ... ya gitu deh."
Aku berubah pikiran. Lebih baik tidak usah menceritakan detailnya. Biarkan Ardian menyimpulkan sendiri.
"Kamu tidak lapor pada Mama atau Papa?"
"Saat itu dia ngancam, kalau aku bilang ke Mama, bakal dibunuh. Terus aku dikasih nonton berita perempuan yang dimutilasi. Aku diancam bakal dipotong-potong kayak gitu."
"Astaga!" Ardian benar-benar masuk jebakanku sekarang. "Apa orang itu masih hidup sampai sekarang?"
Aku menggeleng. Ini bukan kebohongan. Karena laki-laki itu memang telah meninggal saat aku duduk di bangku SMA. Ketabrak mobil saat menyeberang.
"Maafkan aku, Sayang. Aku sudah berbuat kasar padamu. Mulai sekarang, aku janji akan bersikap lebih lembut."
Aku mengangguk dengan binar cerah menghias mata. Meskipun harus berbohong, asalkan mendapat tempat di hati suami. Aku baru ingat sebuah motivasi keluarga bahagia. Katanya, berbohong untuk menyenangkan pasangan itu tidak masalah. Demi kebahagiaan dan keutuhan keluarga. Semoga saja motivator itu benar. Aku hanya ingin bahagia membina rumah tangga. Sembari mengharapkan pengampunan Tuhan, melangitkan harap agar kebohonganku tidak terkuak.
"Kenapa Abang masuk ke bak mandi?"
Ardian menghela napas, lalu membalikkan badan. Kini ia telentang dengan tangan tergeletak di dahi. Tatapannya mengarah ke atap rumah yang masih belum bersih dari sarang laba-laba.
"Dulu aku punya adik. Dia mengalami hal buruk. Saat pulang sekolah, ada orang yang mengajaknya naik mobil. Katanya bakal diantar pulang. Karena kepolosannya, ia menurut. Nyatanya, ia tidak diantar pulang. Tapi dibawa ke hutan dan diperkosa ramai-ramai lalu ditinggal sendiri. Tergeletak mengenaskan."
Ardian memejamkan mata sambil sesenggukaan. Tak mampu menceritakan kejadian buruk yang membuatnya terpuruk.
Aku pun tak menduga bakal diceritakan hal yang menyakitkan tersebut. Pantas saja Ardian begitu terpukul saat mendengar kata diperkosa.
"Enggak usah cerita, Bang. Aku paham itu sangat berat bagi Abang."
Ia mengembuskan napas berat. Masih sesenggukan. Sesekali mengusap air mata yang menetes tanpa izin. Jika laki-laki sudah meneteskan air mata, itu bukan lagi masalah sepeleh.
"Saat polisi berhasil menemukan, ia tidak berbicara dan hanya memandang kosong. Aku merasa sangat bersalah karena hari itu, dia memintaku menjemputnya. Tapi aku malah asyik main dengan teman-teman dan menyuruhnya naik angkot. Satu bulan kemudian dia bunuh diri di kamar dengan meminum racun tikus. Kamu tahu kenapa?"
Aku memandang intens, menanti kelanjutan ceritanya. Meski sudah dipastikan jika korban perkosaan bakal mengalami gangguan pada mentalnya.
"Semua karena sosial media yang terus membahas kejadian tersebut. Masing-masing memberikan tanggapan mereka sekehendak hati. Bahkan ada yang tega membuat kisah fiksi dari kejadian mengerikan itu demi mendapatkan like dan ribuan komentar. Itu kelalaian aku yang kedua, membiarkan dia mengurung diri di kamar ditemani ponsel."
Ini merupakan fenomena yang sangat menyedihkan pada abad milenial. Kebanyakan orang begitu mudah membuat konten dengan sesuatu yang lagi ramai. Tak peduli duka para korban. Tidak dipikirkan dampaknya kalau kejadian buruk terus diingatkan. Sangat berbahaya, tetapi para pengejar like dan komentar tidak memiliki empati. Mereka hanya butuh disanjung atas karya yang berhasil mereka buat. Lantas mereka menari riang di atas luka para korban.
"Apa karena kejadian itu Abang merantau ke sini?"
"Ya. Aku ingin menjauh dari rumah yang dipenuhi dengan kenangan tentangnya. Ibuku melarang. Katanya ia tidak ingin kehilangan anak lagi. Tapi aku bersikukuh dan Ibu tidak bisa mencegah."
Kurekatkan badan, lalu memeluknya. Tulus dari hati untuk memberikan rasa nyaman. Aku ingin ia tenang dan tak lagi mengingat kejadian buruk yang begitu menggoreskan hati. Aku tahu, luka itu tidak mudah disembuhkan. Meski telah bertahun-tahun yang lalu, kejadian tersebut pasti terekam sempurna dalam memorinya. Sungguh mengenaskan.
Kami berpelukan dengan nyaman. Menit-menit berlalu dalam keheningan, Ardian tertidur duluan. Aku tersenyum melihat wajahnya yang terlihat begitu pasrah. Kuberikan kecupan singkat, lalu memejamkan mata. Namun, ponselku berdering. Sungguh aku ingin menggerutu dan memaki sang penelepon. Bisa-bisa mengganggu orang saat tengah malam begini.
Nomor baru, tapi seperti tidak asing. Ekornya 877. Seperti nomor Sultan. Aku tidak hafal utuh nomornya, hanya ingat betul kalau tiga angka terakhirnya seperti nomor ini. Kuabaikan panggilan dengan mengecilkan volume dering hingga yang terdengar hanya getarnya saja. Setelah panggilannya berakhir, ada sebuah pesan Whatapps dari nomor itu.
"Akhirnya aku dapat nomormu, Nina. Aku kangen. Aku tahu kamu sudah menikah. Aku cuma mau mengingatkan, pertempuran kita beberapa waktu lalu sangat panas dan luar biasa. Kalau kamu hamil dan itu terbukti anakku, aku tidak akan tinggal diam. Tak peduli kamu sudah punya suami. Aku bakal membuatmu kembali padaku, Nina. Camkan itu!"
Seketika aku merinding. Berharap kedatangan tamu bulanan dipercepat. Aku tidak ingin hamil anak Sultan. Tidak ingin Papa murka lagi.
Aku harus bagaimana, Tuhan?