Permintaan Tak Masuk Akal

1307 Words
Saling kenal hanya sekedar nama. Tidak akur saling cuek, acuh, dan tak pernah bersapa. Mereka hanya sering berpapas muka. Tanpa bertegur sapa. Tiba-tiba menikah, tanpa cinta dan keinginan. ... "Aisyah, ada hal serius yang ingin Papi katakan," ujar Hamdan ketika melihat putrinya yang lewat di hadapannya. Langkah putrinya itu terhenti. "Apa Pi?" tanya gadis dengan nama Aisyah Azahra Hamdan itu. Aisyah gadis 17 tahun. Kelas XII IPA³ di SMA 1 AL-IKHLAS. Siswi populer dengan tampang cantik dan banyak digemari kaum Adam. Wajahnya yang putih mulus serta sedikit chubby membuat ia tampak imut dan juga manis dipandang mata. Ia gadis yang tak terlalu pintar tapi sering mendapat pujian karena fisiknya. Siswi yang ramah dan sangat dekat dengan Maminya. Ia anak tunggal dan kategori anak yang manja. "Papi sudah menjodohkan kamu. Dan sudah saatnya kamu akan segera menikah," jelas Hamdan pada putri tunggalnya. Mata Aisyah melebar. "APA?!" kagetnya. Usianya baru 17 tahun. Baru duduk di kelas XII. Tiba-tiba Papinya bilang mau menikahkannya. Bagaimana ia tidak shock. Dengan siapa ia dijodohkan pun ia tidak tahu. Tapi bukan itu masalah besarnya. Ini yang lebih parahnya, kenapa tiba-tiba ia mau dinikahkan? Bukankah ia terlalu muda? "Pi, aku belum mau menikah. Dan kenapa Papi jodohin aku, Pi? Aku gak mau Pi! Aku gak mau!" tolak Aisyah mentah-mentah. "Ini sudah keputusan Papi, Aisyah. Ini demi kebaikan kamu!" tegas Hamdan yang kini berdiri dengan berkacak pinggang. Semakin kelihatan saja ketegasan Papinya itu membuat Aisyah jadi takut melawan. "Kebaikan apa?" Batin Aisyah. Tidak ada kebaikan apapun baginya. Apa yang bisa diuntungkan dari pernikahan yang bukan atas keinginannya. Hanya akan menghancurkan masa depannya. Itulah yang akan terjadi. "Benar yang dikatakan Papi kamu Aisyah," sambung Maryam yang duduk di samping suaminya. "Tapi Pi, Mi, Aisyah belum tamat sekolah. Aisyah ingin berpendidikan tinggi, Pi. Aisyah mohon, Aisyah gak mau menikah muda." Aisyah berujar dengan tegas. Hamdan diam menatap putrinya. Dia marah dalam hati karena putrinya menolak untuk dinikahkan. Padahal dia sangat mengharapkan putrinya menerima keinginannya. Aisyah berupaya menjelaskan kepada Papinya dengan cara yang baik. Tapi, Papinya malah tampak marah melihatnya. Ia pun tak bisa lagi menatap wajah Papinya, sebab ia tak berani melawan. Tatapan Papinya sangat menakutkan. Papinya sedang marah, ia tahu itu. "Bukankah Papi bilang Rasulullah mengajarkan untuk menuntut ilmu," ujar Aisyah. "Jangan berani melawan Aisyah. Memang benar kata kamu. Tapi, menikahkan kamu itulah yang terbaik. Jauh dari perbuatan zina itulah yang jauh lebih baik." Hamdan berucap tegas. "Kamu lihat, banyak wanita di luar sana yang seumuran dengan kamu hancur berantakan karena pergaulan. Papi tidak ingin kamu seperti itu," lanjut Hamdan. "Tapi Pi, Aisyah gak mau dijodohkan." "Cukup Syah! Pokoknya kamu harus menurut kata Papi!" tegas Hamdan. Aisyah mendekati Maminya. "Mi, Aisyah gak mau nikah Mi ..." rengek Aisyah di pangkuan Maminya. Meminta pertolongan, berharap banget Maminya bisa membantunya. "Aisyah, ini demi kebaikan kamu. Yang dikatakan Papi kamu itu benar," ucap Maryam sambil mengusap lembut kepala Aisyah. Mencoba menenangkan Aisyah. Dia ingin anaknya menerima pernikahan itu. Demi kebaikan Aisyah, dia setuju dengan keinginan suaminya. Lagi-lagi alasannya demi kebaikan. Tidak ada kebaikan yang didapat bagi Aisyah. Hanya kemalangan yang tak berujung itulah yang akan terjadi. Maminya bahkan setuju dengan pernikahan itu. Ia tak habis pikir jalan pemikiran orang tuanya. Benar-benar tidak masuk di akal. "Ini sudah kesepakatan Papi dan Mami. Jadi ini sudah keputusan yang bulat. Papi harap kamu mengerti dan menerima," jelas Hamdan dengan tegas lalu beranjak pergi dari ruang tengah. Hamdan sebenarnya sangat kesal pada Aisyah, tapi dia mencoba bersabar menghadapi anaknya itu. "Mi... jangankan menikah, disuruh tunangan aja Aisyah gak mau. Lagian Aisyah gak tau siapa yang akan jadi suami Aisyah. Dan itu bukan pilihan Aisyah. Aisyah gak mau Mi. Aisyah mohon pujukin papi Mi, untuk membatalkan perjodohan itu," pujuk Aisyah dengan raungan air mata yang tak bisa ditahannya lagi. "Maaf Aisyah, Mami gak bisa apa-apa. Ini sudah keputusan papi kamu. Yakinlah itu pasti pilihan yang terbaik. Papi kamu pasti menjodohkan kamu dengan keluarga yang baik-baik. Mami juga mengenal mereka, dan Mami tahu betul siapa mereka. Mereka pasti menjadi mertua yang sangat baik untuk kamu," ujar Maryam sambil menghapus air mata anak semata wayangnya. "Bagaimana dengan sekolah Aisyah, Mi?" "Insyaallah itu akan berjalan seperti biasanya. Kamu akan tetap bersekolah. Pernikahan ini bukan berarti kamu putus sekolah, Aisyah." "Lalu apa arti dibalik pernikahan ini?" "Kami hanya ingin kamu jauh dari perbuatan hina Aisyah. Kami gak ingin kamu terjerumus ke jalan yang salah. Apalagi ke jalan Zina," tutur Maryam. "Kami dulu pernah sepakat menikahkan kamu dengan anak sahabat baik kami. Dan ini saatnya yang sangat tepat memberitahukan kamu dan menjalankan rencana baik ini," tambah Maryam. "Hiks ... hiks ... hiks ...." Aisyah kini tangisannya semakin menjadi-jadi. Ia benar-benar tidak bisa menerima keputusan orang tuanya yang ingin menikahkannya. Ia benar-benar kecewa pada kedua orang tuanya itu. "Kalau menolak kasian papi kamu. Kasian Mami juga yang mungkin tidak bisa melihat kamu menikah kedepannya. Gimana jika kami pergi duluan untuk selama-lamanya. Kami gak bisa melihat anak kami bahagia." Maryam berujar sambil meneteskan air matanya, karena tak bisa menahan kesedihan mengingat ajal yang tak tahu kapan menjemputnya. Kalau sudah membahas ajal Aisyah tak bisa lagi protes. Ia takut jika yang dikatakan Maminya barusan benar-benar terjadi. Ia pasti sangat menyesal tak melakukan permintaan itu. Dengan amat terpaksa ia harus berlapang d**a menerima. Meski ia juga tak bisa mengikhlaskan. "Mami jangan ngomong gitu. Aisyah jadi takut dengernya," ucap Aisyah. "Kalau gitu ikuti keinginan papi kamu. Lagipula ini demi kebaikan kamu, Aisyah," balas Maryam. Aisyah mengangguk setuju. Tetapi, terpaksa. Ia tak ikhlas melakukan itu. Ia hanya berpura-pura di depan Maminya. "Sebentar lagi mereka akan ke sini." Maryam berucap. "Mereka siapa Mi?" tanya Aisyah. "Kerabat kami, calon mertua kamu." "Calon mertua? Apa ini sungguhan. Gak-gak ini pasti hanya mimpi. Pasti ini mimpi buruk aja," batin Aisyah. Aisyah jadi panik. Tidak mungkin orang tuanya menikahkannya. Usianya terlalu muda untuk menjadi seorang istri. Mengurus diri saja ia belum mahir. Apalagi mengurus rumah tangga. "Ini pasti mimpi, ini pasti mimpi," ucap Aisyah sambil menampar-nampar pipinya. Ia ingin terbangun dari mimpi buruknya. Tetapi, ia tetap tak terbangun malah pipinya yang jadi sakit. Maminya menghentikan tingkahnya itu. "Aisyah apa yang kamu lakukan? Nanti pipi kamu jadi sakit, Nak." "Aisyah ingin terbangun dari mimpi buruk Aisyah Mi. Aiyah gak mau nikah Mi ... hiks ... hiks ...." Derai air mata Aisyah mengucur deras. Ia sungguh terpukul, ia pun sadar ini bukan mimpi. Semua ini nyata. "Aisyah kamu jangan jadi gini Nak. Bukannya tadi kamu setuju?" "Tapi Mi ... Aisyah memiliki cinta Aisyah sendiri Mi. Aisyah gak mau dijodohkan. Aisyah gak mau ... hiks ...." "Aisyah, apa kamu udah jatuh cinta sama seseorang? Apa kamu udah menjalin hubungan dengan seseorang itu?" tanya Maryam kecewa. "Maafin Aisyah Mi. Jujur, selama ini Aisyah udah berani pacaran. Tapi Mi, dia baik sama Aisyah, dia juga sayang Aisyah kok. Dan Aisyah juga sayang sama dia." Pengakuan Aisyah membuat Maryam kecewa. Dia mendidik anaknya itu dengan ajaran agama yang kuat. Selalu mengingatkan jangan pernah pacaran. Namun, beraninya anaknya itu berpacaran. Tidak bisa dibiarkan jika begini. Dia harus mengambil tindakan. "Aisyah, jika aja kamu gak berani pacaran. Mungkin Mami akan memujuk papi kamu untuk gak menjodohkan kamu. Tapi, kamu kelewatan. Pacaran itu haram, Nak. Jika udah begini kamu pantas untuk dijodohkan aja. Keputusan Mami dan papi sudah bulat. Sekarang kamu masuk kamar dan bersiap-siap. Sebentar lagi mereka akan datang." "Gak, Mi! Aisyah gak mau, Mi." "Masuk sekarang!" tegas Maryam. "Aisyah gak mau Mi ...." "Masuk sekarang, Syah!" tegas Maryam marah besar. Dengan langkah terpaksa dan dengan deraian air mata Aisyah masuk ke kamarnya. Barulah pertama kalinya ia melihat Maminya begitu marah. Maminya pasti sangat kecewa padanya. Ia juga kecewa sama orang tuanya. Teganya menikahkannya saat usianya masih sangat muda dan masa depannya masih panjang. Tetapi, melihat maminya begitu marah jadi membuatnya tak tega. selama ini orang tuanya selalu baik padanya. Tak pernah menuntut apapun. Tidak pernah meminta apapun padanya. Apakah ini saatnya ia mengalah saja? Entahlah, ia bingung. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD