Nara Ea

1665 Words
Pertemuan seperti ini diadakan guna mengetahui keperluan dan permasalahan yang tengah melanda kerajaan dibawah pimpinan Monitum. Mereka selalu mengadakan pertemuan rutin setiap dua bulan sekali, dan Nara Raas selaku pemimpin tertinggi harus dapat mengatasi semua permasalahan yang terjadi di 15 Kerajaan tersebut. Dan tidak jarang, Raja muda ini terdiam sejenak memikirkan langkah apa yang harus diambilnya. Saat pertemuan yang mereka lakukan berjalan setengah waktu. Tiba-tiba pintu ruang tersebut terbuka dengan sangat kencang. “Baginda Nara!” teriakan panik dari seorang Prajurit Zinnia Scarlet Kerajaan Monitum yang berlari memasuki ruang pertemuan itu, membuat seluruh Raja dan Ratu terkejut. Ia menghampiri Raas dan berlutut di hadapannya. (NOTE : Prajurit Zinnia Scarlet adalah kelompok Prajurit kesetiaan Kerajaan kelas atas yang sangat kuat dan setia.) Raas yang merasa sangat tidak di hormati dengan datangnya Prajurit tersebut lantas menegur, “Berani sekali kau mengganggu perundinganku?!” Prajurit itu sedikit tersentak karena suara Raas yang terdengar sangat kencang, menggema ditelinganya, Para Raja dan Ratu hanya terdiam menatap Prajurit malang di hadapan mereka tersebut. “M-maaf Baginda, bukan maksud hamba mengganggu jalannya pertemuan ini, hanya saja ada hal buruk yang terjadi menimpa Pangeran Ea.” Jawab dan jelas Prajurit Zinnia Scarlet dari Monitum tersebut kepada sang Raja dengan ucapan yang sedikit terbata-bata. Mendengar nama sang Adik di ucapkan, membuat Raas berdiri dari takhtanya dengan raut wajah yang berubah menjadi raut khawatir. Ia menghampiri Prajurit tersebut dan menarik kerah baju yang terbuat dari perunggu itu, ia menatap tajam kedalam mata Prajurit tersebut sebelum kemudian mendorongnya kearah samping. Raja dan Ratu serentak berdiri dari kursi mereka ketika melihat kejadian tersebut, hanya Guam dan Steven yang masih duduk di tempat mereka dengan tenang. “Dimana dia?” Raas bertanya dengan suara lantang seraya berjalan keluar ruang pertemuan itu dengan langkah yang cepat. Langkahnya tersebut diikuti oleh seluruh Raja dan Ratu dari 15 Kerajaan yang ada disana. Mereka juga ingin mengetahui apa yang terjadi pada sang Pangeran yang membuat Raas se emosi itu. “Di dalam kamarnya Baginda.” Prajurit yang tadi didorong nya masih tetap mendampingi Raas dan menjawab pertanyaannya, meskipun perlakuan Raas padanya terbilang kejam. Para Raja dan Ratu hanya saling bertatapan heran ketika mengikuti langkah Pemimpin mereka. Namun di balik itu, ada juga dari mereka yang tersenyum tipis menanggapi masalah yang sedang terjadi ini. “Sebenarnya apa yang terjadi saat ini, Baginda?” Adam mengimbangi langkah Raas yang terbilang lebih cepat dari mereka itu. Raas menatap pada Raja tersebut dan kembali menatap ke arah depan, “Aku sendiri tidak tahu Adam.” Jawaban yang Raas berikan sangat singkat pada Raja yang berumur sama dengan dirinya. Ya… Raja Adam dari Kerajaan Acanthus, Negeri Valerian itu berumur 20 tahun sama seperti Raas. Kerajaannya kalah ditangan Monitum pada saat p*********n yang dilakukan oleh enam Kerajaan Valerian terhadap Monitum. Sejak saat itu, Adam sangat mengidolakan sosok dari Raja Nara Raas, dan berhasil menjadi Kerajaan Pertama yang di Anggap saudara oleh Kerajaan Monitum. “Apapun itu, semoga bukan hal yang buruk!” Do’a Adam terucap untuk Raas dan Ea sang adik. Jauh dibelakang mereka, Raja Sebastian meremas tangan kirinya, dan menatap tidak suka pada Raja Adam yang sangat dekat dengan Raas. Karena menurut dirinya, Adam adalah salah satu batu penghalang untuk dirinya yang berniat mengalahkan Raas, dan membalas kembali dendam Kerajaannya.   “Silahkan Baginda, Ratu Ziona sudah berada didalam menemani Pangeran Ea.” Ucap salah satu pelayan yang terbilang cantik seraya membukakan pintu besar tersebut untuk sang Raja.  Raas terkejut begitu ia melihat tubuh Ea yang penuh dengan luka tusukan panah, terbaring di atas kasurnya. Meski sudah tidak terlihat lagi darah segar yang mengalir karena telah mengering, namun tetap saja luka-luka itu terlihat mengerikan. Raas menatap tangan Sang Bunda yang tengah memegang kedua tangan Ea yang bergetar itu, dan satu tangan lainnya mengusap surai rambut anak terakhirnya itu dengan lembut. Sementara itu, ke limabelas Petinggi Kerajaan hanya terdiam diluar kamar, memperhatikan bagaimana keadaan Sang Pangeran dari luar. Tentu saja, karena tidak sembarangan dari mereka dapat memasuki ruang pribadi milik Keluarga Monitum, termasuk kamar dari Sang Pangeran. Pintu tertutup di belakangnya, tidak mengizinkan Raja dan Ratu yang ada di luar sana untuk melihat keadaan sang Pangeran. Raas berjalan menghampiri tempat dimana Ea berbaring kini dengan langkah yang tidak secepat tadi. “Ea? Siapa yang berani berlaku seperti ini padamu?” Raas bertanya saat ia sudah sampai di hadapan sang adik. Ea yang baru menyadari kedatangan sang Kakak, menatap kedatangan Raas dengan terkejut. “Kakak s-saya tidak apa-apa, sebaiknya Kakak kembalilah berunding!” Ea berusaha bangkit dari posisi terbaringnya dan berusaha memperlihatkan sebuah senyuman seraya menahan rasa sakit yang ia rasakan. Raas menyipit melihat nafas Adiknya yang terlihat begitu berat. Ratu Ziona hanya terdiam menatap wajah Ea dengan sendu, tangannya tetap setia menggenggam tangan Ea. Raas tersenyum lembut pada sang adik agar tidak tertular rasa panic yang ia rasakan, juga agar ia tidak terlihat khawatir di hadapan Ibu dan adiknya tersebut. “Kau berbicara apa? Mana mungkin aku berunding, sedangkan Adikku menahan sakit yang luar biasa didalam kamarnya?” Raas berlutut disamping tempat tidur itu dan memegang bahu sang Adik yang hanya terdiam mendengar peryataannya. Raas tidak bisa membiarkan ini terjadi pada adiknya untuk yang kedua kalinya, “Prajurit! Apa yang sebenarnya terjadi?” Raas melirik dengan ujung matanya pada dua orang Prajurit yang berdiri dibelakang sana, keduannya sempat terkejut namun kemudian seorang Prajurit diantara mereka segera maju kedepan dan menjawab pertanyaan tersebut. “Pangeran Ea diserang oleh beberapa orang dengan dua belas anak panah, Baginda.” Prajurit tersebut menjawab seraya menunduk tanpa melihat ataupun menatap pada Raas, setelahnya kembali keposisi semula dimana ia berdiri. Raas menyipitkan matanya dengan sangat tajam ketika ia mendengar ada orang yang berani melukai sang adik, “Di wilayah mana ini terjadi?” Prajurit yang tadi menjawab pertanyaan Raas, kembali melangkah dan menjawab dengan sigap. “Hutan timur Baginda, wilayah kepemimpinan Ratu Clara.” Raas mengangguk, Prajurit itu kembali mundur ke tempatnya, sementara Raas memperhatikan seluruh luka yang ada di tubuh Ea.   Raas melirik pada sang Ibu, Ziona. Seraya berkata padanya “Bunda, izinkan aku berbicara dengan Ea.” Ziona yang mengerti bahwa sang anak ingin membicarakan suatu hal yang penting itu mengangguk mengizinkan, kemudian ia berdiri dan meninggalkan kamar tersebut bersama Prajurit yang ada didalamnya. Jadi saat ini hanya ada Raas dan Ea di dalam kamar itu, keduanya terdiam sejenak menikmati keheningan yang tercipta. “Ceritakanlah apa yang terjadi, selagi aku menyembuhkan luka-luka mu itu!” Raas berdiri dari posisi berlututnya, dan duduk diatas kasur tersebut, disamping Ea yang masih terbaring. Ea melirik pada sang Kakak untuk sesaat sebelum ia akhirnya menceritakan apa yang ia alami. “Saya tidak tahu pati apa yang terjadi Kak! Saat saya hendak pergi ke hutan timur, tiba-tiba beberapa anak panah melesat begitu saja dengan sangat cepat, dan... Saya hanya mengenali lambang senjata Kerajaan mereka saja.” Ea dengan ragu mengatakan bahwa dirinya tahu siapa yang telah menyerangnya, seraya memperhatikan tangan Raas yang terangkat keatas. Ada sedikit rasa takut yang Ea rasakan ketika dirinya melihat tangan tersebut mendekat padanya. “Kerajaan mana?” Raas kembali bertanya seraya menutup salah satu luka Ea dengan tangannya tadi, dan Ea mengetahui bahwa hal ini pasti akan menyakitkan untukknya. Karena setiap kali ia terluka, dan setiap kali Raas menyembuhkannya, cara penyembuhan dari Raas yang seperti inilah yang akan ia rasakan. “Aakkhh... M-mereka memakai senjata berlambang Kerajaan Teasel, dan ku kira… itu adalah mereka!” Benar saja apa yang ia perkirakan, rasa sakit itu sukses membuat Ea meringis. Tekanan dari tangan Raas pada lukanya lah yang membuat rasa sakit itu kembali terasa dan luka tersebut juga kembali mengeluarkan sedikit darah. Ea melihat pada sang Kakak yang menghela nafasnya dengan pelan, kemudian ia menarik kembali tangannya dari luka yang ia tutupi tadi. Namun, bagaikan trik sulap, luka tersebut telah sembuh. Tidak ada bekas goresan atau luka apapun di tempat yang terluka sebelumnya itu. Raas beralih meletakkan tangannya pada luka yang lainnya dan melakukan hal yang sama seperti tadi, menekan luka tersebut hingga mengeluarkan darah namun membuatnya hilang seketika. “Baiklah... Kerajaan Teasel! Mereka akan melihat akibat dari tindakan mereka secepatnya.” Raas berucap dengan sebuah amarah di dalamnya, dan terdengar dengan jelas di telinga Ea bahwa saat ini sang Kakak benar-benar serius dengan apa yang ia katakan. sang Pangeran hanya terdiam menanggapi ucapan dari sang Kakak tersebut, meski sebenarnya Pangeran Ea sangat membenci kata ‘Perang’ yang di ucapkan sang Kakak. “Akh...” Ea kembali meringis kesakitan saat Raas menekan luka itu dengan keras, Raas menatap pada Ea yang saat ini tengah memejamkan matanya karena takut. Ia mengetahui betul bahwa sebenarnya sang Adik takut pada cara penyembuhan yang selalu ia lakukan pada adiknya tersebut. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain karena jika luka ini tidak segera di sembuhkan, luka-luka itu akan memicu terjadinya infeksi yang berbahaya bagi Ea. “Tenanglah, sedikit lagi dan seluruh lukanya akan sembuh.” Raas berusaha menenangkan sang adik yang akhirnya menangis, dua jam terlewati dan tangannya telah selesai menyembuhkan luka terakhir hingga tidak terlihat satupun luka di tubuh sang Pangeran saat ini. Raas yang di penuhi oleh keringan di seluruh pelipisnya tersenyum menyadari kehebatannya yang dapat menyelamatkan Sang Adik untuk kesekian kali. Namun berbeda dengan apa yang Raas rasakan, Ea justru yang menatap pada Raas dengan sinis. Ia tidak suka ketika sang Kakak lebih mementingkan dirinya di bandingkan dengan para Raja yang pasti saat ini telah menunggu mereka di luar, selain itu Raas tidak pernah mementingkan dirinya sendiri yang saat ini terlihat sangat lelah. “Seharusnya anda tidak perlu se-khawatir ini Kak, saya pasti akan sembuh dengan sendirinya dalam kurun waktu lima jam saja. Apa Kakak melupakan fakta bahwa saya adalah...” “Seorang Clairchanter?” Raas memotong perkataan Ea, sehingga sang Panegran terdiam dan hanya mengangguk dengan senyuman di wajahnya. (Note : Clairchanter bagi kaum laki-laki atau Clairchantress bagi kaum wanita, adalah seseorang yang memiliki darah campuran antara keturunan peramal dan keturunan dari seorang penyihir. Ia memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi dan memiliki kehebatan dalam menyembuhkan diri dari luka parah yang hanya membutuhkan waktu lima jam saja. Keturunan ini juga dapat menyembuhkan, mengutuk, menyakiti, menghukum, bahkan membunuh orang dengan setiap mantra dan dengan ramuan buatannya. Seorang Clairchanter atau Clairchantress, beberapa abad terakhir ini di buru untuk diminum darahnya oleh sekelompok orang yang percaya bahwa jika mereka meminum darah keturunan campuan ini, akan membuat mereka abadi. Karena Clairchanter atau Clairchantress sendiri memiliki wujud yang awet muda.)  To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD