2

1489 Words
Adelle berlari secepat yang ia bisa menuju ruang kelas yang ada di ujung kampus. Tadi ia pulang terlambat dan ketiduran gara-gara Karl membawanya ke kafe tempat barunya bekerja untuk mengenalkan pada pegawai di sana. Seolah belum cukup, setelah itu Karl malah mengajaknya makan siang. Oh, jika bukan bos, Adelle pasti sudah mengutuknya menjadi bubble gum. Memangnya pria itu buta hingga tidak bisa melihat wajahnya yang begitu mengantuk? Adelle mendorong pintu dengan keras dan bernapas dengan terengah-engah, ia membungkuk menumpukan telapak tangan di lutut. Ia bahkan bisa merasakan keringat yang menetes membasahi bagian belakang kemejanya. Hari ini ada kuliah umum yang dibawakan seorang dosen tamu yang katanya dulu adalah lulusan terbaik fakultas kedokteran di kampus ini. Oh, jika kalian berpikir Adelle kuliah kedokteran, kalian salah BESAR. Ia kuliah di jurusan Psikologi, sedikit lebih 'ringan' daripada kedokteran sehingga masih bisa diikuti dengan otaknya yang lumayan pas-pasan ini. Oke, jangan protes hanya karena ia berkata 'ringan'. Baginya ilmu ini masih jauh lebih 'manusiawi' daripada ilmu kedokteran meskipun sebenarnya saling berhubungan. Adelle mendongak dan semua pasang mata yang ada di ruangan itu menatapnya. Ia berdiri tegak dan menyeringai menatap semua orang. Dilihatnya Darla, sahabatnya, melotot melihat Adelle seraya menggerak-gerakkan mata dan kepalanya ke kiri. Apa maksudnya itu? Ia baru menoleh saat seseorang berdehem keras. Seorang pria tampan berjas biru berdiri di belakang mimbar. Ya Tuhan, dia seksi sekali! Ia pikir mahasiswa lulusan terbaik itu tidak jauh-jauh dari pria kutu buku berkacamata tebal dan berbusana old fashioned. Namun lihatlah adonis tampan satu ini. Dia bisa menjadi model pakaian dalam pria paling seksi yang pernah terlihat! “Mau masuk?” Sial! Suaranya bahkan lebih seksi lagi! Dan senyumnya itu... Tuhaaaaannn, aku rasa aku akan pingsan! “Miss?” “Eh, oh, terima kasih,” jawab Adelle gugup seraya menuju bangku kosong di sebelah Darla. “Taruhan pasti celana dalammu basah sekarang,” Darla berbisik sambil cekikikan. Adelle melotot padanya. Sahabatnya ini memang selalu vulgar dalam berbicara. “Aku pikir dia akan marah-marah dan menyuruhku menunggu di kantornya,” Adelle balas berbisik sambil mengeluarkan bukunya. Darla terkikik lagi. “Kau pikir ini novel picisan yang selalu kau baca itu?” Adelle terkekeh dan berhenti bernapas saat sepasang mata abu-abu itu menatapnya dengan intens. Mata itu terus menatap Adelle selama beberapa menit sebelum akhirnya dia kembali bicara di kelas. Adelle menunduk, menentramkan detak jantungnya yang tiba-tiba menggila. Apa-apaan ini?? “Kau langsung ke cafe?” Darla bertanya saat akhirnya kelas yang menyiksa itu selesai. Darla juga bekerja di cafe milik Karl, hanya saja gadis itu menjadi pelayan dan Adelle menjadi kokinya. Hari ini kebetulan Darla sedang libur. Adelle mengangguk pelan. Ini penampilan perdananya menyanyi dan ia gugup sekali. “Ada apa?” “Karl memintaku menyanyi,” Adelle berbisik. Mata Darla membulat. “Bagaimana dia tahu kau bisa bernyanyi?” “Bos kita ternyata suka menguping kita di dapur.” Darla tertawa. “Dia naksir padamu tahu!” Adelle memutar bola matanya. Semua orang di cafe bilang begitu walaupun Karl tidak pernah bilang apa-apa padanya dan itu bagus, karena bagi Adelle, tidak ada romantisme di tempat kerja. Romantisme di tempat kerja terlarang baginya. Terlebih pria itu bosnya. “Aku ini koki, Darla. Bukan penyanyi!” Darla gantian memutar matanya. “Koki yang bisa bernyanyi! Kau naik apa ke sana?” “Sopir Karl menungguku di cafe. Aku pergi dulu ya!” Adelle memeluk Darla sekilas dan melambai. “Hati-hati, Adellina!” Adelle tersenyum. Darla adalah satu-satunya sahabat yang ia miliki. Mereka sudah mulai menjadi teman saat masuk ke gerbang kampus ini sebagai mahasiswa baru satu tahun lalu. Adelle susah dekat dengan orang, terutama gadis seusianya, tapi dengan Darla, ia merasa nyaman. Darla seperti cermin baginya. Yang mengingatkan pada bagian dirinya yang lain yang telah hilang. Adelle menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh memikirkannya sekarang. Ia harus ... “Akh!!” Jeritnya saat tiba-tiba sebuah mobil yang sangat mengilap berhenti di hadapannya. Ia menarik napas lega. Hampir saja! “Kau tidak apa-apa??” Adelle mendongak dan kembali menatap sepasang mata abu-abu itu. Oh Tuhan, oh Tuhan, oh Tuhaaannn. Aku tidak mau pingsan sekarang! “Nona? Kau baik-baik saja? Wajahmu merah? Apa aku sempat menabrakmu??” “Tidak... saya... eh... aku ...” “Kau sepertinya shocked, Nona. Mari aku antar kau pulang?” Adelle menggeleng dan mundur, melepaskan diri dari pria seksi. “Saya baik-baik saja. Maafkan saya.” Ia membungkuk dan berlari menjauh. Dokter tampan satu itu bisa membuatnya terkena serangan jantung! ~~~ Mike menatap gadis berambut keriting yang berlari menjauh itu. Sejak gadis itu membuka pintu kelas, Mike menyadari dirinya tidak bisa menjauhkan mata dari gadis itu. Bukan, bukan karena gadis itu terlalu cantik dan seksi, tetapi lebih karena gadis itu sangat mirip dengan Erika. Mike merasa jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat gadis itu terengah-engah di depan pintu kelas dengan rambut tebalnya yang terurai ke depan saat dia membungkuk. Di jaman sekarang ini, tidak banyak gadis yang tetap bangga dengan rambut keritingnya. Dan Erika termasuk salah satunya. Dia memiliki rambut keriting yang tebal, lembut, dan berwarna coklat keemasan. Erika selalu bangga dengan rambutnya. Dan bagi Mike, Erika adalah adik yang paling cantik meskipun banyak pria bilang rambut keriting itu tidak bagus. Erika cantik dengan apa adanya dia. Termasuk rambut keritingnya. Dan gadis itu, gadis yang tidak ia tahu namanya itu, begitu mirip dengan Erika. Wajahnya benar-benar mirip Erika hingga Mike mengira adiknya hidup kembali. Yang membedakan hanyalah warna mata dan warna rambut mereka. Adiknya bermata abu-abu seperti miliknya dan rambut berwarna coklat keemasan. Sedangkan gadis itu memiliki bola mata berwarna hitam sehitam malam dan rambut yang juga berwarna hitam. Mike menghela napas. Tidak. Mereka adalah dua orang yang berbeda yang bahkan tidak saling mengenal dan gadis tadi tentulah masih sangat muda. Mungkin ia hanya terlalu merindukan Erika hingga semua gadis berambut keriting tampak mirip dirinya. Ia segera masuk ke mobil dan menjalankannya keluar kampus. Mungkin ia akan menerima ajakan Gab untuk keluar malam ini. Ia butuh hiburan. “Nah! Akhirnya datang juga dokter pemurung kita,” kekeh Gab saat Mike sampai di meja yang telah dipesannya. Ada sebuah cafe yang baru saja buka di pinggiran Görlitz dan Gab ingin mencobanya. “Maaf aku terlambat,” ucap Mike sambil duduk di samping Andra. “Kuliahmu baru selesai?” Andra bertanya sambil menyesap anggurnya. Mike menggeleng. “Tidak. Aku pulang dulu untuk mengganti baju.” Ia tidak nyaman terlalu lama memakai jas dan dasi. Mike akan lebih memilih memakai baju dokter satu minggu penuh tanpa menggantinya daripada harus memakai jas dan dasi selama satu hari. “Kau mau anggur, Mike?” “Tidak, aku menyetir. Soda saja, please. Oh, dan spaghetti. Aku kelaparan.” Mike memang sangat lapar dan pesanannya juga bisa menjadi indikasi apakah cafe ini layak untuk mereka kunjungi lagi atau tidak. Ia sangat menyukai spaghetti, dan cafe yang tidak bisa menyediakan spaghetti seperti seleranya akan langsung masuk daftar hitam. “Tenanglah, Mike. Cafe ini sangat recommended. Ini milik Karl. Kau tahu kan selera Karl?” Ya, ia mengenal Karl. Pria itu pemilik cafe tempat mereka biasa berkumpul di tengah kota. Dan ia memiliki selera yang sangat bagus. Koki-kokinya tidak pernah mengecewakan lidah mereka. “Siapa tahu Karl mendapat koki kurang professional kali ini,” jawab Mike membela diri. Gab mencibir mendengarnya dan Andra terkekeh. Mike selalu senang menggoda Gab. Pria itu lebih seperti seorang adik bagi mereka. Dan umurnya yang memang satu tahun di bawah mereka, praktis membuatnya menjadi 'anak bungsu' yang selalu Mike dan Andra goda. “Tidak biasanya kau bisa keluar, An?” Tanya Mike seraya melirik Andra yang sedang menikmati steik-nya. Andra cemberut dan menghela napas. “Adikku ingin Nou menginap di rumahnya dan aku tidak boleh ikut.” Gab dan Mike saling berpandangan dan tertawa. Andra tidak bisa jauh dari Noura setelah menikah, pasti ini menjadi siksaan baru baginya. Nayla memang luar biasa berkuasa. I think that possibly, maybe I'm falling for you Tawa mereka sontak terhenti mendengar suara indah itu. Sama seperti suasana cafe yang tiba-tiba sunyi. Mata Mike menoleh ke panggung kecil yang ada di tengah ruangan. Ya Tuhan! Itu gadis berambut keriting yang telat masuk kelasku sore tadi! I never knew just what it was about this old coffee shop I love so much All of the while I never knew Semua orang seolah tersihir oleh suara gadis itu. Tidak ada satu pun pengunjung yang bersuara, bahkan mungkin ada beberapa orang menahan napasnya. Termasuk Mike. Dan gadis itu, dia tampak tenggelam dalam dunianya. She looks amazing! Semua pengunjung cafe berdiri dan bertepuk tangan untuknya saat gadis itu selesai bernyanyi. Kecuali Mike. Ya, Mike seperti i***t lumpuh yang tidak mampu bergerak. “Mike! Kenapa kau tidak berdiri?? Suara gadis itu luar biasa tahu!” Gab protes dan menarik bahu Mike. Ia akhirnya berdiri dan bertepuk tangan walaupun terlambat. Gadis itu tampak tersenyum malu. Kelihatan dia masih kaku, Mike yakin gadis itu tidak terbiasa berada di panggung. Gab memundurkan kursinya dan tersenyum pada Andra dan Mike. “Aku akan menemui Karl. Aku harus berkenalan dengan gadis bersuara emas itu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD