3

1854 Words
Adelle turun dari panggung kecil itu dengan gemetar. Ternyata bernyanyi di atas panggung sangat berbeda dengan bernyanyi di dapur untuk teman-temannya. Rasanya semua pasang mata yang ada di ruangan itu memperhatikannya, mencari celah saat ia melakukan kesalahan. “Adelle! Kau luar biasa!” Karl datang dan serta merta memeluknya. Dengan kaku, Adelle membalas pelukan pria itu. Karl tidak pernah memeluknya sebelum ini. Apalagi di hadapan teman-temannya seperti yang ia lakukan sekarang. “Mereka memintamu menyanyi lagi,” ucap Karl penuh semangat. Adelle mengerang. “Please, Karl. Ini hal baru untukku. Satu kali saja ya? Ini bahkan baru malam pertamaku!” “Ayolah, kau luar biasa! Semua orang menyukaimu!” Boss will be boss. Sebaik apapun, dia tetaplah seorang pebisnis yang berharap untung banyak dari tempat ini. Dan Adelle adalah orang yang bisa membantunya mencapai tujuan itu karena memang untuk itulah Karl menggajinya. “Aku ...” “Karl!” Seorang pria tampan memanggil Karl, memutus apa yang Adelle ucapkan. Adelle mengamati orang itu. Pria itu tampan, tidak terlalu tinggi, dan memiliki senyum yang luar biasa mempesona. “Hai, Gab! Kau datang! Bersama Andra dan Mike?” Karl menyapa pria tampan bernama Gab itu dengan akrab. “Tentu! Aku ...” “Adelle, kau temui Marcus. Dia yang akan menemanimu nanti di panggung.” Adelle mengangguk dan mencari pria bernama Marcus yang tadi pagi sudah dikenalkan Karl padanya. Tidak ada gunanya mendebat Karl. Karl baik, tetapi jika dia sudah mengeluarkan perintah, tidak ada yang bisa menolak perintahnya. “Hai, calon bintang!” Marcus menyapanya dan melakukan toast. Adelle menanggapinya dengan agak malu-malu. Para penyanyi dan pemain musik sedang beristirahat. Beruntungnya Adelle mereka tidak menolaknya untuk bergabung, bahkan mereka semua sangat welcome. Mereka semua berempat di sini termasuk dirinya. Dua pemain musik, Marcus dan Anthony, dan dua penyanyi, Adelle dan Brynna. “Adelle! Giliranmu!” Brynna tersenyum pada Adelle. Brynna baru saja turun panggung. Brynna begitu berbeda dengan Adelle. Dia sangat menguasai panggung jika sudah ada di atasnya. Hal itu karena gadis itu sudah bernyanyi sejak remaja. Dia sudah terbiasa tampil. Adelle mengikuti Marcus naik kembali ke panggung kecil itu. Perhatian para pengunjung cafe kembali teralihkan. Ia menarik napas panjang dan mengedarkan pandangan. Ternyata pengunjung cafe ini sangat banyak walaupun cafe ini terbilang baru. Sudah jelas tangan dingin Karl tidak perlu lagi diragukan. Kemudian, Adelle terkesiap saat matanya menumbuk satu sosok yang tadi ia temui. Sial! Dosen luar biasa tampan yang tadi mengajar di kelasnya! Pria itu juga sedang menatapnya hingga membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Sial! Sial! Sial! “Adelle, ayo kita mulai,” Marcus berbisik dari kursinya. Adelle menoleh dan tersenyum meminta maaf. Ia mengalihkan pandangan dari mata tajam menusuk itu dan memejamkan mata. From the fire in your words To the dagger in your eye I just have to lay my body down Ia mendengar tepuk tangan bergemuruh itu, tetapi tidak membuka mata. Ia tidak bisa membuka matanya, tidak saat Adelle tahu mata abu-abu itu menatapnya tajam dari tempat pria itu duduk. But if I Really want a change Then I must admit That I'm the one to blame Adelle kembali ke masa itu. Pikirannya melayang ke satu masa lalu di hidupnya. Dirinyalah yang patut disalahkan. Dialah satu-satunya orang yang pantas dihukum. Akan tetapi kenapa ia tidak? Oh, anything is better than this I know Anything is better Apa segalanya menjadi lebih baik sekarang? Untuknya? Untuk keluarganya? Pikirannya kembali ke masa kini saat ia mendengar kembali tepuk tangan itu. Ia membuka mata dan kembali bersitatap dengan mata itu. Dan Adelle yakin, mulai malam ini, mata itu akan mengganggu tidurnya. ***** Mike merengut sebal pada Gabriel yang berlari dengan cepat ke bagian belakang cafe. Dibandingkan dirinya dan Andra, Gab memang lebih akrab dengan Karl. Itu karena Gab jauh lebih sering nongkrong di cafe daripada di rumah sakit sehingga dia lebih mengenal Karl daripada mereka berdua. Hah, dokter macam apa dia itu! “Ada apa, Mike?” Ia mengerutkan alis pada Andra. “Ada apa, apa maksudmu?” Tanyanya tidak mengerti. Andra terkekeh dan menyesap minumannya. “Kau tampak terganggu saat Gab bilang ingin mengenal penyanyi itu.” Sial! Ia lupa akan jelinya Andra. Bahkan hanya dengan satu pengamatan kecil, pria itu akan tahu. “Tidak,” Mike menjawab gugup seraya meminum sodanya. Andra kembali terkekeh. “Kau naksir penyanyi muda itu juga?” “Tidak!” Ia berteriak dengan cepat. Apa-apaan sih Andra ini? Tidak ada kata cinta dalam kamusnya. Cinta itu hanya satu hal t***l yang membuat orang bertindak dengan bodoh. Satu hal yang bisa membuat orang kehilangan akal sehatnya. Seperti ibunya. “Lalu kenapa kau seperti kebakaran jenggot begitu melihat Gab mendapat mangsa baru? Kita kan sudah hapal tingkah Gabriel.” “Aku... hanya ...” Ia menggeleng dan kembali meminum sodanya. Andra benar. Ini bukan urusannya. Hanya karena gadis itu mirip Erika, bukan berarti Mike harus peduli. Bukan urusannya sama sekali. “Sial!” Gab datang dengan bersungut-sungut. “Karl melarangku berkenalan dengan si keriting tadi!” Gerutunya kesal sambil menyesap margaritanya. Diam-diam Mike menarik napas lega. Okey, ia sudah bilang ia tidak akan peduli. Ia hanya ... lega mungkin? Andra tertawa. “Karl tahu sepak terjangmu dengan wanita, sobat. Dia hanya melindungi pekerjanya.” “Tapi aku ...” Saat itu, Mike tidak lagi mendengar apa yang Gab ucapkan karena matanya kembali tersihir oleh gadis kecil itu. Gadis itu kembali berdiri di atas panggung. Wajahnya sedikit memucat saat mereka bersitatap. Dia tersenyum gugup pada temannya dan kemudian memejamkan mata. Dan Mike semakin tidak bisa berpaling saat suara indah itu kembali mengalun. Ya Tuhan, suaranya adalah benar-benar untaian nyanyian bidadari. Mike jarang mendengarkan musik, ia tidak tahu siapa penyanyi yang sedang hits saat ini, tetapi ia jelas bisa membedakan mana suara yang indah dan mana suara yang tidak. Dan suara yang sedang terdengar sekarang lebih dari indah. Mata gadis itu terbuka begitu dia selesai menyanyi dan mereka kembali bersitatap dalam diam. Dan Mike tahu, ia tidak akan pernah bisa berpaling lagi dari mata itu. ..... Esok paginya, Mike  melompat dari kasur dan sembarangan meraih baju. Ia kesiangan! Sial! Ia tidak pernah bangun kesiangan sebelumnya. Padahal ada jadwal operasi satu jam lagi! Ini semua gara-gara gadis keriting bersuara indah itu. Mike tidak bisa tidur semalaman memikirkan dia. Sungguh sial! Ia berlari keluar apartemen dan memacu mobilnya di jalan layaknya pembalap formula one. Tidak peduli dengan polisi. Nyawa pasien ada di tangannya. “Dokter Frederick! Anda baru datang? Ya Tuhan!” Eva -asistennya- melotot saat Mike hendak masuk ke ruangannya. Mike tersenyum malu. “Maaf, aku kesiangan.” Eva memutar bola matanya. “Luar biasaaaa!! Seorang dokter berdedikasi tinggi seperti Anda bisa kesiangan?? Apa aku harus merayakannya?” Sindirnya kemudian. “Tidak perlu! Bawakan saja berkas pasien yang harus kita operasi pagi ini. Oh, dan bawakan aku kopi,” kata Mike seraya masuk ke ruangannya. “Tanpa gula, Eva!” Teriaknya sebelum ia menutup pintu. Delapan menit kemudian, Eva masuk dengan apa yang sudah Mike pesan. Mike tersenyum dan berterima kasih padanya. Eva sudah menjadi asistennya sejak awal ia bertugas di rumah sakit ini. Gadis itu cerdas dan bisa mengimbanginya yang sedikit rewel. Ya, urusan pekerjaan, Mike memang rewel. Karena itulah ia secara khusus meminta pada Andra dan dewan direksi untuk tidak memindahkan Eva. Ia hanya cocok bekerja dengan gadis itu. “Dokter Frederick, sudah waktunya!” Kepala berambut merah milik Eva muncul di balik pintu.  Mike segera bersiap dengan seragam operasinya dan menuju ruang operasi. Ia begitu menikmati pekerjaannya. Bisa membantu menyembuhkan sakit seseorang, atau membantu menyelamatkan nyawa seseorang membuatnya sedikit merasa berguna. Ia memang tidak bisa menyelamatkan nyawa Erika, tetapi kini ia diberi kesempatan untuk menyelamatkan nyawa lebih banyak orang. Mike yakin, Erika akan sedikit bangga padanya. Mike tersenyum lega saat akhirnya keluar dari ruang operasi dua jam kemudian. Tidak ada saat yang lebih melegakan daripada mengetahui bahwa operasi berjalan lancar. Ia merangkul bahu Eva saat mereka berjalan bersisian kembali ke ruangan praktek. “Kau berkeringat, Dokter!” Gerutu gadis itu seraya menyingkirkan lengan Mike. Mike terkekeh. “Sombooong! Apa kau tidak ingat dua minggu lalu memaksaku merangkulmu untuk membuat cemburu pria yang kau sukai?” Tanyanya seraya bersandar di dinding. Ia menatap Eva yang sedang berjalan ke mejanya.       Eva mencibir. “Aku sudah lupa!” Mike terbahak dan maju mengacak poni Eva. Ia dan Eva sudah seperti kakak dan adik perempuannya. Eva masih muda dan begitu enerjik, tetapi gadis itu juga tidak berpengalaman dalam hal percintaan. Bukan berarti Mike berpengalaman, setidaknya ia bisa membedakan yang b******k dan yang tidak. Tidak seperti Eva. Pria yang ditaksir Eva dua minggu lalu adalah seorang b******k. Mike tahu itu. Mike hanya menurut saja saat mereka tidak sengaja bertemu pria itu saat makan siang dan Eva meminta Mike untuk bersikap mesra padanya. “Eva, kau gadis baik dan sangat cantik, suatu saat kau akan dijemput pangeran berkuda putihmu. Jangan terburu-buru melabuhkan hati pada orang yang tidak pantas untukmu.” Mata Eva melebar. “Seorang dokter yang tidak percaya cinta, bicara tentang cinta padaku??” Mike terkekeh dan menarik hidung Eva lalu masuk ke ruang praktiknya. Sial memang gadis itu. Ponselnya berdering saat ia sedang mempelajari riwayat penyakit beberapa pasien. Nama ibunya terpampang di layar. Ia agak malas sebenarnya, tetapi wanita itu ibunya, ia tidak bisa menolak bicara dengannya. “Ya, Mom?” “Michael! Oh, ibu merindukanmu, Nak.”  Wanita itu terisak di ujung sana. Mike mengerutkan alis. Kenapa Mom seemosional ini? “Mom, ada apa?” Wanita itu malah menangis sekarang. Ya Tuhan, kenapa wanita mudah sekali menangis! “Mom, ada apa??” Ulang Mike lagi dengan tidak sabar. “Mike, apa kau tidak kasihan pada Mommy? Mommy di sini sendirian, Nak,” dia merengek lagi. Astaga! Apa-apaan ini? Ibuku kena puber kedua atau apa? “Mom, aku sudah pernah mengajakmu tinggal di sini dan kau menolaknya.” Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali Mike mengajak ibunya tinggal di Görlitz bersamanya. Namun ibunya selalu menolak dengan alasan yang selalu membuat Mike muak. Wanita itu tidak ingin jauh dari suaminya  yang kini ada di penjara. “Tidak, Mike. Aku tidak ingin pergi dari sini. Aku tidak ingin jauh dari ...” “Ok, stop! Kau tidak perlu meneruskannya.” “Michael, ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Nak.” “Tentang?” Tanya Mike  dengan suara tegang. Mereka jarang 'berbicara', dan jika ada satu hal yang ibunya ingin 'bicarakan' denganya, Mike hampir yakin itu sesuatu yang buruk. “Aku... aku menjamin ayahmu. Ayahmu akan bebas besok.” Darah seolah surut dari wajahnya. Ia membeku. What the hell are going on here? Apa yang ada di pikiran ibunya saat melakukan itu? Membebaskan pembunuh itu?? “Mom, apa kau gila?? Apa yang kau pikirkan??” Mike tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Ini gila. Ibunya pasti sudah gila. “Ayahmu sudah berubah. Dia tidak seperti dulu lagi. Dia sudah sadar, Nak.” “Bagiku dia tetap seorang pembunuh.” “Michael, jangan egois. Aku mencintainya dan aku membutuhkannya di sisiku. Aku ...” “Egoiss?? Mom bilang aku egois?? Fine! Hiduplah bahagia dengan pria yang kau cintai itu. Mulai saat ini kedua anakmu sudah mati!!” Ia menutup telepon dengan teriakan dan berakhir dengan hancurnya ponsel itu karena dibanting ke lantai. Brengsek! Aku benci ibuku!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD