Kapan Kawin?

1090 Words
"Mimpi indah, Sayang." Devan mengecup puncak kepala Cherry dengan penuh sayang lalu merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. Devan merasa sangat lelah karena dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Bukan tanpa alasan kenapa Devan sengaja menyibukkan diri dengan bekerja karena pekerjaan bisa mengalihkan pikirannya dari mendiang sang istri. Devan pun keluar dari kamar Cherry lalu berbaring di sofa yang berada di ruang tengah. Dia melipat sebelah tangannya untuk menutupi kening lalu memejamkan mata perlahan. Devan ingin beristirahat sebentar sebelum kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba saja sang ibu datang lalu memberinya secangkir teh panas padahal kedua matanya baru beberapa menit terpejam. "Ini, minum dulu tehnya, Van." Diana mengulurkan secangkir teh panas yang dibawanya pada Devan. Devan pun menerimanya lantas mengucapkan terima kasih. Aroma teh bercampur dengan melati seketika menyeruak di indra penciumannya. Aromanya sangat menenangkan. Devan menyesap sedikit minuman tersebut lantas meletakkannya di atas meja. "Apa kamu nggak capek hidup kayak gini terus, Van?" "Maksud, Mama?" tanya Devan tidak mengerti. "Andai saja kamu punya istri, pasti ada orang yang mengurus kamu. Apa kamu nggak ingin menikah lagi, Van?" Diana mencoba membujuk Devan agar mau menikah lagi. Orang tua mana yang tidak khawatir melihat putranya yang betah menduda selama lima tahun. "Memangnya Mama pikir nyari istri gampang," ucap Devan sedikit kesal karena sang ibu mulai membahas tentang pernikahan. "Kamunya saja yang nggak mau nyari istri lagi." Diana memutar bola mata malas karena Devan selalu mengatakan hal tersebut ketika ditanya kapan nikah. "Anak teman mama ada yang nyari jodoh. Namanya, Siska. Kamu mau ya, mama kenalin sama Siska?" "Tidak mau," tolak Devan langsung. Diana menghela napas panjang karena Devan langsung menolak permintaannya. "Mama tuh, kasihan sama Cherry. Sejak bayi dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sosok ibu." "Mama tenang saja. Devan bisa menjadi ayah sekaligus ibu yang baikbagi Cherry." Diana berdecak kesal. "Kamu tidak bisa melakukan dua peran sekaligus, Van. Menikahlah lagi. Mama mohon ...." "Sudahlah, Ma. Devan balik ke kantor dulu." Devan buru-buru menghabiskan teh-nya lalu pamit pada Diana untuk pergi ke kantor. Diana menghela napas panjang. Entah kenapa susah sekali membujuk Devan agar mau menikah. *** Hari ini sekolah Cherry mengadakan kegiatan di luar sekolah. Anak perempuan berusia lima tahun itu sudah memakai seragam sekolah lengkap dan bando berwarna merah muda. Devan memang mendidik Cherry dengan sangat baik. Cherry sudah bisa mandi dan memakai seragam sekolah sendiri sejak berumur empat tahun. "Nenek!" Cherry berlari kecil menghampiri Diama yang sedang duduk di meja makan lalu mengecup kedua pipi wanita paruh baya itu bergantian. "Wah, cucu nenek sudah cantik." Diana mencubit pipi Cherry dengan gemas. "Nenek tadi sudah membuat roti bakar cokelat keju kesukaan kamu. Ayo, kita makan dulu." "Papa di mana, Nek?" tanya Cherry karena tidak melihat Devan. "Papamu sudah berangkat ke kantor." Wajah Cherry seketika berubah sendu. Padahal Devan kemari sudah berjanji akan menemaninya pergi karya wisata, tapi sang ayah malah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali karena ada meeting medadak. "Cherry jangan sedih, ya? Nenek nanti akan menemani Cherry karya wisata." Cherry terlihat sangat senang mendengar ucapan Diana barusan. "Serius, Nek?" Diana mengangguk. "Asyik! Terima kasih, Nek." Cherry turun dari tempat duduknya lalu memeluk Diana dengan erat. Anak itu tidak pernah merasa kurang kasih sayang meskipun tidak mempunyai ibu karena Devan dan Diana sangat memanjakannya. *** Seika meletakkan bekal makanan yang dia buat khusus untuk Arka di atas pangkuannya. Hari ini dia sengaja tidak masuk kerja karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu. Mereka berjanji bertemu di taman yang berada tidak jauh dari tempat kerja Arka jam delapan pagi. Namun, Arka belum belum datang sampai sekarang. Cowok itu selalu saja datang terlambat dan Seika tidak merasa keberatan untuk menunggu. "Maaf sudah membuatmu menunggu lama." Arka tiba-tiba datang lalu duduk tepat di samping Seika. Seika memutar bola mata malas mendengar ucapan Arka barusan. Apa Arka tidak tahu kalau dia nyaris lumutan karena terlalu lama menunggu? "Aku ingin putus!" Deg, Tubuh Seika sontak menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat karena ucapan Arka sukses membuatnya sangat terkejut. Seika pun menatap Arka dengan lekat seolah-olah meminta penjelasan kenapa cowok itu tiba-tiba ingin putus darinya. "Aku mencintai wanita lain, Ka. Sorry ...," jelas Arka tanpa memikirkan bagaimana perasaan Seika sekarang. Wajah Seika sontak mengeras, kedua tangannya tanpa sadar mencengkeram bekal yang dibawanya dari rumah dengan erat hingga membuat buku-buku jari tangannya terlihat memutih. Seika berusaha keras menahan diri agar tidak menampar cowok berengsek yang duduk tepat di sebelahnya untuk melampiaskan amarah. "Sayang ...," teriak seorang wanita bergaun merah yang berdiri tidak jauh dari mereka. Dia kekasih baru Arka. "Apa kamu masih lama?" "Sepertinya aku harus pergi sekarang. Sekali lagi maaf ...." Arka beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Seika begitu saja. Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Seika. Dia merasa menjadi gadis paling bodoh yang pernah Tuhan ciptakan karena menaruh hati pada cowok berengsek seperti Arka. "Kamu benar-benar bodoh, Seika ...," gumam Seika menahan sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Padahal dia sudah berusaha menjadi kekasih yang baik untuk Arka, tapi cowok itu malah meninggalkannya demi wanita lain. Seika mengusap air matanya dengan kasar. Percuma saja dia menangis karena air matanya terlalu berharga untuk menangisi cowok berengsek seperti Arka. Lebih baik dia fokus pada masa depannya dan menata kembali hatinya yang hancur berantakan. Seika beranjak dari tempat duduknya lalu membuang kotak makan yang dibawanya ke tempat sampah solah-olah kotak makan itu adalah Arka. Mulai sekarang dia harus bisa melupakan cowok berengsek itu. Harus! "Ah ...!" Seika sontak menoleh, menatap anak perempuan yang terjatuh tidak jauh darinya. Dia pun cepat-cepat menghampiri anak perempuan itu. "Kamu tidak apa-apa?" Seika menatap anak perempuan yang memakai bando merah muda itu dari atas sampai bawah untuk memastikan apakah ada yang terluka. Lutut anak perempuan bernama Cherry itu ternyata tergores dan mengeluarkan sedikit darah akibat terjatuh saat ingin menangkap seekor kupu-kupu. Seika pun mendudukkan Cherry di bangku kayu yang berada tidak jauh dari mereka. Setelah itu dia mengambil tisu yang ada di dalam tasnya untuk membersihkan luka Cherry. Setelah selesai dia menempelkan sebuah plester luka di lutut Cherry dengan hati-hati. Seika memang selalu membawa plester luka saat bepergian untuk berjaga-jaga karena dia juga ceroboh. "Sebentar lagi pasti sembuh." Seika mengecup lutut Cherry yang terluka dengan penuh sayang seperti kebiasaan yang selalu dilakukan oleh kedua orang tuanya ketika dia sedang terjatuh. Apa yang dia lakukan berhasil menyentuh hati Seika. Anak itu seolah-olah menemukan sosok ibu yang selama ini dia idam-idamkan dalam diri Seika. "Jangan nangis, ya?" Seika menepuk puncak kepala Cherry dengan penuh sayang. Anak perempuan berambut hitam itu benar-benar cantik, pikirnya. "Terima kasih, Mama." "Hah?!" Seika terkejut karena Cherry memanggilnya mama. Apa dia terlihat seperti ibu-ibu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD