3. Jalan Cerita Dimulai

1102 Words
Malam ini masih seperti malam sebelumnya, di mana aku akan berada di apartmen seorang diri, karena Bara baru akan pulang saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Duduk di sofa lalu meraih remote televisi. Menyalakannya sebagai pengusir rasa sepi yang mendera. Setelah televisi menyala, aku meraih stereo foam yang tergeletak di atas meja. Itu adalah menu makan malam yang tadi aku pesan via gofood. Setiap hari rutinitasku masih tetaplah sama. Melakukan segala hal seorang diri tanpa Bara. Baru juga aku menyuap separuh porsi dari makananku, saat pintu apartmen terbuka. Tentu saja hal itu menarik perhatianku, dan aku terkejut mendapati Bara dengan muka kusutnya masuk ke dalam. Menatapku sekilas sebelum lelaki itu langsung menuju ke dalam kamar. Kuhela napasku. Sampai kapan Bara akan mendiamkanku seperti ini. Hanya saja yang mebuatku bertanya-tanya, setiap pulang pasti Bara akan menunjukkan wajah lelah. Tak hanya bajunya saja yang kusut, tapi mukanya juga. Sebanyak apakah pekerjaan Bara di kantor? Aku selalu bertanya pada diriku sendiri. Memilih melanjutkan acara makanku hingga selesai. Aku beranjak menuju pantry dan membuang bungkus makananku. Setelahnya kucuci sendok bekas makanku. Mengambil gelas dari dalam rak, lalu menuang air putih dari dispenser. Kuteguk perlahan hingga cairan tersebut membasahi kerongkongan. Lega rasanya. Perut kenyang dan aku pastikan malam ini bisa tertidur nyenyak tanpa harus merasakan kelaparan seperti beberapa malam sebelumnya. Saat aku kembali ke ruang tamu bertepatan dengan Bara yang juga keluar dari dalam kamar. Rambut basah Bara menandakan jika lelaki itu selesai mandi. Suasana menjadi canggung seketika. Tidak mungkin rasanya jika aku begitu saja meninggalkan Bara. Baiklah, aku memilih kembali duduk di atas sofa di mana masih ada ponselku yang tergeletak diatas meja. Tanpa kata, Bara pun ikut duduk dan matanya menatap pada layar televisi yang masih menyala. Aku sedikit kikuk duduk berdua bersamanya. Sepertinya aku memang harus meninggalkan Bara dan tidur adalah pilihan yang tepat. "Eum... Mas. Aku ke kamar dulu. Mau tidur." Pamitku demi kesopanan. Biarlah jika Bara tak meresponku. Aku tak peduli. Ternyata perkiraanku salah. Bara menoleh ke samping dan memperhatikanku. "Bukannya kau habis makan? Tak baik bagi kesehatan jika sesudah makan langsung tidur. Bisa membuat perut begah dan memicu obesitas," ucapnya dan sukses membuatku membisu. Mengurungkan niatku untuk meninggalkannya. Aku kembali mengatur posisi dudukku. Berusaha kembali pada layar televisi. "Si ... sebenarnya ada hal yang ingin aku ceritakan kepadamu. Apakah sekarang kau ada waktu?" tanyanya tiba-tiba, di saat aku sedang fokus  mengikuti jalan cerita dari drama korea yang sedang kutonton. Aku menghela napas lalu kuberanikan diri menoleh ke samping untuk menatap wajahnya. "Hal apa yang ingin Mas Bara ceritakan," jawabku kemudian. "Apa sekarang kau ada waktu untuk mendengarnya?" Lagi-lagi lelaki itu memastikan. Aku pun mengangguk. "Eum ... sebenarnya ini mengenai ___" Bara menjeda ucapannya, membuatku semakin penasaran saja. Kemudian ia melanjutkan. "Salah satu sahabatku. Ben namanya." Demi mendengar nama yang Bara sebutkan, membuatku terdiam. Lalu aku teringat akan perbincangan Bara dengan rekannya tadi siang. Bara belum melanjutkan ceritanya. Mungkin saja dia menanti reaksiku akan hal yang ingin diceritakannya. Aku sendiri bingung, kenapa tiba-tiba Bara ingin bercerita tentang sahabatnya kepadaku. Rasanya aku tidak mengenal lekaki bernama Ben. Dan seingatku, aku pun juga tidak memiliki teman atau keluarga yang bernama Ben. "Dia sahabat baikku. Bahkan aku dan Ben sudah bersahabat semenjak kami sekolah. Dan aku sudah menganggap Ben seperti saudaraku sendiri." Dari sini aku semakin bertambah bingung. Kenapa juga Bara menceritakan tentang teman semasa lelaki itu sekolah. Rasanya aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. "Apa aku mengenal lelaki bernama Ben itu?" tanyaku tiba- tiba. Sungguh aku memang penasaran dengan apa yang akan diceritakan oleh Bara. "Entahlah. Aku tak tahu apa kau mengenalnya atau tidak." "Apa waktu itu dia datang di hari pernikahan kita?" tanyaku lagi . Bara menggeleng. "Tidak. Tentu saja dia tidak datang. Karena tepat di hari pernikahan kita, di saat itulah Ben mendapatkan sebuah musibah yang kini menghancurkan hidupnya." "Maksudnya? Aku masih tak mengerti." "Semua karena kesalahanku. Karena aku yang telah memaksa Ben untuk hadir di acara pernikahan kita. Dan di saat dia berangkat ke lokasi acara, Ben mengalami kecelakaan. Kondisinya sempat kritis dan koma dua hari." Aku terdiam. Hanya bisa memandang raut kesedihan yang Bara tunjukkan. Lalu, lelaki itu kembali melanjutkan ceritanya. "Andai aku tak memaksa Ben untuk hadir di acara itu, mungkin Ben tak akan mengalami musibah ini. Dan kau tahu, Sifa. Karena kecelakaan itu, Ben harus menerima kenyataan jika dia mengalami kelumpuhan." Aku sampai menutup mulut mendengar semua cerita Bara mengenai sahabatnya yang bernama Ben. Dan sekarang aku paham, selama satu minggu ini Bara selalu pulang malam dengan wajah kusutnya. Pasti itu semua karena Ben. "Eum ... apa selama ini Mas Bara bersedih karena Ben?" tanyaku dan dia mengangguk. "Ben frustrasi dan dia tidak ada gairah hidup lagi. Ben merasa dirinya tak lagi berguna untuk kembali hidup di dunia. Semua karena kelumpuhan yang dia derita. Aku sedih mendengar penuturannya, dan aku tak bisa berbuat apa-apa." Setelah menjeda sebentar, lalu Bara melanjutkan ceritanya. "Padahal kita berdua pernah bermimpi akan melalui hari selamanya sampai kita berdua menikah, punya anak lalu menjadi kakek." Bara tersenyum miris dengan pandangan menerawang. Aku ikut iba mendengar ceritanya. "Sekarang harapan Ben hancur sudah. Keinginannya untuk menikah juga tak akan terwujud. Karena wanita mana yang mau menikah dengan lelaki lumpuh seperti Ben." "Mas ... sahabat Mas Bara tidak boleh mempunyai pikiran seperti itu. Jika sudah bertemu dengan jodohnya, aku yakin pasti perempuan itu bisa menerima keadaan sahabat Mas Bara apa adanya." "Mungkin kamu mudah mengatakan hal itu. Tapi tidak dengan pemikiran orang lain, Sifa. Aku sedih dan aku sangat merasa bersalah." Kutatap Bara yang penuh penyesalan. Sungguh aku juga merasakan kesedihan yang sama. Itulah namanya musibah. Cobaan yang datang tanpa bisa kita duga sebelumnya. "Sifa!" "Ya." "Bolehkah aku meminta bantuan kepadamu?" tanya Bara. Jujur aku sendiri tak yakin bisa membantu. Seandainya apa yang Bara maksudkan adalah untuk membantu sahabatnya itu. Apa yang bisa aku lakukan untuk membantunya. Bahkan aku sendiri juga tak kenal dengan orangnya. Apakah Bara ingin meminta bantuan kepadaku untuk mencarikan calon  istri buat Ben. Jika benar begitu, maka aku yakin jika aku tak mampu melakukannya. Benar apa yang Bara katakan, jika mengucapkan sabar dan menanti perempuan yang mau menerima kondisi Ben apa adanya sangatlah susah. Ke mana akan mencari wanita baik seperti itu? Yang mau menerima pasangan tanpa melihat penampilan fisik semata. "Sifa!" panggil Bara lagi. Aku terkesiap sadar akan lamunan. "Iya, Mas." "Maukah kau membantuku?" "Membantu Mas Bara apa dan dalam segi apa dulu? Selagi aku mampu, pasti aku akan membantu Mas Bara," jawabku tulus meski dalam hati ada keraguan. Tak etis rasanya jika aku langsung menolak untuk membantunya begitu saja. Sebagai umat manusia bukankah kita diajarkan untuk saling tolong menolong. Dan hal inilah yang selalu ingin aku lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD