2. Tentang perjodohan

1002 Words
Memasuki lift yang sudah penuh sesak ketika jam masuk kantor semakin mendekati, sudah menjadi pemandangan wajar hampir di setiap pagi. Tak terkecuali aku yang ikut berdesak-desakan bersama mereka. Tak hanya orang-orang dari satu kantor yang sama denganku saja, melainkan juga dari beberapa perusahaan yang memang berada di dalam gedung ini, yang jumlahnya tak hanya puluhan tapi mungkin saja ratusan. Tak heran jika di gedung tiga puluh lantai ini bisa dihuni oleh perusahaan sebanyak itu. Dan yang paling mendominasi memang dari beberapa perusahaan asuransi, perusahaan telekomunikasi , periklanan, penerbitan serta property. Kutarik napasku dalam-dalam setelah kelegaan mendera. Berdesakan di dalam lift yang membuat napasku sesak. Kuangkat pergelangan tangan kananku. Lima menit lagi jam delapan pagi dan aku tak boleh terlambat. Berjalan cepat menuju di mana letak tempat kerjaku berada dan .... "Auw ... aduh. Maaf." Refleks aku meminta maaf karena tak sengaja menyenggol bahu seseorang. Orang itu menoleh dan aku terbelalak. Dia Bara yang sedang berjalan searah denganku, tapi tanpa sengaja aku justru telah menabraknya karena kurangnya berhati-hati. Bara tidak sendiri melainkan bersama dengan seorang pria yang juga setara usia dengannya jika kulihat dari penampilan mereka. Tapi aku tak tahu siapa pria yang bersama Bara itu. "Lain kali kalau jalan hati-hati," ucapnya. Aku mengangguk dan bergegas meninggalkannya. Di sini, aku dan Bara memang berperilaku seolah tak saling mengenal. Akan tetapi saat telingaku mendengar perbincangan Bara dengan rekannya, seketika aku memelankan langkahku. Posisi Bara sedang berjalan di belakangku saat ini. "Entahlah, semoga saja tidak terjadi hal yang serius pada Ben. Aku sungguh menyesal dan sangat bersalah padanya." Ucapan Bara yang bisa terdengar olehku. Hanya itu sebenarnya yang dapat ditangkap oleh indera pendengaranku. Namun, hal itu sanggup membuatku penasaran. Ben, satu nama yang tadi diucapkan oleh Bara. Siapa gerangan? Kenapa Bara harus merasa bersalah? Kugelengkan kepalaku berusaha mengusir tanya dalam benak. Untuk apa aku harus ikut campur dan sok mau tahu dengan urusan Bara. Kupercepat langkahku karena tinggal beberapa meter sudah sampai di kantor tempat aku bekerja. Tak kuhiraukan lagi Bara dengan temannya. Daripada aku terlambat nantinya. *** Kujatuhkan tubuhku di atas kursi kerja. Menghempaskan punggung di sandaran kursi. Untung saja aku datang di saat jam delapan tepat. Meski hanya beberapa menit, jika terlambat rasanya tak enak saja pada bagian personalia. Sebagai karyawan teladan aku tak ingin terlihat buruk dimata atasan dengan sering terlambat masuk ke kantor. Sebenarnya aku pernah datang terlambat meski hanya beberapa kali dan sempat kena tegur juga. Oleh sebab itulah aku tak mau mengulang kesalahan yang sama. Akan sangat malu jika mendapat teguran hanya karena terlambat masuk kerja. "Si ... baru datang?" tanya Yuli, rekan se-divisi denganku. Aku mengangguk. "Iya. Untung saja tidak terlambat," jawabku. Yuli terkekeh. "Kau ini kenapa akhir-akir ini seringkali datang kesiangan." Aku hanya nyengir mendengar perkataan Yuli. Memang satu minggu ini aku seringkali berangkat kesiangan. Itu semua karena setiap pagi aku harus menyiapkan sarapan serta membersihkan apartmen Bara. Jika dulu saat belum menikah, aku masih tinggal di sebuah rumah kos yang lokasinya di belakang gedung ini. Dan untuk bisa sampai di tempat ini, aku hanya perlu jalan kaki. Setiap pagi juga aku tak pernah sibuk membersihkan tempat tinggalku. Karena tempat kosku hanya berupa satu kamar yang tak memerlukan banyak waktu untuk membersihkannya. Selama ini aku memang tinggal terpisah dengan Mama. Tepatnya semenjak aku memutuskan kuliah di luar kota, lalu begitu aku lulus sudah langsung bekerja di kota yang sama. "Ya sudah, aku ke pantry dulu. Buat kopi. Kamu mau?" tawar Yuli dengan baik hatinya padaku. Senyumku merekah. Siapa juga yang akan menolak tawaran manis dari rekan kerjaku ini. "Boleh," jawabku sumringah. "Baiklah. Tunggu sebentar." "Thanks, Yuli." "Sama-sama, Sifa." Yuli meninggalkanku dan aku merasa beruntung memiliki teman kerja sebaik Yuli ini. Kita memang selalu bekerjasama dalam segala hal. Terkadang aku pun juga tak segan  membuatkan Yuli kopi atau teh di saat waktu senggangku. Dan kali ini giliran Yuli yang menawariku. Sudah menjadi kebiasaan kami seperti ini. Apalagi di divisi keuangan ini hanya ada aku dan Yuli  yang merupakan staff wanita. Selebihnya beberapa jabatan penting divisi keuangan perusahaan dipegang oleh para kaum lelaki. Meskipun aku dan Yuli adalah teman baik, tapi ia tak tahu jika aku sudah menikah. Bukan aku berniat menyembunyikannya, tapi memang Bara yang tidak menginginkan semua orang tahu tentang status kita berdua. Saat aku dan Bara menikah, yang diundang hanyalah keluarga dekat, rekan kerja orangtua Bara juga beberapa teman almarhum papaku, dan diantaranya ada teman Bara juga. Sementara aku, tak mengundang satu orang pun temanku. Untuk apa juga aku mengundang mereka jika pada kenyataannya Bara tak pernah rela dengan pernikahan yang dijalani bersamaku. Akan lebih malu lagi jika sampai teman- temanku mengetahui kehidupan rumah tanggaku bersama Bara yang tidak harmonis. Selain itu, sebelum pernikahan kami berlangsung, Bara telah mewanti- wantiku jika pernikahan ini akan kita berdua sembunyikan. Semakin yakin jika Bara memang tidak menginginkan pernikahan ini. Aku sadar jika sebuah pernikahan yang didasari atas dasar perjodohan, akan lebih banyak dilakukan dengan penuh keterpaksaan. Begitupun denganku dan Bara. Sebenarnya aku dan Bara sudah lama saling kenal, karena kedua orang tua kami memang berteman. Dulu, setiap ada acara arisan atau reuni, baik aku dan Bara pasti akan bertemu. Tapi hanya sebatas saling tahu. Itu saja. Tanpa berniat untuk mengenal lebih jauh lagi. Hingga satu bulan lalu saat aku tak sengaja bertemu dengan Om Bastian, setelahnya, tiba-tiba saja keluarga Om Bastian mendatangi Mama. Mereka mengajukan permintaan untuk melamarku. Menurut Om Bastian, dulu beliau dan almarhum papa pernah berjanji akan saling menjodohkan anak-anak mereka, yang tak lain adalah aku dan Bara. Dan saat itulah aku dan Bara saling diperkenalkan. Tahu-tahu aku dipaksa harus menerima perjodohan dengan Bara. Sebulan setelahnya, tanpa ada acara mewah, hanya acara ijab qabul dan resepsi kecil-kecilan, aku dan Bara resmi menjadi sepasang suami istri. Hanya dalam jangka waktu satu bulan, status kami pun langsung berubah. Sungguh, cerita perjodohanku ini memang sangat tidak masuk akal. Aku bahkan tak berani protes pada Mama yang begitu saja menerima pinangan keluarga Om Bastian tanpa meminta persetujuan dariku sebelumnya. Namun aku bisa apa. Selain menerima dan menjalani semuanya dengan ikhlas. Berharap semua akan berjalan sebagai mana mestinya dan kelak berakhir bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD