4. Pengorbanan

1502 Words
Della mengusap lembut punggung Riana yang masih bergetar hebat karena menangis. Saat ini mereka tengah berada di luar ruang ICU tempat Vino diperiksa saat ini. Tadi setelah Pak satpam memberitahu nama rumah sakit yang dituju Riana, Della segera pergi ke sana tak peduli bajunya yang sudah basah kuyup karena lupa membawa payung. Sesampainya di rumah sakit, bagian administrasi memberitahu bahwa adiknya itu sedang diperiksa di ruang ICU dan di sinilah ia sekarang. "Bunda, tenang ya, Bun. Vino pasti nggak kenapa-kenapa." Della berusaha menenangkan Riana. "Tapi ini salah Bunda, Sayang. Bunda nggak bisa jaga adik kamu dengan baik," ucap Riana di sela-sela isakannya. "Bukan Bunda. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini musibah, Bunda. Itu kan yang selalu Bunda ajarin kalo Della selalu mengeluh? Jadi Bunda juga harus yakin kalo ini cobaan dari Allah," jawab Della sambil terus mengusap punggung Riana. Riana melepaskan pelukannya dan menatap wajah Della. "Kamu udah dewasa, Sayang." Della tersenyum kecil lalu menghapus air mata Riana. "Sekarang kita doain Vino ya, Bunda." Riana mengangguk dan akhirnya mereka masing-masing berdoa dalam diam. Beberapa menit kemudian pintu ruang ICU terbuka dan seorang dokter keluar. Riana dan Della segera menghampiri dokter itu. "Bagaimana keadaan anak saya Dok?" tanya Riana tidak sabar. Dokter wanita itu menatap Riana. Ekspresinya tampak tidak enak untuk mengatakan hal yang ingin dikatakannya. "Katakan Dokter," ucap Riana lagi. Della mengusap punggung Riana. "Putra Anda mengalami pendarahan dalam sehingga harus segera dilakukan operasi untuk menyelamatkan nyawanya," jawab dokter itu. Seketika tangis Riana pecah di pelukan Della. Air mata Della juga tumpah begitu saja mengetahui adik satu-satunya yang ia miliki tengah meregang nyawa di dalam sana. *** Della menunduk menatap layar ponsel yang tergenggam di tangan kanannya sementara tangan kirinya meremas-remas kartu nama yang sejak kemarin disimpannya. Saat ini Dia tengah berada di taman rumah sakit dan duduk di salah satu kursi. Tadi setelah menenangkan Riana, dia segera menuju bagian administrasi untuk menanyakan biaya operasi adiknya sesuai perintah dokter. Alangkah terkejutnya Della mengetahui nominal yang harus ia cari untuk operasi Vino. Angka tiga dengan deretan nol di belakang berjumlah tujuh itu adalah angka yang sangat kecil untuk keluarganya. Tapi itu dulu saat keluarganya masih berkecukupan tapi untuk sekarang itu sungguh sangat sulit sekali. Dan ia harus mendapatkan uang itu dalam waktu paling lama dua jam karena Vino tak mungkin bertahan lebih lama lagi. Della bahkan tidak sanggup memberitahu Riana tentang ini karena Riana bahkan baru saja tenang dari syok-nya. Terbersit niat untuk menghubungi sahabat-sahabatnya tapi Della mengurungkan niatnya mengingat jumlah nominal itu karena dia ragu mereka punya uang sebanyak itu. Dan sekarang harapan Della satu-satunya hanyalah nama yang tertera di kertas yang sejak tadi digenggamnya. Tapi bagaimana dengan imbalannya? Apakah dirinya sanggup menerima lamaran kakek tua itu dan menjadi istrinya bahkan di usianya yang baru genap tujuh belas tahun? Della mengembuskan napas panjang, mendongak menatap langit. "Ya Allah, tolong hamba. Ayah, ini berat buat Della," bisiknya lirih. Della menatap langit yang cerah dipenuhi kerlap kerlip bintang. Padahal tadi hujan sederas itu tapi kini berubah sangat cerah dan cantik. Tiba-tiba Della tersenyum tipis. Ya, bahkan langit yang tadinya tertutup awan kelabu kini berubah cerah sehingga sangat cantik kerlipan ribuan bintang yang kini terlihat. Bahkan cahaya bintang kali ini tampak lebih terang dibanding langit yang sebelumnya tidak menurunkan hujan terlebih dahulu. Della yakin hal itu juga berlaku untuk hidupnya. Jika sekarang hidupnya dipenuhi awan kelabu, maka suatu saat hidupnya akan cerah kembali bahkan mungkin akan lebih cerah dari hidupnya yang sebelumnya. Della menatap kartu nama itu sekali lagi. "Apakah harus begini caranya?" tanya Della dalam hati. Della menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu harus dengan cara apa lagi? Waktu terus berjalan dan adiknya sedang berjuang di dalam sana. Della tidak akan memaafkan ia sendiri jika sampai sesuatu yang lebih buruk terjadi pada Vino. Dan rasa bersalah akan menghantuinya seumur hidup jika Riana tersakiti karena terjadi hal buruk pada Vino. Tidak. Della tidak sanggup membayangkan itu. "Baiklah. Aku akan berkorban apapun asal Bunda dan Vino baik-baik aja," ucapnya mantap. Jemari Della mulai mengetik nomor yang tertera di kartu nama itu. Beberapa detik kemudian telepon benar-benar tersambung. Ia menelan ludah. "Halo?" Della tergeragap. Suara di seberang telepon nampaknya bukan suara Kakek Wira. "Halo. Dengan siapa ini?" "Ha-halo," ucap Della terbata. "Loh ini Mbak Della, kan?" Della terkejut. Dia yakin bahwa itu bukanlah Kakek Wira karena Kakek Wira tidak mungkin memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'. Della mulai curiga Kakek Wira memberinya kartu nama yang salah. Tapi kalau kartu nama itu salah, kenapa orang itu tahu ini aku? "Ini benar Mbak Della, kan?" "I-iya. Saya Della. Apa benar saya tersambung dengan dengan Kakek Wira?" tanya Della ragu. "Benar. Saya Jono. Tuan Wira mempercayakan kepada saya untuk menerima telepon masuk." Jadi itu pengawal pribadi Kakek Wira? Pantas aku asing dengan suaranya orang selama ini dia nggak pernah ngomong kalau lagi nemenin kakek Wira, batin Della. "Mbak Della, apa ada masalah?" Della tergeragap. Bagaimana Jono bisa dengan cepat mengetahui kalau ia sedang mengalami masalah? Benar-benar pengawal yang peka. "Eh... I-iya, Om. Apa saya bisa bicara sama Kakek?" "Apa Mbak Della sedang dalam masalah? Mbak bisa bicara sama saya. Nanti saya sampaikan kepada tuan." Della ragu. Apa tidak apa-apa kalau ia bercerita pada Om Jono? Mungkin tidak masalah karena sepertinya Jono adalah orang kepercayaan Kakek Wira buktinya ponsel Kakek Wira aja dipegang pengawalnya itu. Akhirnya Della memutuskan untuk memberitahu Jono. Dia menceritakan secara detail apa yang dialaminya dan bantuan apa yang dia butuhkan dari Kakek Wira. Bahkan Della akan bersedia melakukan apa yang diminta Kakek Wira sebagai imbalan untuk bantuannya. "Baik, saya akan segera memberitahu Tuan. Mbak Della tunggu kabar dari saya dan jangan lupa untuk selalu berdoa untuk kesembuhan adik Mbak." Telepon terputus begitu saja. Della tersenyum kecil. Ternyata pengawal Kakek Wira itu bisa juga menasehatinya untuk berdoa padahal selama ini orang itu terkesan dingin dan irit bicara. Memang semuanya tak bisa dinilai berdasarkan penampilan luar saja. Della berharap semoga Kakek Wira benar-benar bisa membantunya secepat mungkin agar operasi Vino bisa dilakukan dan berjalan dengan lancar. *** "Cepat selesaikan semuanya dengan baik. Jangan sampai terlambat," perintah seorang pria berumur sekitar tujuh puluh tahun yang sedang duduk di sebuah ruang kerja. Raut wajahnya tampak ramah namun terlihat jelas ketegasan dari bola matanya. Meski usianya sudah cukup tua, namun tubuhnya tampak masih segar hanya sedikit keriput di wajahnya saja yang menunjukkan bahwa usianya sudah tak muda lagi. Pria kekar yang berdiri di depannya mengangguk patuh. "Dan perintahkan anak buahmu untuk mencari tahu apa kejadian ini adalah perbuatan orang itu seperti sebelumnya atau murni kecelakaan." "Baik, Tuan." "Pergilah." Pria berseragam pengawal itu mengangguk dan segera beranjak keluar dari ruangan itu. "Bachtiar, akan kupastikan cucu sulungmu itu dalam keadaan aman bagaimana pun caranya," ucap pria tua itu lirih sambil menerawang. Pria berpakaian pengawal itu berjalan keluar dari rumah mewah itu dengan langkah cepat. Tangannya memegang ponsel yang dia tempelkan di telinganya. Tiba-tiba matanya menangkap sosok yang baru keluar dari sebuah BMW hitam yang baru saja terparkir di halaman rumah itu. Pria itu segera menghampiri sesosok pria itu. "Kenapa baru datang sekarang? Tuan Wira dan Tuan Andi sudah menunggumu sejak dua hari lalu," ucap pengawal itu. Pria dengan mata kehijauan yang usianya lebih muda dari pengawal itu hanya menatapnya malas. "Aku sibuk belakangan ini," jawab pria tinggi itu. Sang pengawal menatap wajah pria di depannya ini. Tampak ada sebuah luka kecil di pipi kiri pria yang sudah dianggapnya adik ini. "Pipimu kenapa?" tanyanya. "Hanya luka kecil. Sudahlah, aku capek. Aku masuk dulu," jawab pria itu yang langsung meninggalkan pengawal itu. Sang pengawal hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menghampiri mobil dinasnya untuk segera menyelesaikan tugas dari majikannya. Sedangkan pria bermata kehijauan itu kini sudah merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sudah cukup lama ia tidak masuk ke kamar ini semenjak dirinya memilih tinggal sendiri di apartemen. Tiba-tiba pria itu bangun dan terduduk. Ingatannya kembali pada kejadian mengesalkan yang dialaminya beberapa jam yang lalu. Tadi sepulang dari kantor tiba-tiba mobilnya mogok di tengah jalan. Ia mengumpat kesal karena di tengah hujan lebat harus memperbaiki sendiri mobilnya. Saat berbalik hendak mengambil tang di bagasi, tiba-tiba seseorang berpayung menabraknya dan sialnya kawat payung itu menggores pipi kiri membuatnya mengeluarkan sedikit darah. Ia langsung mengumpat dan mengucapkan kata-k********r pada gadis itu. Ya, gadis karena ia melihat orang yang menabraknya tadi memakai rok garis-garis selutut dan kardigan biru muda. Ia sempat terpana saat gadis itu mendongak menatap wajahnya. Gadis remaja itu menatapnya terkejut. Bola mata gadis itu bening dengan warna kecoklatan. Hidungnya yang tidak terlalu mancung itu tampak pas terpasang di wajah yang terkesan imut dan manis. Bibir tipis itu tampak bergetar akan mengucapkan sesuatu. Pria itu meringis saat pipi kirinya terkena air hujan, perih. Dan itu membuat dia kesal dan langsung membentak gadis itu dengan kata-k********r. Hal yang ingin dilakukannya sejak tadi sebelum ia sempat terpana dengan wajah gadis di depannya. Gadis itu masih menatapnya lama sebelum akhirnya mengucapkan kata 'maaf' dan langsung pergi begitu saja. Pria itu menahan kesal sambil menatap tajam punggung gadis itu. "Dasar gadis aneh!" desisnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD