3. Ditabrak?

868 Words
"Del, gue pulang dulu ya. Lo hati-hati pulangnya." Amel berucap dan segera beranjak pergi sambil memegang payung birunya. Della memandangi punggung Amel yang semakin menjauh dari depan cafe ini hingga tak terlihat lagi. Ya, saat ini Della memang sedang berada di depan cafe tempatnya bekerja selama hampir sebulan ini. Amel yang memberitahu Della bahwa di cafe tempat Amel bekerja sedang membutuhkan tambahan karyawan bahkan pekerja paruh waktu pun akan diterima dan Della sangat bersyukur karena itu. Amel dan Della memang tak pulang bersama karena rumah mereka berlawanan arah sehingga di jam sembilan malam ini Della harus pulang sendiri. Awalnya Della cukup takut pulang sendiri karena dulu ia belum pernah bepergian semalam ini sendirian. Tapi mau bagaimana lagi, Della sangat membutuhkan uang untuk keperluan pribadinya dan dia tidak tega jika harus meminta pada Bunda mengingat hasil berjualan gado-gado yang tak seberapa. Apalagi masih ada Vino, adiknya yang berusia enam tahun yang belum mengerti keadaan mereka saat ini dan sering meminta dibelikan mainan. Karena itu Della harus tetap bekerja setidaknya untuk membantu meringankan beban Bunda. Dengan tekad itulah Della memberanikan diri pulang sendiri dan lama-lama akhirnya terbiasa juga. Hujan lebat di luar sana dan Della masih betah berlama-lama berteduh di depan cafe ini. Memang belum tutup karena buka 24 jam hanya karyawannya saja yang berganti. Della mengulurkan telapak tangannya ke depan sehingga air hujan membasahi telapak tangan. Dingin, batin Della. Tentu saja dingin. Tapi pikiran Della saat ini malah panas karena banyak hal yang dipikirkannya. Bukan tentang teman sekolah yang memusuhinya. Ataupun mengira-ngira kapan hujan akan berhenti. Tapi lebih dari itu. Ini menyangkut keluarganya. Della mengeluarkan sebuah kartu nama dari balik saku kardigan biru mudanya. Wirajaya Reynand Nama itulah yang tertera di atas kertas berukuran 10x5 cm di tangannya itu. Di bawah nama itu juga tertera nomor telepon lengkap dengan alamat rumah. Della menggigit bibir bawahnya, teringat kejadian kemarin di mana rumahnya terancam disita. Bagaimana ini? Tidak ada yang bisa dimintai tolong. Mereka tak punya kerabat satu pun. Hanya Choki, dan justru pamannya itu yang menyebabkan masalah ini. Bagaimana pria itu begitu tega pada mereka? Della mendongak. Sepertinya hujan belum akan reda sehingga mau tak mau Della harus pulang sekarang. Dia membuka payungnya dan berjalan pelan meninggalkan cafe. Suasana jalan sangat sepi karena hujan. Namun sepanjang perjalanan Della hanya memikirkan nasib keluarganya nanti jika mereka tidak sanggup membayar hutang itu. Akan tinggal di mana mereka? Uang 35 juta bukanlah uang yang sedikit apalagi dalam keadaan mereka yang seperti ini. Semalaman kemarin Della tidak bisa tidur memikirkan itu dan sekarang dirinya merasa sangat pusing. Kenapa Allah kasih cobaan seberat ini? Belum cukupkah Engkau mengambil Ayah dan semua yang kami miliki? Dan saat ini Della hanya bisa membiarkan butiran air jatuh dari pelupuk matanya seperti malam-malam sebelumnya di saat dia sendiri. "Dara butuh Ayah," lirih Della di sela isakannya. Tangannya memegang erat pegangan payung sambil berjalan menunduk. Brukk! "Apa kamu nggak bisa lihat, hah? Di mana matamu?!" bentak orang yang tanpa sengaja ditabrak Della. Ya, Della baru sadar kalau ia menabrak seseorang saat bentakan itu sampai di telinganya. Dia kira tidak ada orang di jalan ini karena suasana yang sepi sehingga dia pikir tidak masalah berjalan menunduk. Dia mendongak dan tampaklah pria tinggi yang ditabrak ia, tepatnya ditabrak payungnya karena ia terhalang payung yang cukup lebar itu. Pria dengan mata kehijauan didepannya tengah menunduk menatapnya tajam sementara dia mendongak menatap pria berjas hitam itu dengan tanpa sadar bahwa air matanya masih mengalir. "Kelihatannya matamu baik-baik aja. Gimana bisa kamu nabrak orang sembarangan. Atau ... matamu itu hanya hiasan yang tidak ada gunanya? Dasar gadis bodoh!" Della membelalakkan mata mendengar kata-k********r pria di depannya. Dia menghembuskan napas pelan berusaha untuk tidak terpancing emosi karena ia tidak pernah berkata kasar pada orang lain. "Maaf." Hanya kata itu yang Della ucapkan sebelum melanjutkan langkahnya pulang dan meninggalkan pria itu yang masih menatapnya tajam. Lagipula, kenapa ia bisa sesial ini, sih? Kenapa bisa seceroboh ini dengan menabrak orang galak yang kelihatan arogan itu? Ah, ini gara-gara pikirannya yang tidak fokus. Beberapa puluh menit kemudian, ia sampai di rumah. Tapi aneh, rumahnya kelihatan sepi. Padahal biasanya Bunda dan Vino selalu berada di ruang tamu dan menunggunya pulang. Atau mungkin mereka saat ini sedang pergi? Tapi ke mana, malam-malam begini? Kenapa tidak mengabari juga? Ah, mungkin saja mereka sudah tidur. Jadi dia memutuskan untuk mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Ia mencoba mengetuknya lagi. "Bunda!" Tidak ada jawaban. "Bunda!" Rumah itu tetap hening. "Bunda, Della pulang!" Kali ini lebih keras tapi hasilnya sama saja dan tidak ada sahutan satu pun. Della mengambil ponsel dari dalam tas selempang nya dan menghubungi nomor Riana. Nomor telepon bundanya tidak aktif. Bagaimana ini? "Mbak Della, baru pulang ya?" Della menoleh. Satpam kompleks entah sejak kapan sudah berada di belakangnya. "I-iya Pak. Saya udah ketuk pintu dari tadi belum ada yang bukain," jawab Della sopan. "Bu Riana kan nggak ada di rumah, Mbak. Lho Mbak Della belum dikabarin ya?" "Nggak di. rumah? Ke mana? Saya nggak dapat kabar, Pak." Della mulai khawatir. "Kan ke rumah sakit bawa adiknya Mbak Della." Della terkejut. Rumah sakit? "Vino tadi pagi baik-baik aja," gumam Della. "Mas Vino kan baru aja ketabrak mobil." Hah? Ditabrak? Maksudnya?! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD