🗣️ D u a

867 Words
Aku turun dari tangga sambil menatap lurus ke arah kamar Pak Prima yang berada di sebelah pintu masuk. Posisi kamar pria itu memang atas bawah dengan kamarku. Aku berada di lantai atas, sedangkan dia di lantai bawah. Dari sini keliatan pintu kamarnya tertutup. Mungkin aja dia sudah tertidur, soalnya sekarang sudah jam setengah dua belas malam. Ya, bagus sih kalau dia sudah tidur, setidaknya ketenanganku malam ini enggak ada yang ganggu. Aku meneruskan langkahku bergegas ke dapur. Belum juga sampai di sana, langkahku mendadak terhenti. Pak Prima sedang berdiri di depan kompor lengkap dengan celemek di di tubuhnya. Dia serius sekali, enggak tahu sedang masak apa. Dengan penasaran aku semakin mendekat lalu duduk di kursi dekat dapur. "Jangan diberantakan ya. Ini dapur aku," ucapku yang langsung membuat dia membalikkan tubuhnya ke arahku "Sebelum saya pakai, dapur kamu sudah berantakan," Pak Prima menunjukkan kanebo basah di tangannya, "ini saya bantu bersihkan." Aku langsung melongo. "Saya mau merebus jahe, tapi agak jijik setelah melihat dapurnya kotor dan berantakan. Makanya saya bersihkan dulu sebelum saya pakai." Sok higienis banget. "Kalau enggak mau pakai, ga usah menghina. Pakai bilang jijik." "Mau, mau pakai. Makanya ini saya berusaha bersihkan." Aku memilih diam lalu menatap ke arahnya yang sedang membersihkan dapurku dengan sangat apik dan telaten. Sampai mejanya dia lap tiga kali. Aku aja setiap sehabis masak, meja kompor enggak aku lap. Biarin aja kotor, nanti dibersihkannya sekalian. "Mau minum air jahe aja saya harus bersih-bersih dulu." Ngeluh dia, padahal dia yang mau sendiri. "Enggak ada yang nyuruh," ucapku cepat. "Emang enggak ada, tapi ini demi kebaikan dan kesehatan saya." Aku mendengus kesal kemudian berbalik badan dan bergegas menuju lantai atas. Enggak jadi makanlah aku, enggak mood. Mau langsung tidur aja. Baru saja dua langkah, suara Pak Prima menginterupsi. "Jadi kamu mau apa ke sini?" "Rumah ayah aku. Aku bebas mau ke mana aja," jawabku tanpa berbalik. "Yaudah. Asal jangan ke kamar saya aja." Ngasal banget. Siapa juga yang mau ke kamarnya. °•° Saat tiba di meja makan, aku langsung mendengus kesal. Soalnya di sana sudah ada Pak Prima dan Ayah yang sedang makan bersama. "Iya, Pak. Batu akik model begitu emang agak sulit nyarinya, tapi saya punya kenalan kolektor batu akik. Kalau bapak mau, saya bisa bantu kontak dia." "Mau sekali. Tolong carikan ya. Kalau dapat sebagai ucapan terima kasih, setiap hari saya belikan nasi uduk." "Siap, Pak." Ayah menepuk bahu Pak Prima pelan lantas melirik ke arah piring pria itu. "Makan lagi, makan." Pak Prima mengangguk lantas dia mengambil sesendok nasi uduk lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Pagi-pagi topiknya udah batu akik. Haduh. Aku duduk tepat di depan Ayah, dua pria di hadapanku kini menoleh. Ayah langsung mendekatkan piring berisi nasi uduk ke arahku, sedangkan Pak Prima menatapku dengan wajah datar. "Ini makan. Temani Mas Prima ya, Ayah mau kasih makan ikan dulu." Aku hanya bergumam setelah itu Ayah meninggalkan aku dan Pak Prima berdua di meja makan. "Belum mandi?" Aku membuka karet bungkusan nasi lantas menggeleng. "Belum." "Jorok." "Biarin." "Satu jam lagi kelas saya dimulai. Kalau kamu telat, enggak boleh masuk. Enggak ada toleransi." "Ya tahu, biasanya juga begitu. Aku pastikan, sebelum Bapak pergi ke kampus. Aku udah sampai di sana." "Kamu aja lelet. Mandi belum. Siap-siap belum." Aku diam aja deh. Memilih meneruskan kegiatan sarapan ini dengan hening. Lima menit kemudian, Pak Prima selesai dengan kegiatan sarapannya. Dia berjalan ke kamarnya. Kayanya dia lagi mau siap-siap. Aku lumayan agak panik sih, soalnya takut beneran telat. Aku berusaha tenang, menyelesaikan kegiatanku dengan cepat lantas bergegas ke kamarku. Namun, begitu melihat ke arah rak dinding langkahku tiba-tiba berhenti. Ada kunci mobil asing di sana. Bukan kunci mobil Ayah. Bukan juga kunci mobilku, soalnya aku kan enggak punya mobil. Mataku menyipit dan mendekat ke arah benda itu. Senyumku langsung melebar saat melihat ada tulisan Fortuner di sana. Otak jahatku langsung bekerja, aku mengambil kunci mobil ini dan membawanya ke kamarku. Dapat dipastikan bahwa aku yang lebih dahulu sampai ke kelas, sedangkan Pak Prima pasti telat. Dia enggak punya kendaraan lain selain mobil ini, mau naik kendaraan umum pun sulit. Rasain, rasain. Siapa suruh pagi-pagi bikin kesel. Dan apa yang aku pikirkan benar-benar terjadi. Aku tiba di kampus lebih dahulu, sedangkan Pak Prima telat. Ini adalah pertama kalinya pria itu telat. Aku menyapu pandangan menatap ke arah teman-temanku, dari wajah-wajahnya terlihat bahwa mereka mengharapkan kehadiran dosen tercinta itu. Aku terkekeh dalam hati, enggak tahu aja kalau penyebab Pak Prima telat adalah aku. Satu jam kemudian, Pak Prima datang ke kelas. Dia minta maaf karena ada kendala yang menyebabkan dia telat. Untuk aja dia enggak nge-spill siapa dalang penyebabnya. Kalau dia nge-spill, wah auto langsung dimusuhin satu kelas aku. Pandangan aku dan pria itu sempat berpapasan, dia datar aja. Aku tahu dia marah, tapi dia benar-benar bisa professional. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sedang marah saat mengajar. Dia mengajar seperti biasa. Jam mata kuliah berakhir, aku buru-buru mengambil tas dan bergegas pergi. Aku berjalan cepat berusaha menghindari Pak Prima. "Nakal kamu," suara yang begitu aku kenal terdengar dari arah belakang. Aku semakin mempercepat langkahku, tetapi pria itu ikut berjalan cepat dan dia berhenti tepat di hadapanku. Aku diam menatapnya panik. "Nanti saya bilangin ke Ayah." Aku langsung menggeleng cepat. Aaaaaa, jangan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD