Aku diomelin Ayah.
Benar-benar diomelin.
Aku dibilang enggak ramah, enggak punya sopan santun, kurang ajar, dan kata-kata negatif lainnya. Ayah tuh kalau udah marah, omongannya suka nyakitin. Enggak mikirin perasaan anaknya.
Aku mengusap air mataku lantas mengambil kunci mobil milik Pak Prima dan berjalan menuju ke kamarnya. Aku mau balikin sekarang. Kalau nanti-nanti takut diomelin Ayah lagi. Enggak kuat aku kena omel terus.
Aku mengetuk pintu kamar Pak Prima, baru kedua ketukan pintu itu langsung terbuka. Pak Prima di sana, terdiam, menatap kedua mataku dengan heran. "Ini, Pak. Maaf ya. Maaf kalau aku enggak ramah," ucapku sambil mengembalikan kunci mobilnya.
Dia mengambil kunci itu lantas menatapku lekat. "Nangis?"
Mataku kembali berkaca-kaca, aku menggeleng sambil mengelap sudut mataku. "Enggak," ucapku berbohong. Kayanya emang keliatan banget kalau aku bohong soalnya air mata enggak berhenti keluar.
Mata pria itu menatapku sendu. "Gara-gara dimarahin Ayah ya?"
Aku mengangguk. "Tapi, gapapa. Aman, aman," jawabku dengan serak.
"Key," panggil pria itu.
Dari matanya keliatan banget dia merasa bersalah. Iyalah, emang udah seharusnya ngerasa bersalah. Aku diomelin Ayah karena dia ngadu-ngadu. Coba kalau dia enggak ngadu, pasti aku enggak nangis-nangis kaya gini.
"Gapapa, aku balik ke kamar," ucapku lantas memutar balikkan tubuhku dan berjalan cepat kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar, aku mengurung diri. Enggak keluar-keluar kamar. Enggak makan malam. Biarin aja, pokoknya aku ngambek. Biar Ayah mikir, kalau apa yang dia ucapkan tadi menyakiti perasaanku.
Saat aku sedang memainkan laptopku, ponselku berdering. Ada nomor tidak dikenal mengirim pesan melalui w******p.
0812999XXXX
Turun, Key
Pasti itu Pak Prima. Entah dia dapat nomorku dari mana. Dari teman kelas atau grup kelas atau dari Ayah. Bodo amat enggak peduli.
Anda
G
0812999XXXX
Ngambek?
Anda
Gtau
0812999XXXX
Mau apa?
Anda
G mau ap2
0812999XXXX
Sbg permintaan maaf dr saya
Anda
Ksh aku nilai A+ dimatkul bpk
0812999XXXX
Kalo gtu,
mending km ngambek aja
Setelah itu, dia enggak mengirimkan pesan lagi.
Tahi emang.
Berjam-jam berlalu sampai akhirnya jam sepuluh malam, perutku enggak bisa diajak kompromi lagi. Aku lapar sampai lemas. Enggak bisa ditoleransi, saat ini aku harus keluar dari kamar dan mengambil atau memasak makanan di dapur.
Aku menuruni tangga super pelan. Setapak demi setapak aku lewati dan akhirnya sampailah di lantai bawah. Pintu kamar Pak Prima terbuka, aku jadi berdebar-debar dia pasti ada di sekitar sini.
Dan benar saja, begitu aku melirik ke arah dapur. Pria itu sedang memainkam laptopnya di meja makan. Aku ingin mengurungkan niatku untuk ke dapur, tapi aku benar-benar lapar.
Aku menarik napas sebelum akhirnya berjalan ke arah dapur. Pak Prima melirik lantas senyum miringnya terbit. "Saya sudah duga. Kamu pasti akan turun juga."
Aku diam aja. Bodo amat mau ngomong apa. Aku memilih membuka kulkas dan mengambil sebungkus mie instan dari dalam sana.
"Jangan makan mie."
"Bawel!" ucapku cepat, aku melemparkan tatapan tajam ke arahnya, "diam! Diam! Aku lagi emosi!"
Pak Prima terdiam.
Aku menyelesaikan kegiatan masak ini dengan memakai kecepatan tinggi. Saking terburu-burunya tanganku sampai terkena panci. "Aw!" pekikku refleks.
Sebelah tanganku mematikan kompor lalu aku menatap keadaan tanganku. Memerah. Kalau dipegang rasanya agak sakit. Haduh, gimana nih. Biasanya ditolongin sama Ayah, tapi sekarang kan aku lagi ngambek.
Begitu tersadar ada Pak Prima di sini, aku langsung menoleh ke arahnya. Dia masih memainkan laptopnya dengan tenang. Seolah dia enggak tahu kalau aku sedang cidera.
"Pak!" panggilku yang mampu membuat dia menoleh, "enggak ada simpatinya banget."
"Apa?"
Aku menunjukkan tanganku yang memerah. "Sakit."
"Urus sendiri. Saya disuruh diam."
"Bapak," ucapku merengek.
"Terus harus ngapain?"
"Obatin."
Pak Prima menarikku tubuhku pelan sehingga saat ini kami saling berhadapan, dia mengambil air liur dari mulutnya dan mengusapkannya di tanganku.
Aku terkaget-kaget.
Tanganku diludahin.
Parah banget, kacau, kacau. Manusia ini lebih tidak ramah. Tidak sopan. Tidak punya sopan santun. Seharusnya Ayah omelin dia juga.
"Bapak! Aku geli!" teriakku saat Pak Prima ingin kembali mengusapkan air liurnya ke tanganku.
"Ini obat."
"Enggak higienis. Bintang satu," ucapku sebelumnya akhirnya berjalan cepat ke arah kran. Aku mencuci air liur itu.
Nyesel banget minta tolong sama dia.
Enggak lagi-lagi dah.
Bersambung