Hari ini aku hanya ada satu mata kuliah pagi. Dari semalam aku sudah membayangkan setelah pulang dari kampus aku ingin istirahat sampai sore dan malamnya aku akan pergi dengan Kania—temanku—untuk menonton bioskop bersama.
Namun, baru saja aku pulang dan masuk ke dalam gerbang rumah, Pak Prima langsung menyuruhku untuk membersihkan halaman.
"Di kampus, Bapak nyuruh saya terus. Sampai di rumah juga masih nyuruh-nyuruh," teriakku tepat di depan wajah Prima.
Pria menunjuk ke arah halaman rumah. "Itu kotor. Kamu kan enggak ada kelas lagi. Mending itu dibersihkan."
Aku menghentak-hentakkan kakiku. "Biarin aja! Biarin! Rumah juga rumah Ayah aku. Bapak kan cuma ngekos di sini. Jadi jangan ribet!"
Pak Prima terdiam sampai akhirnya ayahku angkat bicara. "Selagi baik. Ikuti aja, Key."
"Ayah," ucapku merengek.
"Ikutin aja."
Semenjak disuap sama batu akik, Ayah jadi selalu membela Pak Prima kalau kami sedang bertengkar.
Aku meletakkan tasku asal kemudian mengambil dua sapu. "Berdua," ucapku sambil menyerahkan satu sapu ke Pak Prima, "nyapunya berdua. Kerja sama kan kita? Aku bukan babu jadi enggak mau ngerjain sendirian."
Pak Prima tidak menjawab dia langsung mengambil sapu itu dari tanganku dan kami sama-sama menyapu halaman ini. "Nyapu itu yang benar, Keyra."
"Benar kok."
Pak Prima menunjuk ke arah depan. "Kotor itu. Kalau nyapu yang bersih, mau dapat suami bewokan kamu?"
Aku diam aja.
Malas meladeni.
Aku mau menghemat energi.
"Keyra, revisi laporan yang kemarin saya minta kenapa belum dikumpulkan?"
Aku menyapu pandanganku ke berbagai sudut. Aman, sudah enggak ada Ayah. Setidaknya kalau aku bertengkar dengan Pak Prima, Ayah enggak mungkin angkat bicara untuk membela pria itu.
"Bacot, Pak, bacot."
"Hey, ngomongnya."
"Deadline-nya siang ini ya," ucap Pak Prima mengingatkan.
Aku bergumam.
"Jam dua belas," lanjutnya lagi.
Dengan gerakkan cepat, aku langsung melirik ke arah jam tanganku. Sekarang sudah jam sebelas lewat yang berarti enggak sampai satu jam lagi sisa waktu aku untuk mengerjakan.
Aku melempar sapu itu dengan asal kemudian berjalan ke arah dalam rumah. "Yaudah, aku mau kerjain tugas. Bapak nyapu sendiri."
"Keyra," baru saja tiga langkah, suara itu membuat aku terdiam lalu menoleh ke arah sumber suara, "semangat," ucapnya dengan nada yang meledek.
Aku bergumam lalu melanjutkan langkahku.
"Kalau butuh apa-apa, saya di kamar."
Aku diam sambil terus melangkah.
"Kamu boleh masuk. Boleh juga kerjain bareng."
Aku menarik napas sebelum akhirnya berbalik badan ke arahnya. "Aku aduin ke Ayah ya? Pak Prima ngajak aku berduaan di kamar," ancamku.
"Piktor kamu. Pikirannya kotor."
Dih.
"Kerjain bareng di luar kamar. Kita enggak mungkin berdua di kamar. Takutnya kamu nyerang saya, kan bahaya. Apalagi kalau ke gap Ayah, bisa-bisa Ayah langsung minta saya nikahin kamu saat itu juga."
"Berisik, berisik," ucapku lantas berjalan lebih cepat masuk ke dalam rumah.
Aku menutup pintu kamarku dengan cepat kemudian membuka laptop dan mengerjakan revisi yang Pak Prima berikan. Pria itu meminta seluruh perhitungan data diulang. Jujur, aku enggak ngerti. Perhitungan ini aja aku menyontek sama teman aku. Kalau disuruh menghitung ulang, so pasti aku enggak bisa.
Aku melirik ke arah jam di layar laptop, setengah jam lagi jam dua belas. Namun, aku sama sekali belum mengerjakan. Aku menarik napas, menutup laptopku lantas bergegas menemui Pak Prima.
Agak malas sebenarnya, tapi aku butuh.
Pak Prima saat ini sedang di sofa ruang tamu. Bohong dia, katanya tadi dia ada di kamar, tapi nyatanya di sini.
"Kenapa?"
Aku menampilkan wajah memelas. "Ga ngerti perhitungan datanya."
"Belajar."
"Ya ini mau minta ajarin."
"Saya ngajar di sekolah, bukan di rumah."
Ish, mengandung t**i kali ya ini manusia.
"Pak, serius."
"Serius. Kamu kan enggak homeschooling."
Aku menarik napas berkali-kali, berusaha meredam emosi yang meradang. Melihat aku yang seperti ini Pak Prima langsung terkekeh pelan. Dia menggeser duduknya memberi ruang untuk aku duduk di sebelahnya.
Saat aku ingin berjalan ke sana, kaki aku tersangkut meja. Aku enggak bisa mempertahankan keseimbanganku plus aku berusaha menjaga laptop yang sedang aku bawa sehingga aku memilih membuang tubuhku ke arah sofa. Dengan sigap Pak Prima menangkapku dan terjadilah posisi menegangkan saat ini.
Pak Prima berada di bawahku. Tangannya melingkar di pinggangku. Dan aku berada di atasnya.
Kami sempat membeku beberapa detik sebelum tersadarkan dengan suara teriakan Ayah.
"Ya ampun, anak gadis Ayah."
Ayah langsung menarik tanganku sehingga aku menjauh dari tubuh Pak Prima. Ayah menatapku dengan tatapan geram. "Agresif sekali kamu. Jangan begitu. Malu-maluin."
Aku mengusap wajahku sambil menarik napas pelan.
Bisa-bisanya aku dituduh agresif padahal kayanya Pak Prima menikmati juga.
Buktinya dia enggak mendorongku dari atas tubuhnya.
"Kamu kan perempuan. Enggak pantas begitu. Dosa, Key, dosa," ucap Ayah lagi.
Aku langsung melirik ke arah Pak Prima. Dia masih menatapku tanpa bersuara. "Aku enggak sengaja. Maaf. Lagian Pak Prima kayanya juga menikmati, iya kan?"
Ayah langsung menggeleng-geleng mendengar ucapanku.
"Habis makan apa kamu?" aku mengerutkan kening saat mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Pak Prima.
"Emangnya kenapa?"
"Lain kali, sikat gigi yang bersih. Saya sampai membeku menghirup aromanya."
Aku berbalik badan kemudian langsung berlari menuju ke kamar.
Enggak jadi nanya perhitungan.
Soalnya, plot twistnya memalukan.