🗣️ L i m a

1130 Words
Rencananya malam ini aku mau pergi sama Kania, temanku. Namun, dia mendadak ada urusan lain sehingga rencana kami gagal. "Ayah," ucapku sambil mendekati Ayah yang sedang duduk di kursi taman. Aku mengambil ponselku lantas memberikan gambar poster film yang aku ingin tonton. "Mau nonton. Aku nungguin udah hampir setahun, akhirnya film ini keluar di bioskop." "Sama siapa?" "Niatnya sama Kania, tapi dia mendadak enggak bisa." "Yaudah, ga usah nonton. Atau nonton di rumah aja, tunggu streamingnya." Aku menggeleng lantas memberikan tatapan penuh harap. "Mau nonton sendiri. Boleh ya?" "Enggak." "Kalau nonton berdua Ayah?" "Ayah enggak suka nonton bioskop." "Ayah, aku nonton sendiri aja, boleh ya?" tanyaku dengan memasang puppy eyes. "Bahaya pergi-pergi sendiri. Mau ngapain kamu nonton film sendirian? Digodain om-om nanti. Banyak orang jahat." Begitu mendengar itu sontak tubuhku memanas. "Ayah mengekang aku. Aku udah dua puluh tahun. Udah dewasa. Masa masih enggak boleh pergi sendiri. Aku cuma boleh pergi sendirian ke kampus, emang kehidupan aku cuma rumah dan kampus doang," ucapku cepat. "Dunia luar jahat. Kamu perempuan." "Semua ini karena kematian Bunda kan? Ayah belum bisa move on. Ayah terlalu mengekang aku," ucapku kencang. "Kamu perempuan, Ayah berusaha menjaga kamu!" bentak Ayah. "Kalau Ayah menganggap semua orang jahat, kalau Ayah berusaha menjaga aku," aku terdiam mengatur napasku yang tidak beraturan, "seharusnya Ayah enggak membiarkan pria asing tinggal di rumah kita!" teriakku sebelum akhirnya berlari keluar rumah. Aku mengambil kunci motorku lantas mengendarainya keluar. Enggak tahu tujuannya ke mana. Yang penting aku keluar dulu. Ini emang hal sepele, tapi ini adalah puncak dari emosi yang sering kali aku pendam. Aku pengen banget merasakan apa itu kebebasan. Aku ingin seperti teman-temanku yang bisa pergi-pergi sendiri. Dulu saat masih ada Bunda, Ayah enggak begitu over protective. Dia masih memberikan aku kebebasan, bahkan untuk menginap di luar kota pun aku boleh. Semenjak Bunda meninggal, Ayah berubah seperti ini. Bunda mengalami kejadian yang tragis. Kala itu Bunda sendirian mengendarai mobil menuju ke rumah Nenek yang berada di luar kota. Ditengah perjalanan mobilnya dihadang oleh beberapa orang perampok. Bunda meninggal dunia ditangan mereka. Ya, selain mengambil mobil kami, perampok itu juga merenggut nyawa Bunda. Aku sangat berduka, tapi seiring berjalannya waktu aku mulai beradaptasi dan juga menerima keadaan. Untuk Ayah, kejadian ini sangat mengubah perspektifnya tentang dunia. Menurutnya kejahatan ada dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, demi tidak mengulang kejadian yang sama, Ayah sangat menjaga anak-anaknya khususnya aku dari dunia yang katanya tidak ramah. Aku menghapus air mataku untuk sekian kalinya. Tiba-tiba aku merasa haus. Aku membelokkan motorku dan berhenti tepat di minimarket. Aku masuk ke dalam sana lantas membeli sebotol air mineral. Kemudian setelah itu aku keluar dan duduk di kursi depan minimarket. Mataku menatap lurus ke arah depan terlihat sebuah mobil Fortuner yang tidak asing lagi bagiku. Ditambah lagi saat aku melihat plat kendaraannya, sudah hafal sekali. Itu punya Pak Prima. Kayanya dia disuruh Ayah buat menyusulku. Takut banget kan Ayah kalau anak gadisnya pergi malam-malam. Atau mungkin emang inisiatif pria itu ingin menyusulku. Entahlah yang jelas saat ini aku benar-benar butuh ditenangkan. Pak Prima mendekatiku, dia berjongkok di hadapanku sehingga saat ini tinggi kami setara. Pria itu menatap kedua mataku secara bergantian sebelum akhirnya dia tersenyum kecil. "Masih mau nangis?" Pertanyaan seperti itu membuat mataku kembali berkaca-kaca. Seolah mengerti dengan reaksiku, Pak Prima langsung menarik tanganku dan membawanya ke dalam mobil. Setibanya di sana, tangisku semakin kencang. "Aku mau kaya anak-anak lain. Aku mau kaya Abang yang bisa bebas kuliah di luar kota. Ayah terlalu mengekang aku, dia enggak ngertiin aku." Tangan Pak Prima bergerak mengusap air mataku yang terjatuh. "Aku cuma minta pergi ke mal sendiri. Cuma mau nonton. Enggak aneh-aneh. Aku enggak punya teman yang bisa diandalkan. Aku enggak punya pasangan. Abang-abang aku udah jauh. Aku enggak punya teman buat having fun, Pak." Pak Prima mengangguk seolah dia merespons ucapanku. "Ayah enggak ngertiin aku. Aku udah besar. Aku juga enggak bandel," aku menatapnya, "aku enggak bandel, Pak. Aku bisa jaga diri, tapi Ayah enggak pernah percaya sama aku." Air mataku kembali deras. Tiba-tiba tanpa disangka Pak Prima menarikku ke dalam pelukannya. Aku menangis sesenggukan di sana. Nangis sekencang-kencangnya biar perasaan-perasaan negatifku segera menguap. Pak Prima tidak mengucapkan kalimat-kalimat yang menenangkan, tapi pelukan dan elusan tangannya di punggungku benar-benar cukup membuat aku tenang. Sampai akhirnya aku yang masih berada di pelukannya mendongkak sehingga tatapan mata kami saling beradu. "Pak," panggilku. "Ya?" Napas kami begitu dekat sampai aku bisa merasakan aroma mint dari mulutnya. "Aku habis makan coklat. Emang iya mulut aku bau?" "Iya, bau coklat." "Bukan bau mulut kan?" Tiba-tiba dia menarik napas dalam kemudian menggeleng. "Bukan. Sudah dua kali saya pastikan." Aku tersenyum dan tidak lama kemudian Pak Prima juga ikut tersenyum. Lama kami berada dalam posisi seperti ini sampai akhirnya aku yang lebih dahulu melepaskan pelukannya. "Aku enggak mau pulang. Enggak mau ketemu Ayah." "Pulang, Key. Ayah pasti khawatir." Aku menghentak-hentakkan kakiku. "Mau keliling kota aja. Atau ke kedai kopi. Atau ke mana kek." "Sebentar." Pak Prima mengambil ponselnya lantas menghubungi Ayah. Ponsel pria itu terhubung dengan bluetooth mobil sehingga aku bisa mendengar percakapan mereka. "Halo, Pak. Tadi saya nyusulin Keyra, sekarang dia lagi sama saya. Dia enggak mau pulang, Pak. Boleh nggak kalau saya ajak jalan-jalan dulu?" ucap Pak Prima saat di telepon. "Ajak aja ajak. Tenangin dia." "Baik, Pak. Saya usahakan dua jam lagi sudah sampai ke rumah." "Iya. Tolong jaga dia ya." "Pasti," ucap Pak Prima setelah itu sambungan telepon terputus. Pak Prima mengambil sesuatu dari belakang mobilnya kemudian dia berikan ke arahku. "Apaan ini?" "Laptop," ucapnya sambil menyalakan mesin mobilnya. "Buat?" Pak Prima melirik sebentar lalu dia menjalankan mobilnya keluar dari tempat ini. "Kita ke kedai kopi. Laporan praktikum kamu belum selesai kan? Kerjain sekarang. Saya kasih toleransi waktu." Please, aku lagi butuh jalan-jalan. Bukan jalan-jalan sambil ngerjain tugas. Teruntuk yang mau baca cepat, aku udah publish satu buku full di k********a. Pembelian juga dapat melalui WA (085810258853) Terdiri dari: Full E-book (Lengkap) Total 71 Part ; 329 Halaman Hanya dengan Rp56.000 kalian bisa akses semua itu, tanpa menunggu. Cara Pembelian: 1. Masuk ke aplikasi k********a bisa melalui web atau aplikasi. 2. Cari nama kreator (TheDarkNight_) dan cari judul karya (Full _ Ebook _ My Lecture My Housemate _ TheDarkNight_) 3. Setelah ketemu, scroll ke bawah sampai menemukan harga jual karya tersebut. Harganya Rp56.000. 4. Ubah harga jika kamu ingin memberi apresiasi lebih. Pilih metode pembayaran: GoPay, OVO, Shopeepay, Indomart, Alfamart, atau transfer bank. 5. Ikuti petunjuk pembayaran (lihat bagian-bagian yang menerangkan pembayaran dengan Gopay, OVO, Virtual Account BNI, dan Pembayaran QR). 6. Kembali ke laman k********a dan ke karya tadi. Pastikan kamu sudah login, ya. Kalau transaksi sudah berhasil, Karya yang sebelumnya bertuliskan "terkunci" akan ganti jadi "terbuka". Jika ada pertanyaan boleh chat admin aku 085810258853 Pembelian juga dapat melalui WA (085810258853)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD