Bab 1

3042 Words
"Vivi nanti kalo dewasa harus nikah sama Bara ya? Nggak boleh sama yang lain!" Gadis kecil dengan rambut hitamnya yang dikepang dua itu hanya mengangguk. Dia masih asyik menikmati es krim di tangannya yang sudah meleleh. "Pokoknya harus sama Bara!" Bocah laki-laki berusia lima tahun kembali berseru dengan kata-kata penuh penekanan. Namun si gadis kecil tetap saja menanggapinya dengan anggukan, membuat bocah laki-laki itu berdecak kesal. Dia paling tidak suka kalau tidak ditanggapi, dan gadis kecil di depannya ini melakukan hal itu. "Vivi dengar nggak sih?" Si gadis kecil akhirnya mengangkat kepala mendengar pertanyaan bernada tinggi itu. Vivian Anatari, gadis kecil berkepang dua itu, menatap bocah kecil pemaksa yang duduk di sebelahnya dengan alis berkerut. "Dengal, kok," jawab Vivi sambil mengangguk. "Vivi dengal, Bala." Bara tersenyum. Mengulurkan jari kelingking kanannya, meminta untuk berjanji. Vivi juga tersenyum lebar, melakukan hal yang sama seperti Bara, mengait jari kelingking bocah itu. Pinky promise. "Kita janji ya kalo besar nanti menikah." Vivi mengangguk. "Iya!" . . . . . Bara meringis kalau teringat peristiwa itu, kejadian dua puluh tahun yang lalu. Dia memang selalu pemaksa kalau itu menyangkut Vivi. Bara tidak suka kalau ada yang mengganggu Vivi-nya. Semua itu berlaku sampai sekarang. Tak peduli semua orang menilainya pria posesif, dia akan menerimanya. Menjadi posesif tidak buruk. Menjadi posesif sangat menyenangkan. Sama menyenangkan dengan bermain drum. "Lagi ngapain sih?" Pertanyaan itu membuat Bara menoleh, kemudian tersenyum melihat siapa yang memasuki studio musiknya. Di rumah, Bara menyulap sebuah ruangan menjadi studio musik mini, tempat dia memainkan drum-nya. Bara adalah seorang drummer sebuah band indie. Untuk mengasah kemampuannya memainkan drum apalagi kalau band-nya akan manggung, Bara akan berlatih dulu di studio mini miliknya ini. "Lagi ingat masa kecil kita," jawab Bara. Tangannya terulur meraih perempuan berusia dua puluh tiga tahun, membawa tubuh mungil itu duduk di pangkuannya. Bara memeluk Vivi erat. Semuanya masih seperti mimpi baginya. Perpisahan mereka setelah mengucapkan janji itu karena orang tua Vivi dipindah tugaskan ke luar kota. Pertemuan mereka kembali yang terjadi hampir setahun yang lalu. Sampai saat pengucapan janji suci pernikahan mereka dua bulan yang lalu. Bara masih tak percaya kalau dia dan Vivi sekarang mengenakan cincin kawin yang sama. "Yang mana?" tanya Vivi dengan alis berkerut. Kenangan masa kecil mereka berdua lumayan banyak, dan dia tidak bisa mengingat semua itu satu-persatu. Bara mencubit hidung lancip perempuan yang sudah menjadi istrinya. "Pas kita janji mau nikah kalo udah gede," jawab Bara. Vivi mengangguk-angguk, dia juga ingat tentang janji itu. Begitu juga dengan paksaan yang selalu dilakukan Bara. "Yang kamu maksa aku buat janji itu kan?" sindir Vivi manis. "Aku masih ingat kok." Bara mengerang. "Yang bagian memaksanya jangan diingat dong, Honey. Malu-maluin." Vivi menggeleng. "Aku nggak malu tuh," jawabnya santai. "Kan aku nggak ngelakuin apa-apa." Vivi menaik-turunkan alis menggoda suaminya. Bara memang menyebalkan, posesif dan pemaksa. Namun Bara selalu menuruti apa pun keinginannya. Bukan hanya itu saja yang membuat Vivi menerima lamaran Bara. Kenyamanan dan kehangatan yang ditawarkan Bara membuatnya tak bisa menolak. Dia sudah terlanjur terbiasa dengan semua itu. Rasanya sangat tidak menyenangkan saat jauh dari Bara. Dia tidak ingin itu terjadi lagi. Bara membuang muka, menyembunyikan rona merah yang menjalari pipinya dari tatapan usil sang istri. Vivian Anatari memang selalu usil dan periang. Vivi selalu menaburkan keceriaan pada siapa saja dan di mana pun dia berada. Tak terkecuali pada dirinya. Bara tidak akan melupakan saat-saat tidak ada Vivi dalam hidupnya. Bagi Bara, itu adalah fase paling buruk dalam hidupnya. Sekarang mereka sudah sah dan menjadi pasangan halal. Tentu dia tidak akan pernah melepaskannya seumur hidup. Sesuatu yang didapatnya dengan susah payah, tidak akan dia lepaskan selamanya. Namun sepertinya Bara terlambat menyembunyikan, Vivi sudah keburu melihatnya. Tangan perempuan itu terangkat, membingkai wajah sang suami dan mengarahkan padanya, agar mereka beradu pandang. Vivi tersenyum manis. Seperti apa katanya tadi, Bara selalu menuruti keinginannya. Kali ini pun demikian. Tanpa penolakan Bara memalingkan wajah ke arahnya. Vivi mengusap pipi Bara, mengerutkan kening begitu merasakan kasar di telapak tangannya. "Kamu perlu bercukur, Hon," bisik Vivi tepat di depan bibir Bara. "Jambangnya udah mulai tumbuh." Bara tidak menjawab hanya mengangguk. Memutar tubuh Vivi sehingga istrinya duduk mengangkang di pangkuannya, mereka berhadapan sekarang. Tangan kanan Bara menarik tengkuk Vivi, menyatukan bibir mereka. Hanya beberapa detik, Bara memainkan ujung hidungnya dan ujung hidung sang istri begitu tautan bibir mereka terlepas. "Kayak biasa, ya, kamu yang cukurin?" Vivi menjauhkan wajah, pipi tembemnya menggembung tanda tidak setuju dengan permintaan Bara. Bukan karena apa-apa Vivi menolak, Bara tidak pernah bisa diam kalau dia yang mencukur. Selalu bergerak, Vivi takut melukai Bara. "Nggak mau! Kamu cukur sendiri aja!" Bara menggeleng. "Kalo nggak mau ya udah, nggak jadi dicukur. Biarin aja jambangnya tumbuh." Bara mulai mengancam. Dia paling tahu kalau Vivi sangat tidak suka dengan jambang, dan dia sangat mudah tumbuh jambang. Dalam sebulan bisa empat atau lima kali dia bercukur. Vivi biasanya akan luluh dan menurutinya kalau dia sudah mengancam seperti itu. Vivi memukul bahu Bara pelan. Pria itu sangat tahu kelemahannya. Dia sangat tidak suka melihat pipi Bara ditumbuhi jambang. Suaminya akan terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya kalau berewokan. Bara yang baru berusia dua puluh lima tahun akan tampak seperti seorang yang berusia tiga puluh tahun kalau pipinya ditumbuhi jambang. Bukan hanya itu alasan Vivi meminta Bara untuk selalu bercukur. Dia lebih suka melihat wajah suaminya bersih. Dia suka melihat rahang tegas suaminya. Sangat serasi dengan hidung mancung dan alis tebal yang dimiliki pria itu. Vivi juga sangat suka dengan mata hitam Bara. Mata seindah batu obsidian itu selalu menariknya ke dalam pusaran lorong waktu yang hanya dimiliki oleh seorang Aldebaran Samudra. Menurut Vivi, Bara terlihat seperti seorang penjahat kalau pipinya ditumbuhi jambang. "Mau nggak?" tanya Bara, sambil tangannya mengusap pipi yang cemberut. "Ngancamnya nggak elit banget!" sungut Vivi. "Pasti kayak gitu, nggak ada yang lain lagi apa?" tanyanya dengan bibir meruncing. Gemas, Bara mencubit bibir itu. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Nggak!" jawabnya. Vivi memicing menatap suaminya. Dia benar bukan kalau Bara itu menyebalkan? Selain pemaksa dan posesif Bara juga sangat suka mengancamnya. Vivi makin cemberut. "Nyebelin!" Bara tersenyum lebar penuh kemenangan. Kalau sudah seperti ini Vivi pasti mau menuruti untuk mencukur jambang yang mulai tumbuh di pipinya. "Nyebelin gini juga kamu sayang," balas Bara. Senyum lebar masih menghiasi wajah tampannya. Senyum yang membuat Vivi menambah volume pipinya. Senyum Bara memang membuat wajahnya yang biasa datar terlihat makin tampan, tetapi tetap menyebalkan di mata Vivi. Saat ini dia sangat tidak suka dengan senyum suaminya. "Kamu sayang aku kan, Hon?" tanya Bara lirih, tangannya masih mengusap pipi istrinya yang semakin terlihat bulat. Hal yang paling ditakutkan Bara adalah mendengar kata tidak dari mulut mungil istrinya. Tidak dapat dibayangkan hidupnya tanpa Vivi lagi. Bara akan hancur. "Jangan tinggalin aku ya? Kamu udah janji kan?" Vivi mengembuskan napas pelan melalui mulut, membuat pipinya mengempis tapi tetap berisi. Karena memang pada dasarnya pipinya tembem. Vivi tidak pernah merasa berkecil hati dengan pipi bulatnya. Orang-orang justru memuji karena menurut mereka, dia sangat manis dan lucu. Pipi tembemnya serasi dengan mata cokelat dan hidung serta bibir yang mungil. Ditambah poni tebal dan rata menggantung di dahi, membuat Vivi semakin terlihat menggemaskan. Bara juga selalu memujinya, dan bagi Vivi itu yang paling penting. Vivi mengangguk. "I love you," bisiknya. "Aku nggak cuma sayang sama kamu, tapi aku cinta sama kamu, Hon. Dari kita kecil." Senyum yang tadi sempat surut sekarang kembali terkembang di bibir penuh Bara. Kata-kata itulah yang paling disukainya. Kata-kata itu yang selalu ingin didengarnya dari mulut istrinya. Setiap hari, setiap saat, setiap menit, setiap detik dia tidak akan pernah bosan mendengarnya. Katakan saja dia terlalu bergantung pada Vivi, Bara tidak marah. Katakan saja dia bucin, dia juga tidak marah. Karena semua itu kenyataan. Bara tidak akan pernah bisa tanpa seorang Vivian Anatari. "Harusnya aku yang bilang itu kan?" tanya Bara dengan menaikkan sebelah alisnya. Vivi hanya menjawabnya dengan mengangkat bahu. "Yang bucin sama kamu sejak kita kecil kan aku, Hon." Vivi tertawa kecil mendengarnya. "Syukur deh kalo sadar diri," ucapnya sambil memainkan mata menggoda Bara. "Aku nggak malu kok, Hon." Bara tersenyum. "Kenyataannya emang kayak gitu kan? Aku yang selalu maksa kamu buat dekat sama aku. Aku sadar kok, makanya aku takut kamu ninggalin aku. Aku takut kamu terpaksa nerima lamaran aku, nikah sama aku...." Perkataan Bara terhenti. Vivi membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Sungguh, dia tidak suka Bara berkata seperti itu. Meskipun Bara selalu memaksa tetapi dia tidak pernah merasa terpaksa apalagi saat menerima lamaran dan menikah. Semua dilakukannya bukan karena paksaan Bara, tapi karena dia memang mencintai Bara. Mungkin Bara tergantung padanya, dia juga seperti itu. Dia sudah terbiasa dengan semua paksaan Bara, dengan sifat posesif dan mengancamnya. Dia tidak pernah keberatan, malah menikmati. Bara tidak akan melakukan semua itu kalau tidak mencintainya. Lagipula Bara tidak pernah tersenyum manis kecuali untuknya. Bara tidak pernah bersikap hangat kecuali padanya. "Aku sayang kamu sungguh-sungguh, Hon. Bukan karena kamu paksa atau apa, karena aku nggak pernah ngerasa terpaksa." Vivi menggeleng, masih menghujani bibir Bara dengan kecupan-kecupan kecil sesekali. "Aku suka kamu paksa, aku udah terbiasa sama itu. Kalo kamu dibilang bucin, aku juga." Vivi tersenyum malu-malu. Pipinya terasa memanas saat mengakui itu. "Pokoknya aku sayang kamu, dan itu bukan karena terpaksa!" Bara mengusap pipi istrinya, menarik tengkuk Vivi dan menyatukan kening mereka. Dadanya terasa menghangat mendengar kata-kata itu. Dia semakin yakin kalau Vivi memang mencintainya. Meski ragu itu tetap ada tapi Bara berusaha menepis. Vivi miliknya dan selamanya akan tetap menjadi miliknya. Mereka saling mencintai. "Nggak boleh ngomong kayak gitu lagi ya?" pinta Vivi lirih. Mata cokelatnya yang tadi terpejam sekarang terbuka. Menatap lurus ke dalam obsidian Bara yang juga sedang menatapnya. Vivi perlahan menjauhkan kepala. "Aku nggak suka!" Bara tersenyum manis, kepalanya bergerak ke atas dan ke bawah pelan. "Aku sayang kamu, Hon. Sayang banget!" Vivi memeluk Bara, meletakkan pipi di bahu lebar suaminya. "Please, jangan ragu sama aku. Aku nggak suka." Bara mengusap rambut sepunggung istrinya yang digerai. Sedikit terkejut karena Vivi seolah bisa membaca pikirannya. "Aku ragu karena paksaan itu, Hon," sahut Bara lirih. "Aku takut kamu cuma...." Lagi-lagi Vivi memotong perkataan Bara. Kali ini dengan mengurai pelukan mereka. Tatapan tajam dilayangkannya pada pria yang menikahinya dua bulan yang lalu itu. "Kan udah aku bilang jangan ngomong kayak gitu lagi, kok, masih?" Vivi cemberut lagi. "Sekali lagi ngomong kayak gitu, aku nggak mau masak ya!" Bara terkekeh. Gemas, Bara kembali mencubit pipi istrinya yang kembali menggembung. "Dih ngancemnya nggak elit banget!" Bara mengembalikan perkataan Vivi saat dia mengancamnya tadi. "Pake ancaman yang lebih elitan dikit dong!" Vivi memukul d**a Bara pelan. "Mau emang diancam lebih elit?" tanyanya. Bara diam, dia waspada pada senyum misterius Vivi yang menyertai pertanyaan tadi. "Diam berarti iya kan, Hon?" Vivi makin tersenyum lebar melihat was-was di mata suaminya. Bara meneguk ludah susah payah melihat senyum Vivi yang semakin lebar. Dia tidak berharap dugaannya benar. "Malam ini tidur di luar," bisik Vivi tepat di telinga Bara, kemudian terkikik geli setelah mengucapkan kata-kata itu. Bara mengerang. Dugaannya tidak salah. Vivi mengeluarkan ancaman paling mematikan. Tidak ada seorang suami pun yang mau tidur di luar kamar terpisah dengan istri, apalagi yang masih berstatus pengantin baru seperti mereka. "Nggak mau!" Bara menggeleng kuat. "Lho? Bukannya tadi kamu ya yang mau diancam lebih elit lagi?" Vivi makin tertawa melihat wajah tampan suaminya yang memucat. "Astaga, Hon, kamu harusnya liat wajah kamu deh. Pucat banget!" Tawa Vivi kembali pecah. Namun tak urung kedua tangannya memeluk sang suami dengan cepat membalas pelukannya. Bara masih menggeleng meski samar. Tidur terpisah dengan Vivi saja dia tidak sanggup apalagi kalau harus tanpa Vivi. Bara tidak bisa dan tidak sanggup membayangkannya. Bagi Bara, Vivi adalah segalanya. Dunia dan hidupnya. Tanpa Vivi dia tidak akan bisa apa-apa. Hidupnya hancur kalau sampai Vivi meninggalkannya. Sama seperti saat dia remaja. Bara mengerang mengingat masa remajanya yang jauh dari kata baik. Tawuran dan bolos sudah menjadi makanan sehari-harinya. Belum lagi predikat playboy dan dingin yang disandangnya. Yang sekarang semuamya sudah tidak berlaku lagi. Bara berubah seratus delapan puluh derajat setelah bertemu kembali dengan Vivi. Meski tetap dingin, Bara bukan lagi seorang playboy. Sikap hangatnya hanya berlaku untuk istri tercinta. Karena itu dia tidak akan melepaskan Vivi untuk selamanya. "I love you, wifey!" ucap Bara lirih. "Karena itu aku nggak bisa tanpa kamu...." "Cuma semalam aja masa nggak bisa?" tanya Vivi memotong perkataan suaminya. Terdapat kerutan di dahi putihnya ketika dia mengangkat alis. Bara menggeleng meski tak sekuat tadi. "Nggak bisa!" jawabnya tegas. Vivi memutar bola mata, tapi beberapa detik kemudian bibir mungilnya mengulas senyum. Vivi membentangkan kedua tangan, meminta pelukan yang langsung didapatkannya. "Aku juga nggak bisa nggak ada kamu, Hon," balas Vivi berbisik di ceruk leher suaminya. "I love you more, hubby!" Bara membalas pelukan Vivi dengan erat. Satu lagi yang membuat Bara tergila-gila pada istrinya, Vivi sangat suka membuatnya deg-degan kemudian menutupnya dengan manis. "Bisa nggak kamu nggak bikin aku takut, Hon?" tanya Bara mencium rambut halus istrinya yang wangi vanilla. Salah satu wangi favorit Bara dikarenakan wangi vanilla selalu menguar dari Vivi. Sejak mereka kecil aroma Vivi tidak berubah, tetap wangi vanilla. Vivi tidak merespons pertanyaan Bara. Terlalu malas untuk menjawab, Bara sudah tahu jawabannya tanpa dia harus bereaksi. Bara mendengkus kesal. Kalo seseorang diam tidak menjawab biasanya iya, tetapi Vivi sebaliknya. Diamnya Vivi berarti tidak. "Aku nggak mau terus sport jantung, Hon," erang Bara memelas. Vivi tetap tidak menjawab, dia hanya mengeratkan pelukannya. Bara makin gelisah, Vivi kemungkinan besar akan mengulangi perbuatannya. "Hon...." Vivi mengurai pelukan. Kedua tangannya membingkai pipi Bara, tak peduli bulu-bulu yang mulai tumbuh menusuk kulit telapak tangannya. Vivi menatap lurus ke dalam manik obsidian milik suaminya, sekali lagi dia terjatuh. Perlahan kepala Vivi bergerak ke atas ke bawah. Senyum manis mengembang di bibir Bara. Kembali dipeluknya tubuh mungil di pangkuannya erat, berkali-kali menciumi pucuk kepalanya. "Hon, kamu laper nggak?* tanya Vivi manja. Bara melirik bahunya di mana sang istri meletakkan pipinya di sana. "Lumayan," jawabnya. "Kamu laper?" balas Bara bertanya. Tangannya mengusap rambut Vivi. Vivi mengangguk, sikapnya masih manja. Membuat Bara gemas dengan tingkahnya itu. Kalau sudah manja seperti ini, pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh istrinya. "Mau makan sekarang?" tanya Bara lagi. Tak ada jawaban, Bara hanya merasakan anggukan di bahunya. Bara berdiri perlahan, tak ingin Vivi yang masih berada di pangkuannya terjatuh. Bara melangkah dengan Vivi yang berada di gendongannya. Bara menggendong istrinya yang manja itu di depan, seperti seekor induk koala, membawanya ke dapur. "Mau makan siang apa?" Bara mendudukkan Vivi di meja pantry. "Aku yang masak kan?" Vivi tersenyum lebar. Suaminya memang paling mengenal dan tahu keinginannya. "Apa aja yang penting kamu yang masak," jawab Vivi cepat. "Mie rebus mau?" tawar Bara. Dia terlalu malas untuk memasak siang ini. Omong-omong soal memasak, Bara memang menyukai hal satu itu sejak berusi remaja. Bukan karena dia tinggal di kost, Bara hanya melakukannya sebagai pengalih rasa rindunya pada Vivi, juga agar dia tidak terus-terusan ikut berkelahi. Dia memang sangat suka berkelahi saat itu tetapi tidak selalu. Bagaimanapun Bara masih menyayangi wajahnya. Dia tidak ingin wajah tampannya berubah saat dia bertemu Vivi. Vivi mengangguk. Makan apa pun siang ini baginya tidak masalah, selama Bara yang memasak. Dia terlalu malas untuk menyentuh alat-alat dan bahan-bahan makanan. "Tunggu bentar ya?" Vivi mengangguk lagi. Masih duduk di atas meja pantry mengamati suaminya yang dengan cekatan memasak mie rebus untuk mereka berdua. Untuk memasak, kemampuan Bara tidak perlu diragukan lagi. Sama seperti permainan drum-nya yang menurut Vivi sangat bagus. Karena bisa dan suka memasak, Bara membangun sebuah kafe di sebuah pusat perbelanjaan. Di kafe itulah mereka bertemu lagi setelah beberapa tahun berpisah. Vivi masih mengamati suaminya yang dengan cekatan menyiapkan makan siang mereka. Selang beberapa menit, mie rebus ala chef Bara sudah tersedia di meja makan. Bara menghampuri Vivi yang masih tak bergerak dari posisinya sejak beberapa menit yang lalu. Tepatnya sejak dia mulai merebus mie sampai sekarang mie itu sudah matang. Bara kembali menggendong Vivi saat istrinya itu kembali mengulurkan tangan. "Manja banget sih," komentar Bara sambil tangannya mengacak sayang pucuk kepala bersurai hitam Vivi. "Biarin!" sahut Vivi cuek. "Manja sama suami sendiri siapa yang bisa protes." Bara terkekeh, mengangguk dan mendudukkan Vivi di kursi makan di depan semangkuk besar mie rebus yang masih mengepulkan asap. "Jangan langsung dimakan mie-nya. Masih panas!" Bara memperingati. Vivi meringis. Mengurungkan niatnya yang ingin langsung melahap mie. Sekarang niat Vivi berubah. Dia meniup-niup kuah mie yang panas kemudian baru memasukkan mie ke dalam mulut. Bara tersenyum melihat istrinya yang makan dengan lahap. Sesekali Bara mengusap kuah mie yang tertinggal di sudut bibir Vivi. "Masih aja belepotan!" Bara berdecak. "Makan pelan-pelan, Hon. Jangan kayak anak kecil." Vivi mendelik tajam. Tangan kanannya yang memegang sumpit kembali turun. Vivi berdecak kesal. Dia paling tidak suka kalau disamakan dengan anak kecil. Bara mengangkat kedua tangan sebelum dia mendengar siraman kalbu dari Vivi yang akan panjang sepanjang jembatan Ampera. Meskipun dia memang bersalah karena sudah menyebut istrinya anak kecil. Makanya Bara mengalah. "Maaf, Hon." Bara meringis. "Aku nggak ngatain kamu anak kecil, cuma cara kamu makan aja yang kayak bocah." Vivi tetap cemberut. Dia sudah terlanjur kesal. Kata-kata anak kecil sangat terlarang baginya. Dia paling tidak suka disamakan apalagi disamakan dengan seorang bocah. Sudah cukup selama ini orang-orang menyebutnya anak kecil, hanya karena pipi gembil dan poni ratanya. Dia tidak ingin mendengar kata anak kecil lagi. Namun, meskipun begitu Vivi tetap melanjutkan makannya, dia lapar dan mie rebus buatan Bara sangat enak. "Istri Bara makin cemberut makin cantik ya?" goda Bara. Dia masih berusaha meredakan kekesalan Vivi. Vivi memutar bola mata. "Basi!" omelnya kesal. Bara tertawa kecil. Mengusap kuah mie yang tersisa di sudut bibir sang istri menggunakan ibu jarinya. "Mau aku suapin nggak, Hon?" tawar Bara. Biasanya ini selalu berhasil. Sejak kecil Vivi akan lahap kalau makan disuapinya. Bara mengira kebiasaan itu berubah karena perpisahan mereka, ternyata tidak. Vivi bahkan tidak segan-segan meminta disuapi dan itu sebelum mereka menikah. Seperti biasa, tawaran Bara yang satu ini tak pernah ditolak Vivi. Baginya makan disuapi Bara itu lebih enak ketimbang disuapi orang lain apalagi makan sendiri. Vivi mengangguk cepat. Bara berpindah duduk di sebelah Vivi, mengambil alih sumpit dari tangan Vivi dan mulai menyuapi istrinya itu. "Jadi sekarang kita baikan ya?" Vivi kembali mengangguk. Mengecup pipi Bara setelah mulutnya kosong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD