Bab 2

2047 Words
Bara terbangun karena merasakan kosong di sebelahnya. Tangannya meraba dengan mata yang masih terpejam. Yakin Vivi tidak berada di sampingnya lagi, mata hitam Bara langsung terbuka. Bara mengerang, matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Duduk perlahan, kemudian menurunkan kaki setelah menguap sekali lagi. Aroma sosis yang digoreng menusuk hidung membuat Bara yakin kalau Vivi tengah berada di dapur sekarang, sedang menyiapkan sarapan untuk mereka. Bergegas bara menuju kamar mandi. Minimal ia harus mencuci muka sebelum menemui istri cantiknya. Dugaan Bara tidak salah, ia melihat Vivi sedang berada di depan kompor saat tiba di dapur, dengan apron berwarna merah muda melilit tubuh bagian depannya. Apron itu favorit Vivi. Perlu waktu seharian mereka mencari apron itu, hampir seluruh toko dimasuki. Dia sangat mengingatnya. "Pagi, Honey." Bara memeluk Vivi dari belakang, melingkarkan lengan di perut rata sang istri. Dagunya menumpu di bahu Vivi yang terekspos. Bara mendengkus tak suka, Vivi mengenakan atasan model sabrina. Vivi berjengit, kaget dengan pelukan tiba-tiba Bara. "Pagi juga, Hon. Kirain belum bangun tadi." "Barusan bangun, nggak ada kamu." Bara memurukkan kepala di cerukan leher mulus itu. Menciuminya beberapa kali. Ia sangat menyukai wangi vanilla yang menguar dari Vivi. Di bagian leher wangi itu semakin kuat. Bara tidak berhenti sebelum Vivi menyentakkan bahunya. "Jangan ganggu aku lagi masak, deh, Hon!" belalak Vivi galak. "Mending kamu duduk atau ambilin piring buat sosis gorengnya." Namun, Bara tidak beranjak tetap di tempatnya semula. Lengannya pun masih melingkari perut Vivi. "Hon...." Vivi menoleh ke samping, ke arah bahunya di mana wajah Bara berada. Mengecup pipi itu kemudian mengernyit. "Kamu belum cukuran?" tanyanya. Tak ada jawaban, Bara hanya mengangguk. "Habis sarapan kamu harus cukur!" Bara kembali mengangguk, tak ada bantahan. Dia tak ingin mencari masalah. Kalau Vivi sudah memerintah seperti tadi, tak mungkin dia tidak menuruti kecuali ingin tidur di sofa atau di kamar tamu. Sungguh dia tidak menginginkannya. Dia tidak pernah bisa tidur tanpa Vivi di sampingnya. "Cukurin, ya, Hon?" pinta Bara memelas. Vivi memutar bola mata. Manja suaminya kumat, terpaksa dia harus mengangguk mengiakan. "Lepasin dulu tapi." Dengan sangat amat terpaksa Bara melepaskan pelukannya, setelah memberikan satu tanda ruam samar di leher mulus itu. Vivi berdecak, tapi tidak marah. "Ambilin piring, Hon!" pintanya. "Ntar sosisnya gosong." Bara tertawa, mengambil piring yang diminta dan memberikannya pada Vivi. "Kayaknya enak, deh, Hon, sarapan sosis gosong." Tawa masih mengalun dari mulut Bara, tapi tidak sekeras tadi. Hanya tawa kecil. "Kamu yang makan," sahut Vivi sambil meletakkan piring penuh dengan dosis goreng di meja pantry. Mereka lebih terbiasa makan di meja yang tidak seberapa besar itu daripada di meja makan. Mereka hanya berdua, meja makan terlalu besar menurut mereka. Jadilah setiap makan mereka selalu menggunakan meja pantry. Sekarang juga demikian. Bara mencomot sepotong sosis yang sudah agak dingin, menggigit ujungnya, mengarahkan sosis ke mulut Vivi. Vivi tertawa, membuka mulut dan menggigit ujung sosis yang disodorkan Bara. Tidak melepaskan sampai bibir mereka bertemu. Tangan Bara langsung menahan tengkuk Vivi dan melumat bibir manis itu lembut. Vivi memejamkan mata, menikmati sapuan lembut bibir Bara di bibirnya. Namun tak lama, Vivi mendorong d**a Bara melepaskan ciuman mereka. "Aku mau sarapan yang aku masak tadi, ya, Hon. Nggak mau sarapan bibir kamu, nggak kenyang!" Vivi mendengkus. Mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan seperti habis berlari jauh. Bara tertawa kecil. "Morning kiss, Hon," ucapnya mencubit hidung mancung istrinya. Vivi memutar bola mata, menjauhkan tangan Bara. "Ayo, sarapan!" ajaknya seraya menarik tangan Bara, mengajaknya duduk. Bara menuruti keinginan istrinya, duduk di kursi pantry, menarik Vivi untuk duduk di pangkuannya. Seperti kebiasaannya selama ini Vivi pasti minta disuapi. Hanya dengan disuapi Bara, Vivi mau makan dengan lahap. "Disuapin, kan?" tanya Bara. Vivi mengangguk cepat. Tersenyum lebar sampai-sampai matanya mengecil. Gemas, Bara mencubit pipi gembil sang istri pelan. "Kamu aku suapin juga, ya, Hon?" tanya Vivi setelah menelan sepotong sosis yang disiapkan Bara ke mulutnya. Bara mengangguk lantas membuka mulut menerima sepotong kentang goreng. "Hari ini ke kafe nggak?" tanya Vivi lagi. Bara mengangguk lagi. "Iya," jawabnya. "Mau ikut?" tawar Bara. Vivi sangat jarang ikut ke kafe bersamanya, padahal ia ingin mengenalkan istrinya kepada semua karyawan kafenya. Selain memainkan drum di band-nya, Bara juga memiliki sebuah kafe yang selalu dipadati pengunjung setiap harinya. Di kafenya Bara memperkerjakan sepuluh orang karyawan di bagian depan yang bertugas melayani pelanggan, dan sepuluh orang di bagian dapur. Semua karyawan itu sudah tahu kalau bos mereka sudah menikah dua bulan yang lalu. Revan, sahabat, Bara, memintanya untuk mengenalkan Vivi kepada semua karyawan agar mereka mengenalnya. Namun, Vivi selalu menolak. Katanya dia memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan. Entah apa yang pekerjaannya itu Vivi tidak pernah berterus-terang. Vivi selalu berkilah mengerjakan pekerjaan rumah. Satu lagi, Vivi suka memasak. Vivi menambahkan beberapa menu di kafe Bara setelah mereka menikah. Vivi mengerutkan hidungnya berpikir. Sebenarnya dia ingin ikut, tapi dia tidak terlalu suka berada di luar rumah. Home sweet home sangat dijunjung oleh Vivi. Kalau tidak ada keperluan mendesak dia tidak akan mau keluar rumah. Namun, sepertinya hari ini dia tidak bisa menolak lagi. Tatapan Bara yang berharap membuatnya tidak tega dan luluh. Vivi akhirnya mengangguk setelah berpikir beberapa saat. Senyum lebar menghiasi wajah tampan Bara. Ini adalah pertama kalinya Vivi mau ikut ke kafe setelah mereka menikah. Sebelumnya Vivi tak pernah mau mendampinginya. "Makasih, Honey," ucap Bara mengecup bibir Vivi sekilas. Vivi tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang bergerak naik turun beberapa kali. Mulutnya penuh berisi sandwich yang kembali disuapkan Bara ke mulutnya setelah mengecup bibirnya tadi. *** Kafe Bara selalu ramai seperti hari-hari biasanya. Malam hari kafe semakin ramai, terutama dikunjungi oleh para anak muda bersama pasangan mereka. Apalagi kalau Bara dan band-nya bermain, kafe akan semakin ramai lagi. Meski hanya band indie tapi band Bara sudah memiliki penggemar tersendiri. Para penggemar yang kebanyakan anak muda itu tidak pernah mau melewatkan penampilan band favorit mereka. Bara mengajak Vivi langsung ke ruangannya. Ruangan pribadi Bara cukup besar. Selain kantor ada studio mini juga di sini. Satu set drum Bara menghuni salah satu sudut ruangan. Vivi duduk di depan Bara, mereka dibatasi oleh sebuah meja kerja berukuran cukup besar. "Tunggu bentar, ya, Hon. Aku cek hasil penjualan kemarin dulu." Vivi mengangguk, dia tidak pernah keberatan dengan itu. Kalau dia puluh tahun saja dia sanggup menunggu Bara, tentu saja tidak masalah menunggunya sebentar lagi yang hanya beberapa menit. "Bar, lu ...." Revan, sahabat Bara sekaligus orang yang ditunjuk sebagai manajer kafe masuk tanpa mengetuk. Perkataannya terhenti melihat Vivi juga berada di ruangan ini. "Oops, maaf gue nggak tau kalo ada nyonya bos." Revan mengusap tengkuk. Vivi cemberut. "Apa-apaan, sih?" protesnya. Dia paling tidak suka dengan panggilan yang Revan berikan. Meski dia tahu Revan hanya bercanda tapi dia tetap tidak menyukainya. "Revan jangan ngomong sembarangan, deh!" Revan meringis. "Maaf, Vi. Nggak tau lu juga ikut hari ini. Biasanya, kan, lu cuma nitipin resep baru buat kafe." Revan tidak mengada-ada soal resep buatan Vivi. Setiap Minggu selalu saja ada yang baru, tapi kebanyakan resep Vivi makanan manis. Entah kenapa, mungkin karena Vivi itu manis makanya makanan buatannya selalu makanan penutup yang manis. "Ehm!" Deheman keras itu membuat Revan sadar. Dia paling tahu Bara sangat tidak menyukai kalau ada yang mengajak istrinya bicara. Pria itu akan marah besar. Bara terlalu posesif pada Vivi, tidak heran kalau dia tidak pernah keberatan ketika Vivi menolak ajakannya untuk ikut ke kafe. Semakin sedikit orang yang melihat istrinya semakin baik bagi Bara. "Sorry, Bos!" Revan meringis. "Gue keceplosan." Bara memutar bola mata. "Apanya yang keceplosan?" tanyanya kesal. "Makanya cari pacar lu sana biar nggak gangguin istri orang!" ucap Bara pedas. "Astaga, pedas amat tuh mulut!" Revan menggeleng pelan, menarik kursi di sebelah Vivi dan mendudukinya. "Nggak usah dibuka kali kalo gue jomlo." Vivi mengikik geli. Rasanya sangat menyenangkan melihat Revan ternistakan seperti sekarang. Merupakan hiburan tersendiri buatnya. "Nggak boleh ngetawain gue, ya, Vi!" Revan mendelik. "Apalagi ngetawain kejomloan gue yang nggak elit ini." Vivi semakin tertawa mendengarnya. Perkataan Revan terdengar sangat lucu di telinganya. Revan itu sahabat Bara sejak duduk di bangku SMA, mereka selalu bersama dan seusia. Revan juga tampan, sayangnya sampai sekarang Revan masih belum memiliki pasangan. Jangankan menikah, memiliki calon saja Revan belum. Katanya belum menemukan perempuan yang cocok untuk bisa diajak melangkah ke jenjang yang lebih serius. Padahal itu alasannya saja, Revan masih tidak ingin terikat. Revan salah satu pria yang menganut paham kebebasan. Pria itu lebih suka melakukan hubungan semalam daripada memiliki perempuan yang disebut sebagai kekasih. "Hon!" tegur Bara. "Nggak boleh ngetawain Revan!" Vivi langsung menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. "Maaf, Hon," ucapnya menyesal. Bara menggeleng pelan melihat kelakuan istrinya. Suara Vivi tersamar, perlu pendengaran tajam untuk mengerti apa yang diucapkannya. Vivi berbicara dengan mulut yang masih tertutup oleh tangannya. Bara memutar bola mata, menepuk pangkuannya. "Duduk di sini, Hon! Jangan dekat-dekat Revan!" Itu bukan permintaan, itu adalah perintah. Sejak dulu Bara sangat suka memerintah, tapi Revan tidak menduga kalau Bara juga memerintah istrinya. Revan memutar bola mata melihat Vivi beranjak dan menghampiri Bara, kemudian duduk di pangkuannya. Vivi tidak pernah keberatan dengan itu. Pangkuan Bara adalah tempat ternyaman untuk dia duduki. Tak peduli itu perintah karena Vivi yakin itu untuk kebaikannya. "Mesra-mesraan aja terus depan gue, ikhlas gue!" Bara tidak menanggapi, hanya menatap Revan datar. "Lu mau apa ke sini?" tanyanya dengan suara sedatar tatapannya. "Gue lagi sibuk!" Revan mendengkus kesal. "Sibuk apaan?" belalak Revan. "Perasaan dari tadi lu nistain gue mulu, bikin gue jealous, manas-manasin gue mulu." Bara menggeleng. "Nggak ada tuh!" jawabnya cuek. "Kalo lu ngerasa panas berarti lu kompor!" Perkataan Bara semakin pedas, membuat telinga Revan semakin panas mendengarnya. Untung saja dia sudah mengenal Bara sejak lama sehingga dia sudah terbiasa dan kebal dengan semuanya. "Suka-suka lu aja lah, Bar," sahut Revan tak peduli. Dia mengangkat bahunya tak acuh. "Gue ke sini cuman mau nanya. Band lu jadi manggung, kan, malam ini di sini?" Bara mengangguk. "Jadi!" jawabnya yakin. "Tapi buat lebih jelas, lu hubungin aja Farah." Revan mengangguk. Farah adalah istri sang vokalis yang didapuk menjadi manajer band Bara. Band indie yang bernama The Wolf itu cukup terkenal, banyak anak muda menyukainya. Revan yakin seandainya The Wolf diorbitkan secara nasional, pasti akan sukses. Rekaman mereka pasti akan laku terjual ribuan copy. Buktinya, mereka rekaman sendiri saja sudah banyak peminat. Lagi-lagi mereka sering menduduki chart lagu-lagu di radio lokal. "Okey!" Revan mengacungkan ibu jari tangan kanannya pada Bara lantas berdiri. "Gue konfirmasi ke Farah dulu kalo gitu." Bara mengangguk tanpa menatap Revan, matanya fokus pada layar laptop yang masih menampilkan diagram penjualan kafe mereka. Bara membiarkan Revan meninggalkan ruangannya. Tangannya terulur menekan sebuah tombol yang berada di bawah meja kerja. Tombol pengunci pintu otomatis. Dia tidak ingin kebersamaannya bersama Vivi ada yang mengganggu. "Kamu mau latihan habis ini, Hon?" tanya Vivi menatap Bara tepat di matanya. Bara mengangguk, menutup laptop setelah menyimpan file yang dirasanya penting ke dalam flashdisk. "Ntar malam mau manggung di kafe kita, Hon," jawabnya. "Kamu nggak keberatan nemenin aku sampe malam, kan? Buat hari ini aja." Bara menatap Vivi dengan tatapan memelas, tatapan yang biasanya selalu membuat istrinya ini luluh. Vivi berdecak, tapi kepalanya mengangguk. Meskipun tidak terlalu menyukai, dia akan mendampingi Bara. Jujur, Vivi tidak suka pada setiap perempuan yang menatap lapar suaminya. Seandainya saja bisa dia akan mencongkel mata itu. Sayang dia tidak berani. Jangankan mencongkel mata manusia, mencongkel mata ikan saja dia takut. Vivi bergidik. Bara tersenyum lebar. Dia yakin Vivi pasti akan menuruti. Istrinya sangat penurut, sejak kecil Vivi tidak pernah menolak semua permintaannya. Tangan Bara terangkat mengusap pipi mulus itu, terus menjalar ke tengkuk Vivi dan menariknya, menyatukan bibir mereka. Vivi buru-buru memperbaiki duduknya sebelum bibir mereka bertemu. Sekarang dia duduk dengan posisi mengangkang di pangkuan Bara dan siap menerima ciuman suaminya yang selalu memabukkan. Vivi mengerang, lidah Bara menyusup ke dalam mulutnya melalui celah bibir yang sedikit terbuka. Dua bulan pernikahan mereka, dia masih belum mampu mengimbangi Bara. Suaminya sudah sangat berpengalaman baginya. Bara tidak pernah kesulitan bernapas saat mereka berciuman seperti sekarang. Begitu berbeda dengannya yang sudah megap-megap karena hampir kehabisan napas. Vivi mendorong d**a Bara pelan, meminta jeda atas kegiatan mereka. Dengan sangat amat terpaksa Bara menuruti keinginan istrinya, padahal dia masih belum puas memainkan bibir mungil yang sekarang terlihat membengkak itu. Bibir Vivi terlalu manis, begitu berbeda dengan bibir perempuan lain yang dulu pernah dikecapnya. Apa mungkin karena dia yang pertama kali mencium Vivi? Atau karena dia terlalu mencintai istrinya sehingga apa pun yang mereka lakukan akan terasa sangat manis. Cinta memang buta!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD