Pengawal Nona [2]

1563 Words
“Dia sudah kembali bekerja, perhari ini,” jawabnya pada seseorang. Satya berada di gedung latihan. Hanya ada beberapa orang yang ada di area gym, yang kebetulan sedang tidak ramai jika menjelang siang begini, terdengar juga samar-samar musik dari speaker di sudut ruangan. Keringatnya sudah membanjiri tubuhnya, pegangan tangannya tetap kuat pada tiang horizontal. Ia terus melakukan pull up. Setiap tarikan mengangkat dirinya sendiri, membuat otot punggung dan bahunya menegang dengan garis-garisnya tampak jelas di bawah cahaya penerangan yang tampak dingin. Hampir dua jam ia berada di sana, fokus, tanpa bicara banyak. Keringat mengalir menuruni pelipis, menetes di rahang tajam yang kini sedikit berbayang gelap karena belum sempat cukuran atau memang ia biarkan itu tumbuh. Kaus hitam tanpa lengan yang ia kenakan telah basah, menempel di kulit, memperlihatkan bentuk tubuh yang terlatih bertahun-tahun secara disiplin. Earphone tersambung di telinganya. Suaranya rendah dan tenang saat berbicara dengan seseorang di ujung sana. Ia berhenti sebentar, mengatur napas, lalu mengangkat tubuhnya lagi ke atas palang. Otot-ototnya menegang, setiap gerakan presisi. “Aku masih dibutuhkan,” jawabnya lagi, “sebentar... ada telepon lain masuk. Mungkin dari bosku. Aku akan menghubungimu lagi nanti.” Sampai nada panggilan lain terdengar di telinganya. Sekilas ia mengerutkan kening, menghentikan gerakannya. Menurunkan tubuh, menggantung sebentar sebelum menjatuhkan diri ke lantai dengan suara berat sepatu menapak lantai. Satya melepaskan earphone dari lubang telinganya, mengambil handuk dari bangku di sebelahnya, menyekanya perlahan dari wajah hingga leher. Ia berjalan ke arah tas hitam yang tergeletak di bawah rak beban, tak jauh dan segera mengambil ponselnya. Layar ponsel menampilkan satu nama yang tidak pernah ia abaikan. Bosnya. Papi dari Nona Hansika yang ia jaga dua tahun belakangan ini. Alisnya sedikit terangkat. Segera ia menekan tombol panggil balik, menunggu sambil menegakkan tubuh dan tangan lain sibuk mengelap keringat lagi di lehernya. “Satya.” Suara berat dan tegas itu terdengar dari seberang. “Ya, Pak. Maaf ponsel saya di tas.” “Tidak apa, kamu di mana?” tanyanya. Satya coba menebak tujuan bosnya menelepon. Pagi tadi Hamish sendiri yang jadwal pergi bersama dengan putri dan istrinya. Jadi, Satya bisa sedikit punya waktu. “Gedung latihan, Sir. Baru selesai sesi pagi.” Ada jeda pendek sebelum Hamish berbicara lagi. “Datang ke kantor sekarang, bisa? Ada yang harus kita bicarakan.” “Baik, Pak. Saya akan segera ke sana.” “Ya,” telepon terputus. Satya menatap layar sesaat sebelum menaruhnya kembali di dalam tas. Ia menarik napas panjang, menunduk sedikit. Lalu dengan langkah tenang, ia mulai melakukan pendinginan. Setiap gerakannya terukur, tertib. Tidak ada yang berlebihan dari cara Satya bergerak. Beberapa orang di ruang gym menoleh saat ia berjalan melewati mereka. Caranya berjalan yang tegap, tenang, tapi memancarkan aura waspada lah yang kerap mencuri atensi pandangan sekitarnya. Ia menuju ruang mandi di ujung koridor. Di bawah pancuran air dingin, Satya menundukkan kepala, membiarkan air membasuh tubuhnya. Air menetes dari rambutnya, membasuh semua keringat yang terasa lengket. Di dinding, uap air tipis mengaburkan cermin besar, hanya memperlihatkan siluet tubuh tegap yang bernapas perlahan. Sepuluh menit kemudian, ia sudah berpakaian rapi dengan kemeja hitam dan celana jeans biru tua dan sepatu kulit mengilap. Tidak ada jam tangan mahal, hanya arloji sederhana di pergelangan tangan kiri. Ia keluar dari gedung, menuju tempat parkir. Mobil klasiknya, Mercedes-Benz 450 SLC, terparkir. Ia membuka pintu, duduk di kursi pengemudi, menyalakan mesin yang berdengung rendah tapi kuat. Lalu mulai melaju menuju kawasan gedung perkantoran elite di pusat kota. Jalanan tidak terlalu macet, hingga beberapa saat kemudian mobil memasuki area parkir kantor. Mobilnya jelas terlihat yang paling tua di antara mobil terparkir di sana. Satya segera turun, menyimpan kunci di saku lalu berjalan melewati lobi utama. Satpam yang berjaga menunduk sopan, ia menuju resepsionis untuk memberi laporan. Lalu di beri kartu akses karena tidak bisa sembarang. Langkahnya tegap menuju lantai atas, tempat ruang kerja Hamish Benedict Lais berada—ruang yang tidak sembarang orang bisa datangi tanpa izin karena jabatannya sebagai wakil pimpinan Lais Group. Pintu kayu besar terbuka setelah asisten pribadi Hamish memberi isyarat. Satya berjalan sebentar hingga matanya menemukan bosnya, Hamish duduk di balik meja besar, dan tidak sendiri. Di kursi lain ada seseorang yang Satya kenal juga. Paman Hansika, sekaligus pemimpin utama perusahaan ini pun ada di sana. “Siang Pak Hamish, Pak Aric...” Sapanya sambil memberi anggukan kecil. “Ya, siang Satya...” kata Aric yang sepasang matanya juga memancarkan wibawa serupa dengan bosnya. Satya berdiri tegak. Hamish menatapnya dalam-dalam. “Pertama, saya memanggilmu untuk mengucapkan terima kasih karena pengamanan acara pertunangan Hansika yang berjalan baik.” katanya perlahan. “Ya, Pak. Semua berjalan lancar tanpa insiden.” “Luar biasa,” Hamish mencondongkan tubuh sedikit, tidak salah memercayakan Satya. “Ada hal lain yang membuat saya memanggilmu ke sini.” “Silakan, Pak.” Hamish memberi anggukan serius, “seperti yang sudah pernah saya katakan. Saya masih butuh kamu menjaga Hansika, Sat. Meski kini dia sudah bertunangan dengan Nando. Saya tetap perlu memastikannya aman, mereka belum menikah.” Satya paham, ingat juga sempat membahas ini dengan Hamish. “Jika Hansika masih seperti biasa, marah-marah karena kamu terus awasi. Tetap pasang wajah begitu.” Katanya sambil menunjuk wajah Satya. Satya tetap diam, maksud Hamish wajah datar. “Jangan sampai kalah sama omelannya, apalagi kalau dia cari cara supaya pergi berdua—“ “Berkencan.” Potong Aric yang meluruskan. “Hm, ya itu. Apalagi kalau Hansika pergi ke tempat Nando, kamu ikut. Jangan biarkan putri saya berdua-duaan walau kamu dianggap mengganggu oleh mereka.” “Orang ketiga biasanya dianggap setan, Hamish.” Aric kembali bicara. Namun, Satya pilih tetap menatap hanya pada bosnya. “Ya, mau dianggap setan... nyamuk apa obat nyamuk, kamu jangan pedulikan.” Angguk Hamish, yang tahu jika terkadang putrinya suka bersikap suka-suka pada Satya agar dia mau mundur dari mengawasinya. Sudah terbukti dari beberapa bodyguard sebelumnya, Satya yang bisa bertahan. “Apalagi dia sudah bertunangan, bisa makin merasa punya hak berdua-duaan sama Nando.” “Sebenarnya kamu ikhlas enggak sih, Hansika sama pilihannya?” tanya Aric. Satya memilih diam. Hamish menghela napas dalam, lalu punggungnya bersandar. “Orang tua kita dulu, enggak seketat cara kamu menjaga Hansika.” Aric mengingatkan lagi. “Karena kita anak laki-laki, Ayah Kaflin jelas sangat ketat menjaga Mbak Aurora. Begitu juga Daddy Kai dulu menjaga Ka Fay.” “Kalau Ka Fay, tetap kecolongan.” Tanggap Aric. Mereka membicarakan bagaimana para orang tua mereka menjaga putri-putri keluarga Lais. Hamish menggeleng pelan, “aku lagi bicara sama Satya dulu, jangan dipotong, Aric.” Aric terkekeh. Sekali pun mereka sangat berwibawa, Satya tahu ada sisi-sisi jahil satu sama lain apalagi jika seluruh angkatan para orang tua ini sudah berkumpul. Persis seperti angkatan berikutnya, para sepupu Hansika. Keluarga yang hangat, dan menyenangkan. “Tadi saya sampai mana, Sat? Saya lupa karena Aric ajak bicara!” decaknya mulai kesal. Hamish ini lebih ekspresif dari pada istrinya, Mami dari Hansika. “Pak Hamish meminta saya pastikan Nona Hansika tetap tidak berdua-duaan dengan calon suaminya. Saya tetap perlu mengawasinya.” Hamish terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. Lalu kembali bicara dengan serius, “kalau Hansika mulai memaksa kamu buat berhenti mengikutinya, saya ijinkan kamu bertindak, tapi ingat... jangan sampai ‘permata hati’ saya ini lecet sedikit pun. Paham kamu?” Satya menatapnya diam, mendengarkan dengan tenang. Bibirnya sudah siap terbuka, untuk mengiyakan namun suara tawa muncul dari Aric. Cara Hamish makin posesif pada putrinya, malah membuatnya ingin membumbui kekesalannya dengan berkata, “kalau sampai lecet?” Satya menemukan Hamish menghela napas, lalu kembali menatap Satya sambil menegakkan duduknya, “kamu sudah disunatkan, Sat?!” Satya mengerutkan kening, heran dengan pertanyaan bosnya. Ragu, tapi ia tetap menjawab, “sudah, Pak.” “Kalau begitu, yang kedua kalinya nanti pakai kampaak kalau sampai Hansika lecet!” Satya tahu itu tak serius, tapi ia menelan ludahnya susah payah dengan ancaman tersebut, sementara Aric tergelak puas... “Masa depan orang main mau pangkas habis aja! Dasar makin tua, makin sensi!” “Ngaca please! Sama saja juga!” Decak Hamish, kemudian melirik Satya dan berdehem kecil lalu kembali menjaga wibawanya. Aric berhenti tertawa, ikut menarik napas panjang “Akhirnya kita merasakan yang Halim sudah lalui, pusing setengah mati saat hubungan spesial Sagara-Felora terbongkar.” “Ya, mana gadisku ada dua. Hansika lalu Saluna. Makin tipis deh rambutku...” Katanya sambil mengusap kepala, merasakan rambut yang bagian tengahnya mulai menipis. Satya yang masih ada di sana hanya berdiri tegak menyaksikan keluhan bosnya, sampai atensi Hamish kembali padanya, “kamu bisa pergi, sudah waktunya menjemput Hansikan.” Bahkan Papi dari tiga anak itu hafal jadwal putrinya, Satya memastikan jam kemudian ia mengangguk, “baik, Pak.” Namun sebelum ia berbalik, suara bosnya serius lagi... “Kalau ada seseorang yang bisa saya percaya selain keluarga untuk menjaga Hansika, hanya kamu, Satya. Selama ini kamu sudah membuktikannya. Jadi, jangan kecewakan saya meski putri saya memaksamu untuk mengikuti pemintaannya,” ia secara tidak langsung sudah menempatkan tanggung jawab besar pada Satya. Hamish berulang juga menekan kalimat ‘bila Hansika meminta’. Satya menegakkan tubuh, lalu mengangguk. “Saya mengerti, Pak. Seperti selama ini, saya pastikan Nona Hansika aman dalam penjagaan saya.” Satya berbalik pergi, tatapan Hamish dan Aric mengikuti punggungnya. “Kamu sangat percaya padanya, Hamish?” “Karena pengawal sebelumnya tidak berdaya dengan permintaan Hansika, untuk berbohong padaku. Beberapa kali juga, Hansika dalam keadaan bahaya dan Satya menjaganya dengan baik. Aku juga suka dengan sikapnya, dia tidak banyak bicara tapi lebih ke tindakan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD