Pengawal Nona

1610 Words
Hansika menunduk menatap cincin yang sudah tersemat di jemarinya, tidak ada yang salah dengan cincin bertahta berlian yang dia pilih sendiri. Namun, rasanya ia gatal ingin melepasnya, bahkan merasa berat menggunakannya. Sebuah usapan lembut dikepalanya, membuat Hansika menoleh. Nando membungkuk sedikit, berbisik di telinganya sebelum Hansika menghindar. “Sejak tadi kuperhatikan kamu terlihat tegang, Babe. Are you okay?” Seperti kekasih yang berhasil buat Hansika yakin melangkah kejenjang serius, Nando memang perhatian seperti ini. Ia menoleh lalu senyum kaku di bibirnya muncul, “just tired...” Mulutnya berbicara begitu, nyatanya bahkan ia mulai merasa takut yang menggelisahkan setiap kali berdiri dekat Nando yang terlalu dekat. Sebelumnya tidak pernah begini. Nando selalu membuatnya nyaman. Nando tersenyum, tapi dalam bayangannya Hansika seperti melihat senyum licik sambil pria itu mencengkeram lehernya. Hansika refleks membawa tangan menyentuh lehernya, berdehem pelan. Cepat-cepat ia raih gelas dan meminumnya. Nando mengambil duduk dekatnya, merapat bahkan setelahnya menyentuh tangannya. Lalu dia berbisik, “setelah ini, Papi akan lebih longgarkah mengawasimu?” “Ya?” Hansika sampai menoleh dapati pertanyaan Nando. “Satya,” ucap Nando menyebut satu nama yang seperti bayangan, bahkan tak pernah memberi mereka waktu leluasa setiap berkencan. Nando dan Hansika kompak melirik pria dengan batik khusus untuk para pengawal di sana. Ada earpiece terpasang di salah satu telinga, matanya terus menatap waspada. Dia dipercayai untuk keamanan hari ini. Banyak tamu penting, kenalan Papi-Mami Hansika yang juga datang. Hansika mulai memahami maksud Nando, bahkan ia sendiri yang berharap ada ‘leluasa’ menjadi orang dewasa di usianya yang hampir berkepala tiga. Menjadi putri sulung, ditambah mempunya keluarga terpandang, Hansika juga calon penerus RMC Hospital, membuatnya sejak kecil terbiasa dengan pengawal-pengawalnya. Ditambah, Hamish Benedict Lais sangat protektif dan posesif pada anak-anak terkhusus anak perempuan, Hansika dan Saluna. Keluhan Nando memang benar, selama mereka bertemu untuk pergi kencan, yang bahkan jarang karena Hansika setahun belakangan baru selesaikan pendidikan dokter spesialisnya, belum lagi kontribusinya dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan yang buat Hansika suka pergi ke luar kota, bahkan ke pelosok-pelosok desa di Indonesia. Saat akhirnya ada waktu berkencan, para pengawal khususnya Satya Fayez selalu berdiri seperti bayangan. Seperti pergi menonton film, ia akan duduk di belakang dan mengawasi sehingga hanya sebatas bisa berpegangan tangan. “Babe,” panggil Nando menemukan Hansika malah terdiam dengan tatapan lurus pada pengawalnya. Hansika cepat menoleh, menatap balik “kurasa untuk penjagaanku, terkhusus Satya... dia akan tetap melakukannya.” Bahkan kini Hansika tidak keberatan seperti dulu selama keselamatannya terjamin. “Katamu, kamu akan bicara dengan Papi.” Nando mengingatkan. “Kita hanya bertunangan, bukan menikah.” “Apa maksudmu? Hanya bertunangan?” Nando mengernyitkan kening, terganggu dengan kalimat Hansika. “Maksudku, kita baru bertunangan... bukan menikah. Papi jelas akan menjadikan itu alasan untuk menolak permintaanku lepas dari pengawalan Satya atau aturan sama, pergi dengan Papi yang langsung awasi atau kita hanya di rumahku dengan orang-orang rumah yang lebih banyak.” Hansika cepat-cepat meralat ucapannya. Memberi pilihan yang tak ada bedanya. Diawasi Papi langsung jelas membuat Nando menelan ludah, pernah beberapa kali malah berakhir ia yang jadi seperti mengawal Papi Hamish dan Hansika. “Coba dulu bicara dengan Papi. Aku benar-benar terganggu, tidak akan nyaman setiap bersamamu diawasi pria itu.” Kata Nando. Hansika terdiam, seharusnya ia setuju karena selama ini pun yang membuatnya tidak suka Satya karena dianggap mengganggunya. Namun, kini Nando terdengar seperti tuntutan yang buat Hansika langsung menanggapi berbeda, “itu karena Papi mau memastikan aku aman, Nando.” Sejak tadi pun, Nando terheran dapati Hansika hanya memanggilnya nama. Tidak ada kemesraan dan manja yang biasa bersamanya. “Aku mencintaimu, kita bertunangan dan akan menikah. Aku saja cukup menjagamu.” Sepertinya perdebatan akan dimulai, Hansika menarik tangannya dan menatap Nando, “silakan kamu bilang sendiri ke Papi, berani? Papi yang ada akan mempertanyakanmu, mengapa keberatan diawasi Satya, dan berpikir kamu cari kesempatan buat bisa berdua-duaan denganku. Papi akan curiga. Selama belum menikah, artinya kita belum bisa leluasa menurut Papi.” “Babe—“ Hansika langsung berdiri, “jangan membahasnya, kamu harus patuhi aturan Papiku sebelum bisa resmi jadi suamiku.” Hansika berbalik pergi, menjauh dari Nando. Bukan hanya karena tidak terima dengan ucapan Nando tetapi juga ia terheran dengan responsnya sendiri yang berubah. Mengapa ia tidak bisa senyaman dulu berdekatan dengan Nando? Jika hanya mimpi, apa bisa memengaruhinya sedahsyat ini? Hansika terlalu memikirkannya sampai selama acara berlangsung hanya ingin segera hari ini berakhir cepat. Ia pilih bergabung duduk dengan Papi, “beauty, Bunny Papi...” Hansika biarkan Papi merangkulnya lalu ia bersandar. Ternyata ia merasa nyaman dan aman saat bersama laki-laki ini, papinya. Kebetulan Papi sedang bersama sepupunya juga, para paman Hansika... kemanjaan Hansika jadi sasaran empuk godaan pamannya, terutama Uncle Aric. “Sudah tunangan malah menempelnya sama Papi, Hansika? Di mana Nando? Harusnya menempelnya sama Nando.” Papi lebih dulu merespons dengan tatapan tajam, lalu bernada posesif memberitahu, “Hansika masih hanya tunangan, apa itu menempel-menempel? Sudah benar, dia manjanya sama Papi. Sebelum jadi suami, aturannya tetap sama.” Aric tertawa, sementara paman lainnya Uncle Halim—kembaran Papi—hanya menggelengkan kepalanya. “Sikap seseorang terbentuk karena perjalanan hidupnya, jadi coba pastikan pada papimu, perjalanan atau pengalaman yang mana sampai membentuk sikap posesifnya ke kamu dan Saluna? Jangan-jangan sering macam-macamin pacarnya sebelum Mamimu dulu makanya takut.” Ledek Aric lagi. “Oh, mau main bongkar-bongkar masa lalu? Hayo saja... Kartu As-mu ada di aku, lupa? Ingat juga, bentar lagi kamu akan waswas karena Anya juga sudah dewasa!” Hamish menyeringai. Aric berdecak, Halim dengan santai minum dan bicara “tujuh hari tujuh malam enggak akan kelar kalau kalian saling menguliti kelakuan masa lalu. Sudah tua, jaga wibawa paling tidak depan anak gadis ini.” Halim mengulurkan tangan, Hansika berpindah untuk dirangkul pamannya yang memiliki wajah serupa dengan Papi tetapi sikap berbeda. Pamannya lebih tenang. “Aku sama Uncle Halim saja, yang pasti enggak playboy kayak Papi-Uncle Aric dulu.” Halim memberi anggukan, tersenyum walau tipis. Hamish dan Aric berdecak, “ya, memang enggak playboy, cuman unclemu itu sempat jad sadboy ditinggal seseorang dulu. Pacarannya sudah melebihi usia kredit mobil, eh berakhir sampai kabur ke Jerman lama...” Hansika tertawa, cerita bagian kisah pamannya ia pun tahu. Ia masih di sana, bersama Papi dan para paman, keluarganya sudah pasti lebih aman. Namun, ditengah-tengah keseruan... Hansika kembali terdiam, larut dengan pemikiran jauh ke depan. Apa memilih Nando, benar? Karena menikah harusnya untuk selamanya, dia jadi mempertanyakan kembali keputusan dan cintanya. Saat matanya mencari keberadaan sang tunangan Nando, Hansika tertegun mendapati Nando tengah bersama wanita itu. Tidak hanya berdua, ada teman-teman Hansika juga bersamanya karena memang mereka satu pertemanan. Namun, itu cukup membuat tubuhnya tegang kembali. *** Ketika acara usai dan baik keluarga atau tamu-tamu sudah pulang. Hansika berjalan ke taman, berdiri di antara cahaya lampu taman yang mulai hidup menjelang sore. Udara membelai lembut wajahnya. Orang-orang sedang merapikan dan membersihkan rumah setelah acara selesai. Ia menatap ke langit, mencari sesuatu untuk dipegang, tapi yang ia rasakan hanya kehampaan. “Aku bahkan tidak tahu... apa aku masih mencintainya?” bisiknya pada diri sendiri. Hansika berulang-ulang menarik napasnya. Lalu ia bersedekap sambil bersandar pada pilar besar rumah. Hingga pandangannya terarah pada Satya yang tengah berjalan bersama rekan sesama penjaga rumah. Hansika langsung menegakkan berdirinya, kemudian ia menghampiri Satya, memotong jalannya. Satya dan rekannya berhenti, memberi anggukan kecil... lalu temannya itu lebih dulu mengerti meninggalkan mereka. Satya berdiri beberapa langkah darinya, masih menggunakan kemeja batik lengan panjang, wajah dingin tanpa ekspresi seperti biasa. Sorot matanya tajam, tapi ada sesuatu di baliknya yang anehnya terasa menenangkan jika ditatap berlama-lama. “Bisa menyetir untuk saya?” Ia menatap Nona muda itu yang masih memakai kebaya bahkan belum menghapus make up dan tatanan rambutnya. Kini jemarinya terdapat cincin pertunangan. “Nona mau pergi—“ “Jangan banyak bertanya, jika kamu enggak bisa. Berikan kunci mobilnya, saya akan pergi sendiri.” Katanya yang sedang rumit, malas jika harus menjelaskan pada Satya sebab dirinya saja sedang tidak memahami diri sendiri. Hari ini sudah dua kali Hansika meminta kunci mobil darinya, yang kali ini sepertinya ia pasti jadi pergi. Acara padahal baru benar-benar selesai. “Saya akan antar,” tentu saja Satya tugas utamanya mengawasi bagai bayangan Hansika. Hansika langsung berbalik, dan Satya tegap berdiri selangkah di belakangnya. Menuju garasi, mobil yang biasa digunakan mengantar Hansika. Satya membukakan pintu untuknya. Malam itu, ketika mobilnya melaju meninggalkan rumah besar yang ramai, Hansika bersandar di kursi belakang, melepaskan napas panjang. Tangannya menggenggam cincin di jari manis, menatap pantulan wajahnya di jendela. Ia terlihat sempurna di luar tapi ia tahu, di dalamnya, semuanya mulai terasa ada yang salah. Satya yang menyetir, menatap dari kaca tengah, memerhatikan Hansika dalam diam tanpa ingin ikut campur. Bahkan ia tidak bertanya, membiarkan mobil hanya terus berjalan sampai Hansika menentukan berhenti, lanjut atau cukup untuk pulang. “Satya,” suaranya terdengar. “Ya, Nona?” “Papi masih menugaskanmu seperti biasa, meski saya sudah bertunangan? Termasuk bila saya perginya dengan Nando?” Satya tidak langsung menjawab, tetapi kemudian memberi anggukan “ya, saya akan berhenti setelah Nona menikah dengan Pak Nando. Jika Nona keberatan, bicarakan saja pada Pak Hamish. Saya hanya ikuti perintah Pak Hamish.” Hansika menatapnya, lalu ia meminta "berhenti di sana..." Satya menepikan mobil, Hansika turun menuju taman kota yang cukup ramai. Dia berjalan dan tidak lama Satya menyusul lalu ia mencegah langkah Hansika. Berhenti tepat di hadapannya. "Apa?" tanyanya. Satya tidak menjawab selain ia berlutut, meletakan sandal rumahan yang nyaman milik Hansika yang selalu tersedia, tepat depan kakinya. "Nona sudah seharian memakai sepatu tinggi," ucapnya. Hansika langsung tahu arti tindakan Satya. Kakinya memang sudah pegal dan lecet. Hansika tertegun, lalu ia melepaskan kaki dari sepatu tingginya dan memakai sandal rumahan itu. Satya kembali membungkuk dan memegangi heels Hansika sambil terus mengawal langkahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD