Satya menatap Hansika yang hanya makan beberapa suap, dan mengaku sudah cukup. Kemudian nona muda tersebut tampak terdiam dalam lamunan. Hansika bukan sekedar melamun, tiba-tiba ia berpikir untuk lari dari acara yang menanti dalam hitungan menit.
Satya tetap berdiri di sana saat Hansika berdiri, lalu berjalan ke depan jendela. Dalam diamnya, Satya memerhatikan penampilan nonanya walau sebenarnya selama ini ia menjaga pandangannya. Hansika memang dasarnya sudah cantik dan menarik, sekarang dalam balutan kebaya yang tertutup sekali pun justru membuatnya terlihat anggun. Menjaga martabatnya sebagai putri sulung keluarga terpandang.
Ia menghela napas dalam, lalu Hansika menoleh padanya.
“Satya,”
“Ya, Nona?”
“Pegang kunci mobil?” tanyanya.
Satya mengernyitkan kening mendengar pertanyaan sang nona, ia memberi anggukan. “Ya, Nona. Saya pegang kunci mobil.”
Hansika terdiam lagi, terlihat berpikir keras namun ia menggeleng pelan seolah tengah mempertimbangkan untuk kabur dari pertunangannya.
Satya sudah akan membuka mulutnya saat pintu yang tak tertutup sepenuhnya itu diketuk, lalu Satya menarik pintu lebih terbuka. Ia memberi anggukan pada seorang perempuan yang anggun, pembawaan serupa dengan Hansika. Bahkan orang-orang mengatakan sikap perfeksionisnya menurun sempurna pada sang putri.
“Satya di sini?” Tanyanya melihat seseorang yang paling dipercaya suaminya untuk menjaga Hansika, berada di kamar putrinya.
“Aku yang panggil Satya, Mi” akui Hansika sebelum Satya menjawab.
Ileana Kamaniya Lais, Mami dari Hansika mengangguk. Satya segera pamit, “jika sudah tidak ada yang Nona Hansika butuhkan, saya izin kembali ke bawah.”
Hansika memberi anggukan, kemudian pandangan matanya mengikuti langkah tegap Satya yang keluar kamar hingga terhalangi tubuh Mami yang mendekat.
“Kenapa minta Satya? Kamu bisa panggil Mia atau ada adikmu, Saluna dan sepupumu yang lain juga sudah di sini.”
“Oh itu tadi pas aku mau kembali ke kamar, tiba-tiba lemas. Satya kebetulan sedang bersamaku. Dia memastikan aku sampai kamar.”
Lea langsung cemas, tangannya menyentuh lembut wajah sang putri. Memeriksanya, “aku kurang tidur semalam, terus lupa sarapan...” sambil mengedikkan wajah melirik piringnya.
“Sekarang bagaimana rasanya? Masih lemas?”
“Sudah enggak, tadi Satya juga ambilkan air hangat dan aku minum obat.”
Hela napas Lea lega mendengarnya, kemudian sepasang mata ibunya menatap dalam. Jika Papi sudah menyeka air mata berulang, Mami berbeda. Jarang menangis, tapi dalam diamnya cukup menatap Hansika bisa merasakan kasih sayang yang besar. Meski sikap orang tuanya berbeda, ia beruntung tumbuh dengan keduanya yang terus bersama dan saling cinta.
“Keluarga yang lain sudah pada datang?”
“Sudah, semuanya... Bahkan Arubumi baru sampai Jakarta langsung ke sini.” Yang disebut salah satu sepupunya yang paling sibuk. Putra pertama dari kakak perempuan Papi. Hansika memanggilnya Ibu Aurora.
“Mereka menunggu di bawah, ramai sekali kalau sudah berkumpul.”
“Sayang Uncle Conrad dan keluarganya tidak bisa datang,” bisik Hansika menyebut pamannya, adik satu-satunya dari Mami Lea. Tinggal di Sydney. Ada halangan.
“Uncle akan datang pas pernikahanmu,”
Disinggung mengenai pernikahan, Hansika kembali diam. Kemudian suara langkah mendekat, Saluna menyusul bersama Anya, sepupu Hansika juga. Sudah ia bilang, keluarga Lais ini keluarga besar.
“Mami, diminta Papi turun... Ka Nando dan keluarganya sudah tiba.” Beritahu Saluna.
Hansika langsung menegang, tangannya mulai berkeringat dingin. Bukan karena antusias, tapi keinginan untuk membatalkan yang lebih menggebu-gebu.
Mami mengangguk, saat akan berbalik... Hansika bertanya, “Mami dan Papi sungguh merestui aku dan Nando?”
Langkah Mami berhenti, kemudian kembali menatap putrinya. Tatapan mata mereka kembali bertemu sambil Mami memberi senyum... “Kamu bilang pada kami, jika segala kriteria pasangan yang kamu inginkan ada padanya. Dan bagi Mami... tidak ada yang lebih penting dari keyakinan kamu sendiri yang akan menjalaninya.”
Rasanya ia tercubit dengan kalimat Mami. Sebab ia meragukannya.
Saluna mendekat, merangkul dan bersandar manja padanya sambil berkata “Ka Hansika perlu memastikan karena Papi masih terlihat enggak rela merelakan anak gadisnya dicintai pria lain selain Papi. Iyuhhh, emang Papi Posesif akut."
“Baru bertunangan, kalau tiba saatnya pernikahan nanti... jangan-jangan Uncle Hamish pingsan, bukan cuman nangis.” Anya ikut merespons, padahal papanya juga sama saja.
Saluna tertawa lalu memberi anggukan, “iya, aku juga menduga begitu.”
Hansika hanya memberi senyum tipis, lalu menghela napas sangat dalam.
***
Rumah orang tuanya hari itu didekorasi sangat indah, dekorasi yang dipilih oleh Hansika sendiri. Setiap sudut ruangan dipenuhi bunga segar berupa mawar, lili, dan peony yang mewangi seakan ingin menutupi aroma kegelisahan yang pelan-pelan menyelinap di d**a Hansika.
Tangga besar yang gagah itu kini disulap menjadi jalur istimewa. Untaian bunga putih menjalar di sisi pegangan tangga. Dari atas, Hansika bisa melihat tamu undangan, keluarga besar, kolega ayahnya dari Lais Grup, hingga kolega Mami dari RMC Hospital, bahkan beberapa rekan dokter yang ia kenal. Semuanya tampak bahagia, sibuk memotret, tersenyum, saling berbincang. Sementara dirinya berdiri diam di anak tangga teratas, menatap ke bawah dengan keraguan yang tidak bisa ia jelaskan.
Penampilannya juga sempurna, seperti yang Hansika harapkan. Kebaya, make up hingga perhiasannya. Namun di balik lapisan make-up halus dan senyum sopan, ada sesuatu yang tidak lagi sama.
“Ka, ayo! Tunggu apa lagi? Ka Nando sudah tunggu... Itu pembawa acaranya juga sudah minta kamu turun.” Bisik Saluna, sempat berpandangan dengan Anya disisi lain. Terheran dapati Hansika berhenti seperti batu.
Ya, langkah kakinya tak kunjung bergerak. Ia hanya menatap ke bawah, melihat Nando duduk diimpit orang tuanya, memakai batik senada dengan yang Hansika kenakan. Wajah menampilkan senyum yang dulu membuatnya jatuh cinta. Kini senyum itu justru membuat perutnya bergejolak terasa mual.
Ia menarik napas panjang.
Ayolah, ada apa dengan diriku? It’s just nerves. It’s the pressure. Nothing else...
Tapi hatinya tahu. Rasa itu bukan gugup. Itu ketidakpastian dari keraguan yang benar-benar mengusiknya pagi ini. Langkah pertamanya terasa berat. Musik lembut mengiringi tiap langkah turun tangga, sorot mata semua orang tertuju padanya.
“Beautiful,” terdengar beberapa bisikan tamu. Namun semua pujian itu menguap di udara, tak ada yang benar-benar menembus pikirannya.
Ketika akhirnya ia sampai di bawah, Nando berdiri lalu menyambut dengan tangan terbuka. Hansika menatap tangannya sejenak. Tangan yang dulu terasa hangat, kini entah kenapa tampak asing. Ia menaruh tangannya di sana, sekadar formalitas, sekadar menjaga senyum di depan ratusan pasang mata.
Sementara itu pikirannya terus melayang ke sesuatu yang terlalu nyata untuk disebut hanya mimpi. Semua kejadian berputar begitu jelas, lalu matanya mencari hingga menemukan seorang perempuan yang juga hadir antara tamu.
Ini mengerikan! Batinnya kembali berteriak. Jika benar ada pengkhianatan, perempuan itu juga hadir di pertunangannya. Duduk tenang seolah ikut merayakan.
Hansika menarik tangannya rapat kesisi tubuhnya, lalu menatap Nando yang masih terus memandanginya dengan senyum. Siap melingkarkan cincin di jari manisnya.
Hansika tersenyum kecil, tapi hanya wajahnya yang ikut tersenyum. Matanya kosong. Nando menatapnya, berlutut dengan satu lutut di lantai, cincin berlian oval cut pilihannya.
“Hansika Kamaniya Lais,” katanya lembut, “I promise to take care of you, to love you, and to be by your side... forever.”
Semua tamu tersenyum, menunggu jawaban dari Hansika. Namun di kepala Hansika, hanya ada gema satu kalimat...
Forever? Selamanya itu lama...
Kalimat itu berulang-ulang berbisik dihatinya. Seketika, jantungnya terasa sesak. Napasnya tersengal, pandangan sedikit kabur. Suara orang-orang terdengar jauh, seperti ia terperangkap dalam gelembung.
Ia menatap wajah Nando yang menunggu responsnya, lalu sekilas kembali seperti kilatan mimpi buruk. Tangan Hansika gemetar. Ia hampir menjatuhkan cincin yang hendak disematkan ke jari Nando.
Keluarganya yang duduk di barisan depan memerhatikan dengan cemas, namun Hansika buru-buru menarik napas panjang, memaksakan senyum.
“Sorry... just a little nervous,” katanya dengan suara serak... Ia berbohong.
Seketika, ia menunduk, menyembunyikan mata yang mulai memerah. Menampilkan diri yang tampak sempurna... senyum, tepuk tangan, kilatan kamera saat ia memberi anggukan dan biarkan Nando menyematkan cincin. Tapi di dalam dirinya, ia seperti berdiri di atas reruntuhan kepercayaannya sendiri.
Lalu ia menatap lurus, tepatnya melewati tubuh Nando... matanya tertuju pada seseorang yang berdiri ikut menyaksikan. Satya... pria itu berbalik pergi.
Lalu pandangan Hansika mengarah pada keluarganya. Mami-Papi. Menatap mereka itu cukup untuk membuat Hansika menahan diri agar tidak menangis di tempat. Ia tahu betapa sulitnya dulu mendapatkan restu Papi. Ayahnya yang sangat menyayanginya itu akhirnya setuju setelah melihat betapa Nando tampak tulus mencintainya.
Dan sekarang?
Bagaimana ia bisa menghancurkan semua itu hanya karena sesuatu yang belum bisa ia buktikan di depan mereka? Bahkan ia tidak pahami... Keraguan, atau Hansika memang meragukan pilihannya sendiri untuk memutuskan selamanya bersama Nando?