-2- Is She My Bride to be?

1127 Words
Andhita Kirana Ramawijaya. Arjuna mengerutkan kening ketika melihat sosok wanita yang baru masuk ke restoran itu. Arjuna hanya mengenal wanita itu dari foto. Ketika papanya memberikan foto wanita itu, Arjuna langsung mengenalinya. Wanita yang sama yang memakinya di kafe minggu lalu. Kali ini, wanita itu mengenakan gaun satin warna marun dan berjalan ke arahnya. “Selamat malam,” sapa wanita itu sok ramah. Sungguh penuh kepura-puraan. “Kau tidak ingat aku?” Arjuna langsung melempar pertanyaan ketika wanita itu duduk. Wanita itu menelengkan kepala, mengernyitkan kening, berusaha mengingat-ingat. Rambut cokelat sepunggungnya yang bergelombang jatuh di sisi tubuhnya. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya wanita itu. Arjuna mendengus tak percaya. Ia benar-benar tidak mengingat Arjuna? “Sekitar seminggu yang lalu, kau menabrakku, menumpahkan minuman di pakaianku dan memakiku,” sebut Arjuna. “Di Hills Café.” Mata wanita itu melebar, sebelum ia memperbaiki ekspresi dan menegakkan tubuh. “Waktu itu, kau menghalangi jalanku.” Wanita itu masih bisa menyalahkan Arjuna. Arjuna tanpa sadar sudah mendengus kasar. Wanita inikah yang akan menjadi istrinya? Seumur hidupnya, belum pernah Arjuna mengalami hal segila ini. Lucu jika seumur hidup, ia harus menghabiskan waktu bersama wanita kurang ajar ini. “Jangan melihatku seperti itu. Kau pikir, aku suka dijodohkan denganmu?” sinis wanita itu. “Tapi, perlu kau tahu, apa pun yang terjadi, aku tidak akan mundur. Aku tidak mau diusir dari rumah dan menjadi gelandangan.” Arjuna mendengus tak percaya. Tidak hanya kurang ajar, calon istrinya ternyata gila harta. Sempurna! Arjuna tak bisa mengelakkan pikiran sarkas itu. “Jadi, jika kau tak setuju dengan perjodohan ini, kau saja yang mundur,” lanjut wanita itu dengan santainya. Lalu, wanita itu memanggil pelayan dan memesan makanan. Ia menatap Arjuna hanya untuk bertanya, “Kau mau makan apa?” Makan? Apa saat ini Arjuna tampak ingin makan? “Jika kau tidak ingin makan, katakan saja. Tidak perlu melihatku seperti itu,” cibir wanita itu. Ia lalu berkata pada pelayan restoran, “Dia tidak nafsu makan. Abaikan saja.” Si pelayan tampak bingung menatap Arjuna, sebelum akhirnya mengangguk dan pergi. “Kau pikir, hanya kau yang bisa berbuat seenaknya begini?” sinis Arjuna. Wanita itu merentangkan lengan dan bersandar di kursi. “Kau bisa mencobanya jika kau mau.” Arjuna tersenyum sinis. Ia lalu mencondongkan tubuh ke depan dan berkata, “Kau pikir aku tak berani membatalkan perjodohan ini?” Wanita itu masih tampak santai. “Batalkan saja. Aku tentu berterima kasih. Memangnya, wanita mana yang mau menikah dengan pria gila yang setuju dijodohkan dengan wanita yang tak dikenalnya?” Arjuna kembali mendengus kasar. “Aku juga berpikiran sama tentangmu.” Wanita itu mengangguk-angguk menerima. Namun, ia ikut mencondongkan tubuh ke depan ketika membalas, “Jika kita benar-benar menikah nanti, aku bisa meyakinkanmu, kau akan menyesal.” Arjuna mengernyit. Wanita kurang ajar ini benar-benar …. *** “Bagaimana pertemuanmu dengan Kirana?” Pertanyaan penuh harap dari mamanya itu membuat Arjuna harus menyingkirkan kesal dan tersenyum. “Baik, Ma,” dusta Arjuna. Mamanya tersenyum. “Kirana wanita yang baik. Tidak mungkin untuk tidak menyukainya.” Apa? Kemustahilan macam apa itu? Tidak mungkin untuk tidak membencinya, lebih tepatnya. Atau, tidak mungkin untuk tidak darah tinggi karenanya. Arjuna diam-diam menghela napas. Ia mencium pipi mamanya dan pergi dari ruang tamu, ke ruang kerja papanya. Begitu ia menutup pintu ruang kerja papanya, barulah Arjuna bisa jujur dan protes, “Haruskah aku menikah dengan wanita itu, Pa?” Papanya yang sedang menatap layar laptop mendongak. “Kecuali kau ingin membuat sakit jantung mamamu kambuh, kau bisa menolak.” Arjuna mengerang. “Pa, wanita itu …” “Dia wanita yang baik,” potong papanya. “Itu yang dikatakan mamamu, dan hanya itu yang akan kau katakan pada siapa pun tentang wanita itu.” Arjuna mendecak kesal sembari berjalan ke sofa di pojok ruangan dan menjatuhkan tubuh di sana. “Aku tak percaya, Papa menjualku demi mendapat perusahaan Ramawijaya.” Papanya tergelak. “Kau sangat suka perusahaan, lebih dari Papa. Jika kau menikah dengan Kirana, kau akan mendapatkan Ramawijaya. Wanita itu tak sedikit pun tertarik dengan perusahaan.” Arjuna tertawa kering. “Tapi, dia sangat tertarik dengan uang.” Papanya mengangguk-angguk, tak sedikit pun tampak terkejut. “Bagaimana Papa bisa sesantai itu? Apa Papa tidak khawatir, jika dia masuk ke keluarga kita, bertemu Mama dan …” “Mamamu menyukai anak itu,” sela papanya. Arjuna mengernyit. “Mama mengenal Kirana?” “Sejujurnya, Papa juga lebih suka kau menikah dengan Kirana daripada dengan Niall.” Arjuna melotot. “Aku dan Niall hanya berteman.” “Dan dia sudah mengumumkan jika dia … ehm, berbeda.” Arjuna mengerang protes. Ini tidak adil. Hanya karena Niall punya selera yang berbeda dengan pria lain, Arjuna menjadi korbannya. “Tapi, aku masih menyukai wanita, Pa.” “Karena itu, buktikan dengan menikahi Kirana. Apa kau tahu betapa tidak stabilnya saham perusahaan kita setelah Niall mengaku tentang … itu?” Papanya berdehem. “Dan kau adalah orang terdekatnya. Ke mana-mana kalian selalu bersama. Sudah untung mamamu tidak sampai masuk rumah sakit karena kabar itu. Tapi, jika sampai kau menolak menikah dengan Kirana, mamamu pasti akan langsung histeris.” Arjuna mengacak rambutnya kesal. “Tak adakah wanita lain yang bisa kunikahi selain dia?” Papanya mengangkat alis. “Menurutmu, apa akan ada wanita yang mau menjadi istri dari pria yang sudah punya kekasih? Itu pun, kekasih pria.” “Papa tahu, itu tidak benar.” “Papa tahu, tapi tidak semua orang tahu. Dan tidak semua orang percaya. Jadi, berhenti mengeluh dan baik-baiklah pada calon istrimu. Jika sampai dia menolak perjodohan ini, kau mungkin akan dilabeli sebagai kekasih Niall seumur hidupmu,” tegas papanya. Arjuna mengerang. Ini gara-gara Niall sialan. Arjuna tak keberatan dengan selera berbeda sahabatnya itu. Hanya saja … perlukah ia mengumumkannya? Terlebih ketika ia dan Arjuna begitu dekat. Sejujurnya, Arjuna sempat menuduh Niall menyukainya, tapi Niall membantahnya. Ia bilang, Arjuna bukan tipenya. Memikirkan itu mendadak Arjuna kesal. Memangnya, Arjuna kurang apa?  Tidak, tunggu. Kenapa Arjuna mendadak berpikir seperti itu? Arjuna bergidik sendiri menyadari pikirannya. *** Tepukan di bahunya membuat Arjuna menoleh. Dilihatnya Niall tersenyum lebar sebelum duduk di depannya. Arjuna menyipitkan mata kesal. Sahabatnya itu bahkan tak sedikit pun mersa bersalah meski ia datang terlambat dari jam janjian mereka di kafe itu. “Apa lagi sekarang? Aku bahkan tidak melakukan apa pun,” protes Niall. Arjuna mendesis kesal pada pria berambut pirang itu. “Sudah kubilang, kau tidak seharusnya mempublikasikan seleramu yang berbeda itu. Sekarang, aku yang kena imbasnya, sialan kau!” “Wow, wow, calm down, Men …. Ada masalah apa sebenarnya? Ada berita kita berkencan?” “Tanpa ada berita pun, semua orang sudah berpikir begitu. Karena masalah itu juga, bertambah lagi satu alasan aku tidak bisa mundur dari perjodohan sialan ini,” geram Arjuna. “Kau benar-benar dijodohkan?” Niall tampak siap tertawa. “Tertawalah. Aku akan menghajarmu,” ancam Arjuna. Niall berdehem. “Siapa calon istrimu?” Arjuna seketika mendapati darahnya naik hanya dengan memikirkan wanita itu. “Kau ingat wanita yang menumpahkan latte padaku dan memakiku di kafe ini?” Niall ternganga. “No way. Dunia tidak sesempit itu.” “Haha.” Arjuna tertawa kering. “Dan di sinilah aku, terpaksa menerima wanita kurang ajar itu menjadi calon istriku.” Arjuna mengepalkan tangan geram. “Setidaknya, dia cantik. Bahkan hanya sekilas melihatnya pun, dia tampak cantik,” komentar Niall, seketika mendapat tatapan membunuh Arjuna. Niall berdehem dan memanggil pelayan kafe untuk memesan. Setidaknya, ia tahu, jika ia tidak berhenti, Arjuna benar-benar akan membungkam mulutnya dengan cara paling tidak menyenangkan. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD