Bab 4

1111 Words
Namaku adalah Desi Arshinta, tiga bersaudara perempuan semua. Walau bukan termasuk keluarga berada, setidaknya berkecukupan begitulah. Ayah adalah seorang penjaga sekolah di sebuah SMP swasta, dan ibu ikut jualan di kantin SMP tersebut. Dari jam tiga pagi ibu sudah di sibukkan dengan kerjaannya. Setelah selesai semua, ibu meninggalkan sarapan jatah kami bertiga dan uang saku. Kemudian beliau berangkat pagi sekali menuju kantin. Tak jarang kami belum bangun saat ibu pergi. Saat usia menginjak remaja, ibu membagi jadwal untuk menyapu, serta membersihkan rumah dan mencuci baju sebelum berangkat sekolah. Ibu memberikan jadwal bergilir setiap harinya, biar adil. Sepulang sekolah, kadang aku main sampai siang hingga waktu makan. Kemudian kakak mengajak jajan, atau kadang menyusul ibu di kantin. Selesai mengisi perut, biasanya kami berangkat ngaji sampai habis maghrib. Begitu pulang mengaji makan malam sudah tersaji. Entah beli, atau ibu memasak seadanya. Kemudian ibu akan menemani kami membuat pekerjaan rumah setelah selesai mencuci peralatan makan. Ibu dan ayah tak pernah memberikan pekerjaan berat pada kami. Terpenting sekolah dan mengaji, itu saja. Memasak? Aku kadang membantu saat hari minggu pas libur sekolah. Namun menginjak SMA sudah tak pernah lagi membantu masak. Lulus SMA aku langsung bekerja di sebuah percetakan yang lumayan besar. Meski bukan lulusan sarjana, sejak sekolah aku sudah lihai memegang word dan Microsoft Office lainnya. Tak butuh waktu lama untuk mendapat jabatan sebagai editor karena kerapian mengetik dan mengedit naskah. Itulah sebabnya, aku juga jarang masak saat sudah menikah. Alasannya simple, Mas Rudi sudah berjanji pada ayah akan membahagiakanku. Aku mengenalnya saat dia masih bekerja di sebuah warung makan. Bukan chef utama, hanya assisten chef. Tapi jangan salah, dia lihai memasak semua menu. Hanya saja, dia tak lihai display makanan agar menarik. Dia sangat baik, dan pekerja keras. Begitu menyayangi keluarganya. Itu yang kutahu darinya. Enam bulan kami pacaran, dia memutuskan untuk jualan sendiri. Kemudian dua bulan setelah itu, dia melamar ku. Tak butuh waktu lama bagi ayah menerima lamaran Mas Rudi. Dalam waktu dekat kami menikah. Hanya sederhana, tak melakukan pesta besar. Karena semua biaya di tanggung Mas Rudi, pakai uang hasil kerjanya sendiri. "Saya terima nikahnya Desi Arshinta binti Hariyanto dengan mas kawin seperangkat alat solat dibayar tunai." ucap Mas Rudi lantang. Semua orang berteriak, "sah." Pertanda kami resmi menjadi pasangan suami istri dihadapan agama dan negara. ***** Awalnya Mas Rudi memintaku untuk berhenti bekerja setelah kami menikah. Namun aku menolak, dengan alasan sayang gaji yang sudah lumayan bisa ditabung buat beli rumah. Namun Mas Rudi bersikeras kalau itu semua adalah tanggung jawabnya. "Maaf ya kita cuma bisa kontrak rumah kecil ini, tapi aku janji akan belikan kamu istana suatu hari nanti," ucapnya serius tapi terlihat lucu waktu itu. Dua bulan pernikahan, Allah mempercayakan kehamilan padaku. Karena kondisi yang cukup lemah dan hb yang rendah aku menyerah, memutuskan resign akhirnya. Selama di rumah, Mas Rudi tak pernah membebani dengan pekerjaan rumah yang berat. Hanya menyapu dan mengepel saja. Dia tak pernah mengijinkan aku memasak. Kalau bukan dia yang masak, ya kita beli makanan di luar. Bahkan saking berlebihannya dia tak mengijinkanku mencuci, dia antar ke tukang loundry. Dia benar-benar menjaga kehamilan pertamaku. Saat tengah malam dia memasak untuk berjualan, dia tak pernah membangunkanku. Kalau sudah siap baru aku dibangunkan. "Desi, kamu ikut jualan atau gak?" ucapnya jika sudah siap berangkat. Jika aku ingin, aku boleh ikut. Jika tak, dia menyuruhku istirahat kembali dan berpamitan. Setiap pulang jualan, dia memberiku jatah jajan dan boleh untuk beli sesukaku. Aku tak pernah bertanya berapa penghasilannya. Karena soal tagihan listrik dan air semua Mas Rudi yang urus. Aku ingin apa tinggal bilang terbeli. Aku mau makan apa, makan dimana tinggal sebut keturutan. Bahkan, jika dia mau main ke rumah ibunya dia selalu bertanya aku mau kemana? Kerumah ibuku, atau ketemu teman? Selain panas, jarak kontrakan ke rumah mertua satu setengah jam lamanya. Dia khawatir dengan kehamilan ku. Jadi aku jarang ikut. Dia hanya selalu ijin mau nengok ibunya dan kasih uang belanja itu saja. Dan aku tak pernah mempermasalahkan jika Mas Rudi memberi ibunya uang belanja. Itu sebagai bentuk bakti anak pada ibunya. ***** Sungguh aku baru tahu kalau selama ini Mas Rudi dijadikan sapi perah keluarganya. Demi gaya hidup mereka yang tinggi. Aku pun tak pernah bertanya angka di dalam rekening Mas Rudi. Sepenuhnya aku percaya padanya. Baru ku ingat. Dulu sebelum menikah, aku pernah di ajak Mas Rudi ke pernikahan adik ipar Mbak Ida. "Mana uangnya? Sudah ada?" tanya Mbak Ida kala itu. "Iya ini Mbak," ucap Mas Rudi menyodorkan lima lembar warna merah pada kakaknya. "Uang apa Mas?" tanyaku saat Mba Ida sudah pergi dengan motornya. "Itu, mau buat bayar baju seragaman untuk kondangan iparnya besok. Malu kalau gak seragam, lagian baju-bajunya sudah jelek katanya," jawab Mas Rudi. Aku dan Mas Rudi ikut juga menghadiri acara itu, tapi kami yang masih pacaran dan masih muda gak perlu tuh couple-an segala. "Jangan lupa! Besok kasih kado yang bagus ya Rud, biar gak malu. Soalnya calon istri adikku itu anak tunggal, kaya pula." Kudengar teriakan Mbak Ida sebelum Mas Rudi mengantarku pulang hari itu. ****** "Ibu... hari ini masak apa?" teriak Rian membuyarkan konsentrasi ku menguping pembicaraan ibu dan Mbak Ida. Heran. Anak udah gede bangun tidur bukannya cuci muka malah teriak-teriak tanya makan. Lagian kebo bener sih, gak kerja kok jam sembilan baru bangun. Kalau aku yang jadi maknya, tak guyur air segayung itu bocah. "Ibu? Hari ini biar aku yang masak ya?" Mereka gelagapan salah tingkah. "Eh, Desi. Ndak usah biar ibu aja yang masak. Maaf ya? Tadi badan ibu agak pegel, jadi belum sempat belanja. Sini belanjaannya." Melihat ada ayam banyak dan berbagai macam sayur Mbak Ida matanya langsung ijo. Dia menarik plastik belanja yang kini di pegang ibu. "Lah? Kenapa beli ayam? Kan ibu sudah bilang tadi malam, kamu belum boleh makan ayam, telur, pokoknya yang amis-amis ituloh." cerocos Mbak Ida panjang lebar. "Ayam itu bukan buat aku Mbak, buat seluruh orang yang dirumah ini. Kalau aku, cukup makan sayur saja. Kayak nggak tahu aja, Mas Rudi kan kasih uang banyak. Sayang kalau di rumah ini ibu dan adek-adek kulihat gak pernah makan ayam," jawabku sengaja menyindir. Jujur, aku lelah. Lelah dengan sandiwara ibu dan anak yang baru kudengar. Tapi aku tak boleh meledak sekarang. Aku harus mengorek dulu soal uang yang selalu gampang Mas Rudi beri untuk mereka. ***** Ada waktunya Desi melawan kan guys? Jadi Desi harus gimana, setelah dia tahu kemana larinya uang Rudi? Jadi? Apakah hanya Mbak Ida saja yang suka julid sama Desi? Apakah ada yang lain yang bermuka dua? 1Atau justru ada masalah yang lebih besar yang akan dihadapi Desi jika ia melawan? **** tunggu kelanjutannya ya.. jangan lupa kasih krisan jika sekiranya kurang menarik, karena masih pemula.. terima ksih semua yg sudah membaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD