Bab 3

1194 Words
'Halo? Iya? Kenapa? Di rumah ada ribut. Desi nangis? Tidak jelas bagaimana, Mbak? Ya sudah terimakasih, saya segera kesana,' ucapku menutup sambungan. Benar ada yang tidak beres. Aku harus segera pulang menaruh belanjaan dan menuju rumah ibu secepatnya. ****** "Ibu, nih adek nangis!" Teriak Dhea anak sulung Mbak Ida. Mbak Ida meraih Rhea dalam gendongan Dhea dan segera menyusuinya. Bapak segera berlalu karena tak ingin terlihat emosi di depan cucunya. Biar bagaimana Dhea sudah menginjak kelas 5 sekolah dasar. Sedikit banyak mulai mengerti urusan orang dewasa. "Des, Ibu rebus air untuk Soraya mandi dulu ya? Sudah sore. Kamu juga Ida, sekalian Ibu rebuskan. Biar nanti bisa mandi bareng," ucap Ibu tanpa ada rasa kecewa pada Mbak Ida. Akupun segera masuk kamar menyiapkan ganti baju Soraya dan bedak juga minyak telon. Mas Rudi telfon sampai lima kali? Kok aku gak tahu sih. Tapi ada apa? Kucoba telfon balik mungkin ada yang penting, sepuluh menit namun tak ada jawaban. "Des.... " Panggilan Ibu mengagetkanku. Aku mendongak, "ayo ikut Ibu, biar Ibu ajarkan mandiin Soraya. Airnya sudah siap," lanjut Ibu. "Ayo Rhea juga mandi," ucap Ibu pada Mbak Ida yang masih menyusui di ruang tamu. "Dhea, siapkan baju adek sama handuk bawa kesini ya!" Perintah Mbak Ida pada anak sulungnya. Ternyata di kamar mandi Ibu sudah menyiapkan dua ember untuk mandi Soraya dan Rhea. Saat hendak membungkuk dan memasukkan Soraya dalam ember, sengaja Mbak Ida menubruk punggung ku. Badan ku terhuyung, hampir saja Soraya jatuh kalau saja Ibu tak sigap memegang lenganku dan beralih mengambil Soraya. "Kamu liatin saja dulu, besok pagi baru praktek," ucap Ibu akhirnya. Mungkin beliau tak ingin melihat Mbak Ida mengulangi perbuatannya barusan. Aku hanya mengangguk dan memperhatikan bagaimana ibu memandikan Soraya, yang semula di tidurkan di lengan ibu kemudian badannya dibalik menjadi tengkurap. Apa aku bisa? Aku harus cepat belajar agar cepat pula pindah dari rumah ibu. Selesai mandi aku mengambil alih Soraya di gendongan ibu dan memakaikan dia baju. Setelah badannya segar dan kenyang menyusu, Soraya kembali tidur. Aku bergegas mandi selagi ia tidur, siapa tahu nanti Mas Rudi nelfon lagi. ***** "Assalamu'alaikum." Itukan suara Mas Rudi? "Waalaikumsalam," jawabku keluar dari kamar. Aku mencium tangan Mas Rudi. Kok dia malah pulang? Apa bener ada yang penting sampai sore-sore begini dia pulang kesini? "Soraya mana?" tanya Mas Rudi. "Dia baru aja tidur, Mas." "Ya sudah ini bawa ke belakang. Tadi Mas beli sayur bayam sama ayam goreng." Aku menelan ludah, 'asyik bisa makan lengkap apalagi kalau ada sambalnya,' batinku bersorak girang. "Eh... Desi itu masih masa pemulihan lho Rud, belum boleh makan begituan. Kalaupun sayur hanya dikit aja kuahnya gak boleh banyak-banyak. Apalagi ayam, luka jahitan bekas lahiran kan belum sembuh betul," sahut ibu dari belakang. Aku hanya bisa mengerucutkan bibir. Setiap hari menu makanku hanyalah seputar tahu tempe dan paling mewah pake tumis sayuran. Itupun terbilang jarang pakai sayur. Menurut orangtua dulu harus begitu katanya. Dan lagi-lagi aku yang hanya menantu cuma bisa ikut saja. "Lho ini baju Soraya kok gak dibawa masuk sekalian, Des?" tanya Mas Rudi menunjuk baju di atas sofa. 'Gawat. Itu kan baju Rhea yang tadi siang di kembalikan Mbak Ida ke aku, kemudian bikin seluruh rumah ribut, harus jawab apa sekarang?' "Oh itu bajunya Rhea, Rud. Aku tadi kasih ke Desi, biar buat Soraya aja," jawab Mbak Ida tenang. "Kok gitu Mbak? Kenapa? Mbak gak suka modelnya, mau model lain apa gimana?" tanya Mas Rudi lembut. "Nggak gitu kok Rud, Rhea suka nangis kalau di pakein baju itu. Agak sempit sepertinya pas masuk di kepala Rhea." "Oh, kenapa gak langsung disimpan Des?" tanya Mas Rudi beralih menatapku. "Jangan biasakan seperti itu. Lain kali baju itu langsung simpan kamar, kalau ada tamu ndak enak diliatnya," lanjut Mas Rudi. "Ehmm...," Aku ragu menjawab pertanyaan Mas Rudi. Takutnya dikira tukang ngadu. "Istri kamu ya gitu. Mbak bilangnya baik-baik, suruh simpan bisa dipake Soraya nanti kalau udah muat. Eh malah Desi marah, dibilang Mbak gak menghargai kamulah. Mbak kasih baju bekas buat ponakan sendirilah. Tapi kan menurut Mbak sayang aja. Masih baru kok, belum bekas," jawab Mbak Ida menyela. Mencari pembenaran tepatnya. 'Kenapa lagi dia? Drama apalagi ini?' Setengah hati ku pungut juga baju itu dan membawanya ke kamar. Lagian semakin malas aku melihat tingkah Mbak Ida yang selalu sok manis itu. Apa jangan-jangan memang sifat dia seperti itu ya aslinya? Entahlah. Aku memilih mengurung diri dikamar hingga isya. Hingga Mas Rudi berpamitan pulang ke kontrakan karena besok harus tetap jualan. Aku hanya diam saat Mas Rudi pamit, masih jengkel saja rasanya hatiku. ****** Pagi ini ibu libur. Aku berinisiatif belanja dan masak sendiri untuk sarapan ku. Tentu saja aku lebih awal mencuci baju sejak sebelum subuh dan memandikan Soraya setelah semua selesai. Begitu dia tidur aku meluncur ke warung. "Wah tumben Mbak Desi yang belanja?" Aku tersenyum ramah pada ibu berdaster ungu. "Mbak Desi kemarin kenapa nangis?" tanya ibu berkaos kuning. Sepertinya ini ibu yang mengintip kemarin. "Eh.. Ah enggak kok, bu. Salah liat kali," jawabku beralasan. "Biasa lah Mbak Jumi. Kayak nggak tau aja kalau Ida itu mulutnya pedas," sambar pemilik warung. "Dia aja kalau disini suka jelekin Mbak Desi kok," lanjutnya lagi. Ibu yang lain hanya manggut-manggut. "Katanya Mbak Desi gak pernah bantu mertua bersih-bersih ya? Terus udah gitu pelit juga," tanya ibu yang kaos kuning itu lagi. Yang kutahu namanya Jumi. "Lah pelit darimana? Rudi itu kalau kasih duit ke ponakannya gak pernah tanggung-tanggung. Dan kemarin aku liat Mbak Desi malah bayarin baju di Mbak Rina tukang kredit itu. Iya kan Mbak?" tanya Mbak Jumi meyakinkan ibu yang lain. "Saya sudah selesai, saya permisi dulu ya ibu-ibu," Kuping rasanya kok panas ya lama-lama. Aku menaruh belanjaan di meja karena tiba-tiba ada Mbak Ida. Dia sedang di dapur ibu. "Ibu kenapa sih, masih baikin Desi terus?" "Ibu memang harus, biar dia betah tinggal di sini. Lagian semenjak dia di sini, jatah belanja ibu dari Rudi itu lebih banyak dari biasanya," jawab ibu. "Tapi aku yang tekor bu, apalagi semenjak ada Soraya. Biasanya dia kasih dua lembar merah buat Dhea sama Rhea, sekarang dikurangi. Buat beli diapers lah, kebutuhan inilah itulah. Sebel aku," ucap Mbak Ida lagi. "Aku kurang bebas bu mau minta ini itu sama Rudi semenjak Desi tinggal disini." "Ya sabar, sampai masa nifas nya Desi selesai. Lagian ibu mau suruh Rian ikut kerja bantu Rudi jualan selama Desi disini. Biar bisa minta duit buat bayar cicilan motor," kata ibu lagi. Rian adalah adik Mas Rudi. Dia baru dibelikan motor lima bulan yang lalu. Janjinya sih mau giat kerja setelah dibelikan motor. Namun kenyataannya dia masih menganggur. Ah bukan. Tepatnya dia itu susah bersosialisasi. Berkali keterima kerja, tapi dalam waktu sebentar sudah mengundurkan diri. Bahkan Mas Rudi pernah memberikan biaya untuk diklat satpam. Setelah selesai diklat malah tak jadi mendaftar satpam. Alasannya dia gak mau ditempatkan diluar kota. Lalu selama ini cicilan motor? Apa jangan-jangan Mas Rudi? Selama ini memang aku tak pernah bertanya perihal pendapatan Mas Rudi sehari berapa, tabungan Mas Rudi berapa. Aku hanya selalu dikasih uang jajan setiap harinya. Untuk segala kebutuhan tinggal sebut Mas Rudi belikan. Mau makan tinggal tunjuk makan dimana, makan apa, pasti keturutan. Apa selama ini aku kurang memperhatikan keuangan Mas Rudi ya? Hingga dia jadi sapi perah keluarganya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD