"Pagi, Sayang," kata Cakka yang terlihat terburu-buru. "Aku berangkat yah," lanjut Cakka lagi lalu mengecup kening istrinya.
Oik mengernyitkan dahi. Ia bingung, tak biasanya suaminya melewati sarapan setelat apapun dia. "Kamu gak sarapan dulu?"
"Gak, Sayang, aku buru-buru, maaf yah," sesal Cakka.
Oik mengangguk lalu mengantar suaminya hingga depan pintu. Ditatap mobil suaminya yang telah melaju meninggalkan rumah. Setelah mobil suaminya tak terlihat lagi, ia kembali masuk ke dalam rumah untuk menemani anak-anaknya sarapan.
"Ayah gak sarapan, bukan berarti Bunda ikut gak sarapan juga kan?" sindir Vando membuat Oik tertawa pelan lalu memakan sarapannya.
Kini anak-anaknya telah berangkat juga. Tinggallah Oik sendiri di rumah seperti biasanya. Sejak menikah, Cakka tak mengizinkannya bekerja. Kadang ada rasa bosan ketika ia hanya di rumah, tapi ia tak pernah mengeluh. Kala rasa bosan itu datang menghampirinya, ia akan membaca novel-novel favoritnya atau hanya sekedar memainkan biolanya kembali.
Hari sudah menjelang sore saat Oik terbangun dari tidurnya. Tadi ia berniat menonton film setelah makan siang, tapi baru setengah film berjalan rasa kantuk menyerangnya. Hingga akhirnya ia tertidur tanpa ia sadari. Ia tertidur di sofa dan TV tetap dalam keadaan menyala. Kalau saja Oca tak membangunkannya saat sampai di rumah setelah pulang kuliah, mungkin ia akan bablas tidur hingga pagi.
"Kok Bunda tidur di sofa sih?" tanya Difa.
"Bunda ketiduran," jawab Oik singkat. "Kalian baru pulang?"
"Iya, Bun," sahut Oca, sementara Difa hanya mengangguk.
"Bunda ke kamar yah!" pamit Oik. "Kalian mending mandi gih! Udah sore."
Oik melangkah ke kamar lalu mengambil HPnya yang tertinggal di atas nakas. Satu pesan masuk. Ia pun membacanya.
Sayang, hari ini aku lembur. Aku gak bisa ikut makan malam di rumah malam ini. Maaf yah. Aku pulang aggak larut karena kerjaanku benar-benar menumpuk. Maaf Sayang, love you.
Cakka
Oik menghela napas setelah membaca pesan yang ternyata dari suaminya itu. Tak biasanya Cakka sampai lembur seperti ini. Sekalipun pekerjaannya menumpuk, suaminya pasti selalu pulang sebelum makan malam dan membawa pekerjaannya untuk di kerjakan di rumah.
***
"Ayah tumben lembur, Bun?" tanya Vando saat makan malam.
Oik mengendikan bahunya. "Mungkin Ayah kalian lagi benar-benar banyak kerjaan."
"Oh yah Bun, besok kan weekend, kita mau pergi sama teman-teman, gakpapakan?"
Oik mengangguk. "Asal kalian ingat waktu aja."
"Pasti dong, Bun!" sahut Vando semangat membuat Oik tersenyum.
Makan malam telah usai dari tadi. Anak-anaknya pun telah masuk ke kamar masing-masing. Kini hanya Oik sendiri di ruang keluarga menunggu kepulangan suaminya sambil menonton TV. Berkali-kali Oik melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul sepuluh malam, tapi Cakka belum juga pulang. Ini pertama kalinya, suaminya belum pulang walau sudah selarut ini. Mata Oik mulai berat. Ia memutuskan memejamkan matanya sejenak.
***
Cakka melangkah memasuki rumahnya yang terlihat sepi. Mungkin istri dan anak-anaknya sudah tidur mengingat ini sudah hampir larut malam. Pekerjaan di kantornya hari ini benar-benar menyita waktu. Kalau bukan demi rencana yang telah ia susun untuk istri tercintanya, ia tak akan sudi pulang selarut ini. Dilihatnya jam yang telah menunjukan pukul sebelas malam. Ia tersentak saat melihat istrinya tertidur di sofa dan TV dalam keadaan menyala. Ia merasa bersalah membuat istrinya menunggu seperti ini. Ditatap wajah istrinya yang sudah terlelap itu lalu mencium keningnya.
"Maaf, Sayang," gumam Cakka pelan lalu mematikan TV dan menggendong tubuh istrinya dengan hati-hati menuju kamar mereka.
***
"LO GILA HAH TELEPON GUE JAM SEGINI?" teriak seseorang di seberang sana membuat Vando menjauhkan HP-nya dari telinganya.
"Gue kangen, Nona."
"Dasar sinting! Ini udah hampir tengah malam, harus yah elo ganggu tidur gue?!"
Vando terkekeh. Bahkan di telepon sekalipun gadisnya itu tetap suka berteriak. "Lo kan belum tidur, Nona."
"Gimana gue mau tidur kalau hape gue bunyi terus hah?!"
"Gue lagi sedih nih, Nona."
"Setelah robot dan sepeda, lo sedih gara-gara apa lagi hah?! Kalau sampai gak penting, gue kubur lo hidup-hidup besok, Alien!"
"Gue sedih liat Bunda gue, Nona."
"Hah? Bunda lo kenapa? Terus rencana besok gimana?"
Vando tersenyum lebar mendengar nada cemas itu. "Gue jadi terharu Nona, ternyata elo perhatian banget sama calon mertua. Tenang aja rencana besok tetap jadi kok."
Vando menghitung mundur, sebentar lagi pasti akan, tiga, dua, satu....
"ALIEN SINTING! GUE SERIUS i***t! BUNDA KENAPA?"
Vando tertawa saat perkiraannya tepat sekali.
"Dasar sakit!"
"Cieee yang manggil Bunda juga," goda Vando. "Bunda gakpapa kok cuma keliatan kaya lagi ada pikiran aja."
"Dasar bodoh! Kirain gue kenapa! Udah ah gue ngantuk!"
Sambungan teleponnya pun terputus. Senyum Vando kembali merekah. Diteleponnya lagi gadisnya itu.
"APA LAGI ALIENNN?!!"
Vando kembali menjauhkan HPnya dari telinganya saat Ara menjawab teleponnya.
"Good night, Nona, jangan lupa mimpiin gue yah," ucap Vando lalu langsung mematikan sambungan teleponnya sebelum teriakan gadisnya kembali menggema.
Vando menatap langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian HP Vando berdering. Ara memanggil, membuat Vando mengernyit bingung. Ia pun menjawab panggilan gadisnya itu.
"Jangan berharap gue bakalan mimpiin lo Alien!"
Sambungan telepon langsung terputus sebelum Vando sempat menjawab. Vando mengerjap lalu berbahak geli. Gadisnya benar-benar sangat mengemaskan bukan?