14. Keponakan

1417 Words
Ara bangun saat tenggorokannya terasa kering. Ia pun mengambil gelas yang berada di meja nakasnya. Kosong. Dengan malas, ia bangkit dan melangkah menuju dapur dengan mata yang masih setengah terpejam. Ia menuruni tangga perlahan karena tak mau mengambil risiko jatuh dari tangga. Ia ingat, tadi malam Papa ceramah panjang x lebar x tinggi tentang pentingnya menjaga kesehatan semalam suntuk. Kini tubuhnya terasa lebih baik dari kemarin, bahkan tadi malam makanan sudah bisa masuk ke perutnya setelah meminum obat yang telah disiapkan Papa. Hari ini ia pun tidak masuk sekolah karena Papa menyuruh ia untuk istirahat penuh. Saat sampai di dapur, hidung Ara mengendus aroma sup krim yang begitu menggiurkan. Dilihatnya sosok pria berkaus putih di depan kompor membelakanginya. Ara mengernyit bingung. Apa Papanya juga tidak masuk kerja? Kalau tidak, kenapa jam segini Papanya masih santai berkutat di dapur? Entahlah! Ara tak ambil pusing. Ara melangkah menghampiri sosok yang sedang masak itu lalu menyenderkan dahinya ke punggung yang tampak nyaman itu. Matanya kembali terpejam. "Haus, Pah," kata Ara dengan manja. Tunggu dulu! Ini bukan aroma Papanya. Ara pun menghirup aroma itu sambil mengingat-ingat. Sepertinya ia kenal dengan aroma ini. "Pah?" Deg Itu bukan suara Papanya. Ara langsung membuka matanya tepat sosok itu berbalik menghadapnya. Matanya kini sukses melotot saat mengetahui siapa sosok itu. "Lo ngapain ada di sini, Alien?!!" teriakkan Ara menggema, menyeruak di dalam rumah. Vando memgerjap lalu tersenyum lebar dan bertepuk tangan riang. "Horeee! Lo udah bisa teriak, Nona!" "Gak usah lebay!" ketus Ara saat melihat ekspersi Vando yang berlebihan. "Lo ngapain di sini hah?!" "Nemenin lo lah, Nona," jawab Vando kalem lalu mematikan kompornya. Hampir saja ia lupa kalau ia sedang memasak. "Gak perlu! Mending lo pulang sana! Ngapain coba pakai bolos segala hah? Kalau Bunda tau gimana?!" seru Ara. Ia tak habis pikir dengan Alien di hadapannya. "Bunda tau kok, Nona," jawab Vando. "Lagian ini juga permintaan Papa, mana mungkin gue nolak permintaan calon mertua, Nona." "Pulang sana!" usir Ara tak peduli. Ia hanya ingin istirahat tenang tanpa gangguan siapa pun. "Gak mau!" Vando mengambil gelas lalu mengisinya dengan air putih. "Nih, minum dulu, Nona!" Ara mendengus. Diambilnya gelas itu dari tangan si Alien lalu meminumnya. "Tadi lo manggil gue apa? Pah?" Vando manggut-manggut. "Gak masalah sih, tapi gue maunya di panggil Daddy sama anak-anak kita nanti." "Uhuk, uhuk, uhuk!" Ara terbatuk saat tersedak minumannya. Dengan sigap Vando pun menepuk pelan punggung Ara. "Makanya minumnya pelan-pelan Nona. Jadi, keselekkan." Ara menghirup udara sedalam-dalamnya saat batuknya mereda. Tenggorokannya kini terasa perih padahal ia hanya tersedak air. Setelah merasa lega, Ara menatap Vando garang. "Kalau ngomong tuh jangan asal nyablak, Alien! Anak-anak kita? Mimpi lo!" Vando terkekeh. Dia kira karena apa gadisnya tersedak, ternyata gara-gara ucapannya tadi. "Gue gak mimpi, Nona, tapi itu kenyataan, cuma tinggal tunggu waktu aja." "Hidup itu gak usah kebanyakan berkhayalan deh,  Alien! Udah sinting, nambah sinting lo ntar!" ketus Ara. "Lo salah, Nona!" bantah Vando. "Hidup itu perlu berkhayal Nona, apalagi seorang penulis. Mereka harus banyak-banyak berkhayal untuk menciptakan karya mereka. Manusia itu perlu berkhayal untuk jadi motivasi, tapi manusia juga harus tau batasan, yang salah itu udah berkhayal tinggi-tinggi tapi gak melakukan apapun, cuma bengong doang. Itu baru gak boleh, Nona." Ara mendengus. "Kadang gue gak percaya kalau itu lo yang ngomong, Alien." "Lo yang dengar aja gak percaya, apalagi gue yang ngomong, Nona." Vando terkekeh melihat bibir gadisnya mengerucut imut. "Kayanya tadi gue nyuruh lo pulang deh, Alien, bukan jadi Vando Teguh!" cibir Ara. Ia bingung mengapa obrolannya ngalur-ngidul entah ke mana. "Gak mau!" tolak Vando tegas. "Pulang!" "Gak." "Pulang, Alien!" "Gak mau, Nona." "Ini rumah gue!" "Iya gue tau, Nona." "Yaudah sana pulang!" "Mending kita suit." "Suit?" "Iya suit, kalau gue menang lo gak boleh nyuruh gue pulang, gimana?" Ara berpikir sejenak. Ayolah, Ra, ini hanya suit dan gak sulit. Ara pun mengangguk. "Oke!" Mereka pun mengambil ancang-acang. Tiga, dua, satu! "Gunting!" "Kertas!" "Huraaay, gue menang, Nona!" Vando melompat-lompat girang padahal ia hanya menang suit. Ara merengut pasrah. Ia kalah suit. Iya suit! Itu loh yang suka dilakukan oleh anak-anak kecil untuk memulai permainan setelah Hom Pih Pah. Silakan ini dipraktekkan untuk mengakhiri perdebatan di saat kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah seperti dirinya dan Alien tadi. Cara mudah yang bisa menimbulkan konflik baru kalau salah satu ada yang curang. Kegiatan mudah, tapi membuat kita berpikir keras, padahal hanya ada tiga pilihan, kertas, gunting, batu! Astaga! Kenapa ia jadi mikir ke mana-mana! Ini pasti gara-gara suit! Nah loh suit lagi kan! "Kenapa, Nona?" tanya Vando saat melihat gadisnya geleng-geleng. "Gak!" ketus Ara. "Yaudah, duduk gih! Kita sarapan dulu, biar gue bawain sup krimnya," suruh Vando. "Perlu suit gak nih buat nentuin siapa yang cuci piring?" ceplos Ara, yang masih baper gara-gara suit tadi. Mungkin setelah ini ia harus nanya ke mbah yang tahu segalanya itu cara agar menang suit, buat jaga-jaga kalau si Alien mengajaknya suit kembali. Vando tertawa lalu mengacak rambut Ara gemas. "Gak perlu, Nona, biar gue yang cuci piring." Ara tersenyum senang lalu duduk. Tak lama kemudian Vando datang dengan membawa semangkok sup krim. "Kok cuma satu mangkok?" tanya Ara bingung. "Lo irit apa pelit? Gue gak mau makan semangkok berdua! Mana kenyang!" "Gak lah, itu buat lo doang kok, Nona." "Lo gak makan?" Vando menggeleng. "Udah tadi di rumah, Nona." Ara mengangguk lalu mulai menyuap sup krim buatan si Alien ke mulutnya. "Enak?" Ara kembali mengangguk. Masakan si Alien benar-benar enak. "Lo bisa jadi chef, Alien, kalau lo mau." "Tapi sayangnya gue gak mau, Nona." Ara mendengus. "Gak mau mulu, terus maunya apa?" "Maunya jadi Daddy dari anak-anak kita nanti, Nona." Ara tak merespon. Ia tetap tenang memakan makanannya. "Kok lo gak keselek lagi, Nona?" "Berarti lo kurang beruntung, Alien," sahut Ara. "Berarti gue harus coba lagi dong, Nona?" "Mending lo jawab sendiri aja deh, Alien!" Ara kesal mendengar Vando yang terus berkicau. Vando tertawa lalu mengacak-acak rambut gadisnya kembali. "Makan yang banyak, Nona, gue gak mau liat lo sakit kaya kemarin." Ara tak menjawab. Setelah selesai makan ia langsung menuju ruang keluarga untuk menonton TV, sementara Vando mencuci piring. "Nonton apa, Nona?" tanya Vando yang telah selesai mencuci piring. Ia melihat gadisnya yang hanya menggunta-ganti chanel TV. Ia pun duduk di samping gadisnya. "Gak tau! Gak ada yang seru!" Ara pun mematikan TV-nya lalu melempar remot sembarang. "AUNTYYYYYYYY!!" teriak dua sosok mungil berwajah mirip yang tiba-tiba datang. Mereka berlari lalu menerjang tubuh Ara. "Bangun jagoan, badan kalian berat!" Ara berhasil menyingkirkan tubuh mereka itu. Kedua bocah laki-laki yang seperti copy paste itu mengerjap lucu membuat Ara gemas ingin mencubit pipinya. Namun Ara mengurungkan niatnya. "Ciuman untuk Aunty mana?" Kedua bocah laki-laki itu tersenyum lebar lalu-- Cup Ara melotot, sementara kedua bocah itu menatap galak sosok laki-laki yang lebih besar dari mereka. Kedua bocah laki-laki itu saling tatap lalu mengambil bantal sofa. "Serbuuuuuuu!!" seru mereka serempak lalu memukul Vando membabi-buta dengan bantal. Vando tak sempat menghindar. Ia tertawa saat kedua bocah laki-laki itu menyerangnya. "Musuhhh!" teriak salah satu bocah laki-laki yang berpipi tembem. "Musnahhh kamuu!" "Aunty milik kami!" teriak yang satunya lagi. "Ada apa ini?" tanya seseorang yang baru saja datang membuat bocah kembar itu berhenti memukul Vando. "PAPIIIIIIII!!" teriak bocah kembar itu serempak, siap untuk melapor membuat Ara mendengus geli. "Dia musuh, Pi!" seru bocah berpipi tembem sambil menunjuk Vando. "Harusnya kami yang mencium pipi Aunty, tapi malah dia rebut!" Bocah yang satunya lagi mengangguk semangat. "Ini namanya perang, Pi! Kami gak terima!" "Aku kan pacarnya!" Vando merengut membuat laki-laki yang dipanggil Papi itu tertawa. "Favian, Favion." Kedua bocah kembar itu ikut merengut saat Papi mereka memanggil nama depan mereka. "Kita kan gak tau, Pi!" protes Vian disambut anggukan Vion. "Lagian Om-nya juga gak bilang, Pi!" timpal Vion. "OM? AKU GAK SETUA ITU!" jerit Vando tak terima membuat Ara memutar bola matanya. "Terus maunya dipanggil apa? Paman?" ketus Vion. Vando mengeleng kencang. "Panggil Uncle." "Terus bedanya di mana coba?" cibir Vian. "Aku bingung, kok Aunty mau sih sama cowok model kaya gini!" "Kayak gimana maksud kamu?" pancing Ara. Ia sangat menyukai mulut pedas keponakannya yang satu ini. "Udah lebay, bodoh lagi! Percuma punya tampang oke kalau IQ-nya jongkok!" "Anggap aja Aunty khilaf." Ara ngakak puas. Apalagi saat ia melihat ekspresi Vando yang tidak percaya. "Mulut kamu kok kaya cabe rawit sih? Udah kecil, pedesnya nyelekit lagi!" gerutu Vando tak terima. Vian melengos menghampiri Vion, kembarannya yang sedang mengeluarkan mainan dari dalam tas yang di bawa Papinya dan mengabaikan gerutuan Vando. "Jadi, apa maksud kedatangan Ka Zio ke sini?" tanya Ara sambil melipat tangannya. "Kata Papa kamu sakit, makanya Kakak datang jenguk, sekaligus--." ucapan Zio terpotong. "Sekaligus?" Ara menunggu Kakaknya melanjutkan ucapannya, walau ia sendiri sudah tau kelanjutannya. "Titip si kembar yah?" Zio menatap adiknya dengan wajah memohon. "Maminya lagi pergi, besok baru pulang, nanti pulang kerja langsung Kakak jemput lagi kok." Tuh kan! Perkiraannya tepat. Pasti Kakaknya menitipkan si kembar kalau datang tanpa istrinya. Ara menghela napas lalu mengangguk. "Kamu tenang aja, pacar kamu kayanya bisa di andalkan. Tuh liat!" kata Zio sambil menunjuk ke arah Vando yang sedang ikut si kembar mengeluarkan mainan dari dalam tas yang tadi di bawanya. "Ini mah sama aja kaya aku ngurus tiga bocah!" seru Ara sebal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD