PART 2 - TUGAS SEORANG ISTRI.

1348 Words
"Aku paling tidak suka jika istriku mengambil keputusan tanpa bertanya dulu padaku," desis Restu sambil menutup matanya. Lebih baik ia menutup mata daripada melihat wajah gadis yang sok pura-pura polos ini. Memberikan mas kawin pertanda pernikahan pada orang lain? Sungguh Restu tersinggung sekali. Susah payah Nilam menelan salivanya. Ia merasa tidak berbuat salah, dan kenapa lelaki ini tampak membencinya. Andai ia tahu, Nilam pun tak ingin ada diposisi ini. "A-apakah aku punya salah?" tanyanya dengan gugup. Mengenyahkan rasa takut yang menguasai jiwanya, Nilam memilih melangkah mendekati ranjang, tak peduli pada tatapan kesal yang Restu tampakkan. "Apa maksudmu hendak memberikan mas kawin yang aku berikan tadi pada paman dan bibikmu? Kau sama sekali tidak menghargai pemberianku?" hardik Restu kesal. Baru sehari menjadi istrinya, gadis ini sudah membuat Restu gusar bukan kepalang. Menggeleng dengan cepat, Nilam berkata. "Bukan itu. Demi Tuhan, bukan itu. A-aku ... aku hanya kasihan pada paman dan bibik. Itu saja." Restu berdecak. Tentu saja! Dasar wanita pengeretan! Itu hanya alasanmu saja kan! "Ya, lalu kalau kau berikan semua perhiasan yang kuberikan, kau pikir aku akan memberikannya lagi padamu?" Menutup mata berusaha bersabar, Nilam menggeleng. Ia bukan wanita penggila materi. "Gak, aku gak akan minta lagi padamu. Aku ... aku gak pernah memakai perhiasan semahal itu. Aku pikir, kalau diberikan pada Paman dan Bibik, bisa berguna untuk menambah modal usaha mereka." Mata Nilam berkaca. Apapun akan ia berikan pada Paman dan Bibiknya. Nilam banyak hutang budi pada mereka berdua. "Kak Murni yang biasa menanggung hidup kami dulu. Dan kini kak Murni sudah gak ada, siapa yang akan membantu Paman?" Mata Nilam kembali berlinang mengingat sang kakak yang telah tiada. Yang membuat ia ada dalam posisi yang sama sekali tidak Nilam inginkan. Restu tertawa miris. "Itu sebabnya kau menerima pernikahan ini? Semata demi uang?" Nilam terdiam. Ia tak akan membantah. Biar lelaki ini berpikiran seperti itu. Yang penting, Nilam sudah mengeluarkan Pamannya dari musibah. "Setelah Murni tiada, tidak ada lagi kan sumber keuangan kalian?" "Selama ini, Murni calon istriku, yang menjadi tulang punggung di keluarga kalian? Dia bekerja keras di kota demi membiayai adiknya yang cuma bisa meminta?" Nilam menggeleng. Sungguh Nilam tidak percaya jika kakaknya memiliki calon suami seperti ini. Bermulut pedas. Atau aslinya memang begini? Tapi bagaimana bisa kakaknya yang lemah lembut dekat dengan lelaki yang bertutur kata, jauh dari kata sopan? Restu menatap keseluruhan tubuh istrinya, membuat Nilam otomatis tak nyaman. "Kamu sudah lulus sekolah? Kenapa gak bekerja di kota seperti Murni?" Seakan pertanyaan yang ia ajukan bisa ia jawab sendiri, kali ini Restu tersenyum miring dan mencemooh sekali. "Oh tentu saja, buat apa kamu kerja berat, kalau tanpa bekerja saja sudah bisa hidup enak." Nilam meneguk ludahnya dengan kesat. "Kamu gak tahu kan bagaimana kakakmu itu bekerja banting tulang di kota? Bekerja dari pagi hingga sore?" "Kamu juga gak tahu seberapa keras kakakmu berusaha membahagiakan hidupmu?" Nilam terdiam. Membiarkan apapun asumsi yang lelaki ini ucapkan. Ia tak akan membantah. Buat apa? Percuma bukan? Semua memang benar. Ia sudah lulus dan tidak bekerja. Bukan karena tidak mau, tapi Murni, sang kakak yang melarang. Padahal Nilam sudah lama menunggu ingin tahu seperti apa dunia kerja itu. Jika sekarang dia disalahkan karena malas, ini bukan maunya. Dia pun ingin membantu perekonomian keluarga. Ingin memberikan uang pada Paman dan Bibiknya. Tapi ia anak yang penurut. Yang akan melakukan apapun yang diperintahkan kakaknya. Murni yang meminta Nilam tetap diam di kampung sambil membantu Paman dan bibik mereka yang jualan sembako di samping rumah. "Atau mungkin ... sekarang ini kamu sedang bersorak dalam hati karena kakakmu meninggal? Jadi ... kamu bisa menggantikan posisi kakakmu menjadi istriku?" Kini Nilam menggeleng dan tak mampu lagi menahan laju air matanya. Jika tadi ia diam, tapi saat dituduh sedemikian rupa, Nilam tak tahan lagi. "Aku dan kak Murni hanya tinggal berdua. Kami sejak kecil selalu bersama. Hingga kami harus kehilangan kedua orang tua kami karena kecelakaan. Kalau kau pikir kehilangan kak Murni membuatku bahagia, kau salah. Tidak ada satupun saudara yang mau kehilangan satu sama lain." Nilam tersenyum miris. "Kau gak akan mengerti, karena kau bahkan gak memiliki saudara bukan?" Rahang Restu berkedut. Tak menduga istrinya yang baru saja ia nikahi berani melawannya. "Tolong, bantu aku menjalani pernikahan ini. Aku tahu ini sulit bagimu, karena harus kehilangan wanita yang kau cintai." Nilam menunduk. "Bukan karena uang, apa lagi karena harta yang kau miliki. Sungguh, aku tidak butuh itu semua." "Lalu untuk apa kau menikahiku? Lelaki cacat yang tidak berguna ini jika bukan demi uang?" Kembali tatapan kejam itu dialamatkan padanya. Restu berpikir wanita ini hanya tertarik pada hartanya. Jangan harap! Ia tak akan biarkan wanita ini pergi dengan harta miliknya. Sekali menjadi miliknya! Maka seumur hidup dia akan tetap bersamanya! Padahal Nilam punya alasan tersendiri. Tapi tak mungkin ia katakan pada suaminya ini. Biar, biar semua ia redam. Cukup lelaki ini tahu jika ia bersedia menikah dengan Restu. "Anggap aku melanjutkan cita-cita kakak aku, menikah denganmu. Kalian pasti saling mencintai satu sama lain. Kak Murni pasti juga ingin mendampingimu. Sekarang kita hanya dua manusia yang sama-sama kehilangan sosok Kak Murni." "Murni yang aku cintai, bukan kamu!" ketus Restu. Sungguh ia tak menyukai situasi ini. "Aku tahu." Nilam mengangguk seiring dengan air mata yang jatuh di pipinya yang halus. Karena akupun mencintai Elang kekasihku, bukan kamu. Andai Nilam bisa berteriak seperti itu. "Tapi sekarang aku yang jadi istrimu dan mau gak mau kita sudah ada dalam sebuah pernikahan yang sah dimata agama dan negara." Restu terkekeh. "Kau tak akan mendapatkan apapun dari aku." "Aku tak akan meminta apapun. Demi Tuhan, aku tak minta apapun." Kembali hati Nilam pedih dituduh yang tidak-tidak. "Bahkan mungkin saja ... aku tak akan bisa ...." Tenggorokan Restu seakan tercekat ketika bicara. Ada sesak yang menggumpul di dalam d**a. Siapapun lelaki di dunia ini akan lebih memilih mati, dari pada bernasib seperti dirinya. Telapak tangannya mengepal erat. Menyalurkan semua kemarahan yang ia rasakan. Seharusnya Restu tahu, ia tak bisa dikatakan lagi lelaki normal. Ya Tuhan. Restu mengerang dalam hati. Untuk bangun dari ranjang saja ia tak mampu. Berulang kali ia bertanya, kenapa ia tak mati saja dalam kecelakaan itu? Kenapa ia harus hidup jika seperti ini. Ini lebih buruk dari sebuah kematian. Sungguh, ini lebih buruk. Nilam tertegun. Ia seperti melihat mata lelaki itu berkaca. "Kau kenapa? Apa butuh sesuatu?" tanyanya khawatir. "Keluar." Suara Restu terdengar dingin. Matanya menutup rapat. Nilam yakin ia melihat setitik air mata yang turun di sudut mata Restu. "Tapi kena-" "Keluar kataku!" Teriakan Restu sontak membuat Nilam melonjak kaget. Kini lelaki itu menatapnya dengan emosi yang membumbung tinggi. Dan benar, dari sudut mata Restu ada jejak air mata di sana. Nilam tercekat, ia takut sekali. Dadanya bahkan turun naik saking takutnya. Sepertinya, ia memang harus keluar dari ruangan ini. Jadi, tanpa menunggu lagi Nilam mundur dan hampir menabrak kursi. Tak ia indahkan, bergegas gadis itu keluar dari kamar perawatan VVIP itu. Nilam memegang dadanya. Ya Tuhan. Ia tak suka dibentak begini. Ini baru hari pertama pernikahan mereka, bagaimana besok, lusa dan beberapa bulan ke depannya lagi? Ia tak berani membayangkan. Ternyata, pernikahan ini tak semudah yang Nilam bayangkan. Sanggupkah ia menjalani ini semua, jika bentakan Restu tadi saja sudah membuat tubuhnya bergetar hebat. Jadi di depan ruangan Restu, Nilam jongkok sambil membekap mulutnya. "Kak Murni," isaknya. "Aku gak kuat kak. Kenapa kakak harus pergi? Aku harus bagaimana kak?" Nilam yakin bukan hanya pernikahannya saja yang tidak indah. Hidupnya ke depan pun sudah pasti jauh dari kata indah. Ia masih menunduk meratapi nasibnya, ketika sebuah suara menegurnya. "Nilam, apa yang kau lakukan disini?" Sontak Nilam menghapus air matanya. Elsi sudah berdiri dihadapannya dengan sorot mata menahan emosi. "Suamimu di dalam sana tengah sakit, dan kamu malah jongkok di depan pintu? Ya Tuhan, kamu lupa bagaimana kewajiban seorang istri jika suaminya sakit?" Elsi geram bukan kepalang. "A-aku disuruh keluar bu sama Restu." Nilam tergagap. "Dan kamu menurut? Nilam, kamu harus menjadi istri yang berbakti. Kamu tahu anak saya gak bisa berbuat apa-apa. Kalau kamu di luar sini, bagaimana jika dia mau ke kamar mandi?" DEG. "Kamar mandi?" Nilam shock. "A-apakah kalau mau ke kamar mandi, aku harus membantu?" Tatapan Nilam teramat tak percaya. "Tentu saja, itu tugasmu kan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD