PART 3 - RESTU YANG NEKAD

1397 Words
Restu mendengus kesal ketika melihat ibunya masuk kembali dengan wanita yang bernama istrinya. Dia lagi! Sepertinya Restu harus membiasakan diri dengan sosok Nilam yang menjelma menjadi istri dadakan. "Mama kemana saja sih? Aku mau minum." Bak anak bayi, untuk bergerak meraih gelas pun Restu tak mampu. Elsi menoleh ke arah Nilam. "Nilam, kamu dengar suamimu mau apa?" Bergegas, Nilam menuju ke arah meja di samping ranjang. Di sana sudah ada sebuah dispenser dan beberapa gelas yang tersedia untuk minum. Nilam meraih satu gelas, mengisi air dari dispenser, diiringi tatapan kesal Restu. Setelah penuh, ia memberikan ke hadapan Restu dengan takut-takut. Lihatlah tangannya saja bergetar, dan mata Nilam tak mampu membalas tatapan Restu yang menyorotnya tajam. Restu mencekal lengan Nilam, membuat gadis itu tersentak. "Aku tidak akan memakanmu, kalau kau gemetaran seperti ini, yang ada minumanku tumpah." "Ma-maaf." Nilam mengangguk. Ia tahu suaminya ini tak mungkin melahapnya, dalam artian makanan. Tapi sorot matanya saja sudah membuat Nilam hampir pingsan. Tidakkah lelaki ini lelah dengan aura emosinya? Atau memang begini wajahnya? Selalu emosi tingkat tinggi. Mau tak mau Nilam menatap bagaimana Restu meneguk minumannya dari gelas yang ia sodorkan. Menatap bagaimana jakunnya turun naik ketika air itu masuk ke tenggorokannya. Padahal lelaki ini bisa kan meraih gelas dari tangannya dan minum sendiri. Bukan justru mencekal lengannya, dan ia yang menuang air ke mulut suaminya begini. "Sudah." Restu menjauhkan tangan Nilam. Nilam meletakkan gelas di atas meja kembali. Baru saja ia bernapas lega, ketika ibu mertuanya kembali berkata. "Kamu seka mulut suamimu. Masa memberi minum saja sampai berantakan begitu." Elsi menyodorkan tissue ke hadapan Nilam. Menyeka? "Ayo cepat tunggu apa lagi." Titah Elsi cukup jelas, dan ini harus Nilam lakukan bukan? Jadi ia meraih tissue dan kembali menatap Restu. "Maaf," ucapnya perlahan dengan mengarahkan tangannya ke wajah Restu. Menyeka perlahan tissue ke sudut mulut Restu. Restu hanya menutup mata. Sambil meneguk ludahnya, Nilam menatap detail wajah Restu. Tampan, itu yang Nilam akui dari wajah suaminya jika diperhatikan secara mendetail, tapi sayang- "Sudah?" Mata itu mendadak terbuka, membuat Nilam tersentak dan ia mendadak malu karena sudah memandangi wajah suaminya hingga mendetail. "Sudah." Nilam yang bingung mau apalagi memilih duduk di samping Elsi. "Nilam, nanti sore kita pulang setelah Restu dimandikan." "Baik Ma." "Perhatikan bagaimana suster memandikan Restu. Karena kalau sudah di rumah itu semua menjadi tugas kamu." "Baik Ma." Nilam menjawab dengan hati pilu. Sepanjang siang ini, sekalipun Restu terbaring, ia tetap menjalan tugasnya yang terbengkalai seminggu ini. Tak sengaja Nilam mendengar Restu bicara entah dengan siapa. "Saya sudah kirim email perjanjian kontrak. Tolong kamu tunjuk satu orang karyawan yang kompeten dan bisa diandalkan. Kalau saya sudah sampai Jakarta, saya bisa bekerja dari rumah." "Siapa saja, orang baru juga boleh jika kerjanya bagus." "Nanti saya kabarkan lebih lanjut lagi. Tolong handel dulu posisiku di kantor. Kalau gak terlalu penting, gak usah telepon. Oke." Sebenarnya apa pekerjaan orang ini? Sibuk terus sejak tadi. Sesekali Nilam melirik ke arah suaminya, dan saat Restu menyadari tatapan Nilam, gadis itu kembali menunduk. Tak lama pintu di depan terbuka. Beberapa perawat masuk membawa meja dorong. "Selamat siang Pak Restu, sudah waktunya makan siang." Dua orang perawat tersenyum ramah pada Bu Elsi dan suaminya. Nilam heran melihat meja dorong yang begitu banyak makanan. Serius dia makan sebanyak itu? "Setelah makan, obatnya di minum ya pak." Nilam bangkit dari duduknya. Ia harus kembali berperan menjadi seorang istri bukan? Oke, kalau hanya menyuapi makan, ia sanggup. Yang tak bisa ia bayangkan jika membantu lelaki ini mandi. Astaga! Dia bahkan belum pernah menyentuh organ tubuh laki-laki manapun. Apakah ia bisa melakukannya nanti? Mengenyahkan pikiran buruknya, Nilam meraih sepiring nasi dan menuang lauk menjadi satu. Elsi tersenyum. Pilihannya memilih Nilam tepat, ia menoleh ke arah suaminya dan berbisik. "Apa Mama bilang kan Pa?" "Nilam cocok menjadi istri restu." Elsi bangkit dari duduknya. "Mama dan Papa mau ke luar dulu cari makan. Itu makanan untuk kamu juga Nilam. Kamu juga harus jaga kesehatan. Karena kalau sudah di rumah Restu, kalian hanya tinggal berdua, Mama hanya tugaskan satpam dan asisten rumah tangga. Kamu fokus urus Restu. Mengerti kamu?" Nilam mengangguk. "Mengerti Ma." Setelah kedua mertuanya ke luar, Nilam kembali fokus pada pekerjaannya. Ia menyendok makanan ke depan Restu. Beruntung kali ini Restu yang masih memegang ponsel tak banyak drama. Ia membuka mulut dan mulai mengunyah. Nilam menatap bagaimana bibir yang tebal bagian bawah bergerak-gerak dalam menghaluskan makanan sebelum ditelan. Matanya menatap dagu yang mulai tumbuh rambut halus, sepertinya ia pun akan bertugas dalam merubah penampilan suaminya ini. Pertanyaanya? Bisakah ia melakukan semua itu? Membayangkan berdua saja di rumah suaminya nanti, Nilam sudah bergidik. Akankah mereka tidur dalam satu kamar dan satu ranjang? Bisakah ia menjadi istri yang baik? Sementara lelaki ini masih terlihat acuh tak acuh padanya? "Kalau kamu mau melamun, mending gak usah suapi aku!" Kembali suara Restu terdengar kesal. "Maaf." Kembali Nilam menyuapi Restu hingga selesai. Ia pun membersihkan mulut Restu dengan tissue. Paling tidak, ia sudah tidak canggung lagi sekarang. "Sekarang kamu makan sana. Aku gak mau Paman dan Bibikmu menyalahkan aku karena tubuhmu yang kurus kering itu." Ucapan Restu kembali pedas. Tapi Nilam tak mampu berbuat apa-apa. "Baik." Nilam memilih duduk di sofa, setelah sebelumnya mengambil piring jatah makannya. Tangannya menyuap sendok ke mulutnya, tapi ketika ia mengunyah, matanya berkaca. Ya Tuhan, akan sepahit apakah hidupku ke depannya. Menu yang ia makan pasti bukan menu sembarangan. Jika kamar ini terlihat mewah, maka menunya pun terasa asing di mulut. Andai dalam keadaan normal menu ini pasti enak. Sayang, seenak apapun makananya, bagi Nilam semua pahit. Membiarkan makanan masuk ke tenggorokan sambil terus mengeluarkan air mata, Nilam tak menyadari jika Restu melihat semua tingkah lakunya. "Sepertinya stok air matamu banyak ya." Mendengar itu, Nilam lekas menghapus basah pipinya. "Maaf." Restu berdecak. "Maaf! Maaf terus. Bosan aku mendengarnya!" "Mengapa kau seperti orang yang paling merana di dunia ini? Kalau kau tidak ingin menikah denganku, kenapa kau paksakan?" Nilam menghabiskan makanannya dengan cepat dan meminum habis air di gelas. "Aku tidak terpaksa. Aku tulus menikah denganmu." Bohong! Jelas Restu tahu itu. "Tulus?" Restu terkekeh. "Memang di desamu tidak ada yang bisa menarik perhatianmu, sampai-sampai kau mau menikah dengan lelaki cacat sepertiku?" Nilam bangkit dari duduknya, mendekat. Ia tahu lelaki ini pasti tersiksa dengan keadaannya yang sekarang. Otomatis kehidupannya pasti berubah. Bisa jadi lelaki ini hanya akan menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda, dan tidak mampu berbuat apa-apa. Tentu saja itu sangat menyiksa bukan? "Tolong jangan berkata seperti itu. Aku sudah menjadi istrimu, aku akan merawatmu sebagai sebuah bentuk tanggung jawabku, baktiku sebagai seorang istri." Restu menatap gadis di depannya. Matanya menelisik seraut wajah yang ia yakini hanya memakai bedak dan dipoles lipstik secara tipis. Mirip Murni, polos tanpa make up kekinian, sungguh berbeda dengan wanitanya. Nilam yang dipandang dengan tatapan menyelidik sedikit mengernyit tak nyaman. "Sungguh, kau mau berbakti sebagai seorang istri padaku?" Desisan Restu seakan alarm di kepala Nilam. "Kalau begitu buktikan kalau kau memang pantas menjadi istriku." Tiba-tiba saja tangan Restu mencekal lengan Nilam dan menarik gadis itu hingga hampir jatuh menimpa tubuhnya. Beruntung Nilam masih bisa bertumpu pada satu lengannya yang secara reflek mendarat di d**a Restu. Restu menarik kepala Nilam dan bermaksud memberi pelajaran pada gadis itu yang entah mengapa membuatnya kesal, tapi sayang ketika sedikit lagi bibir mereka bertemu, Restu mengerang. Bersamaan dengan pintu yang terbuka. "Argh ...!" "Restu!" Teriakan Elsi membuat Nilam melepaskan diri dari rengkuhan Restu. Denyut jantung Nilam masih bertalu ketika mengingat apa yang hampir saja Restu lakukan padanya. Ya Tuhan, hampir saja. Andai ia tidak menekan tubuh suaminya tadi, sudah pasti lelaki itu sudah bisa menyentuhnya. "Kamu kenapa Restu?" Elsi bergegas mendekat dan menekan tombol perawat. Tak lama beberapa perawat dan dokter berdatangan memeriksa. Nilam masih tampak shock. Ia takut terjadi sesuatu pada lelaki ini. Bukan karena statusnya sebagai suami, tapi ia takut disangka yang tidak-tidak. "Ini hanya karena tertekan sedikit tubuhnya, tidak apa-apa Bu." Dokter baru saja selesai memeriksa Restu. "Maklum dok namanya pengantin baru, mungkin gak sabar." Ucapan Elsi membuat Nilam tersentak. Dan ia tersadar ketika tadi posisinya dengan Restu terlihat oleh Elsi. Memang apa yang ibu mertuanya ini pikir? "Oh boleh sih untuk merangsang otot yang lemas dan kaku biar menjadi rileks dan tidak tegang." "Tapi kalau bisa nanti saja, tunggu Pak Restu sehat dan jangan terlalu kasar." Pipi Nilam memanas, ia melirik diam-diam ke arah Restu. Lelaki itu tampak biasa saja. Nilam semakin takut memikirkan, apa yang akan lelaki itu lakukan nanti jika mereka hanya berdua saja di rumah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD