PART 10 - PILIHAN SULIT

1994 Words
Andai aku mampu bertahan. Untuk tetap berdiri kokoh sekalipun tubuhku hancur berkeping. Hanya untuk membuktikan jika cintaku ini suci dan aku tak akan mudah berpaling. Akan lebih indah jika kita menikah dengan lelaki yang kita cintai dan sama mencintai kita. Itu yang menjadi impian seorang gadis cantik bernama Nilam Cahya. Hanya Elang yang menjadi cita-citanya untuk ia jadikan suaminya seorang. Hanya Elang satu-satunya sosok lelaki yang ia inginkan menjadi pendampingnya kelak. Karena pada Elanglah cinta Nilam tertuju. Cinta pertama dan selalu akan ia jadikan sebagai cinta terakhirnya. Kini tanpa hujan dan tiada badai, tiba-tiba ia dipaksa menikah dengan lelaki yang bahkan belum pernah ia lihat wajahnya. Sekalipun menurut almarhum kakaknya, sosok Restu sangatlah tampan, tapi Nilam sangat mencintai Elang. Apakah bisa ia menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai? Ia pun tak tahu seperti apa peringai lelaki itu. Sungguh, ia tak butuh lelaki kaya, ia cukup bahagia dengan Elang, bukan yang lain. Itu sebabnya ia sampai berlutut memohon pada Elsi untuk membatalkan semua ancaman wanita ini. Demi Tuhan, uang lima ratus juta! Jangankan punya, melihat pun mereka tidak pernah. "Tolong bu, kami hanya orang susah. Jangan perlakukan kami seperti ini." Nilam tidak pernah membayangkan nasibnya akan seperti ini. Ia tahu sekeras apapun mereka bekerja tak akan bisa mengembalikan uang yang telah dikeluarkan untuk persiapan pernikahan Restu dan Murni. Tapi apa yang terjadi, ini bukan kemauan mereka. Semua yang terjadi adalah takdir yang maha kuasa. Sangat tidak adil jika mereka dibebankan seperti ini. Kalau boleh memilih ia ingin melihat kakaknya menikah bukan dikubur! Nining sudah terisak sedih membayangkan suaminya akan masuk penjara. Ada suami saja, hidupnya sudah pas-pasan, bagaimana jika suaminya di penjara. Seakan tak melihat permohonan Nilam, Elsi menatap ke arah Gani dan Nining. "Saya sudah kasih solusi. Toh kalau keponakan kalian menjadi menantu saya, dia akan enak hidupnya. Bukan hanya Nilam, kalian pun akan kami jamin hidupnya. Kalau perlu rumah jelek ini dipugar supaya indah dipandang mata." "Rumah ini sudah tak layak untuk kalian tempati." Elsi masih menunjukkan kecongkakan yang luar biasa. Dia menunjukkan dia yang punya kuasa. Walau dalam hati ia pun miris melakukan semua ini. Tapi ini semua demi buah hatinya. Anak satu-satunya yang sudah dipastikan tidak akan ada yang mau menjadi pendampingnya selama hidupnya jika ia tak melakukan perintah keji ini. Ia tak mungkin melihat putra semata wayangnya sendiri selama hidupnya. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Elsi bukan manusia tidak berhati, tapi ia harus dan terpaksa, menutup rapat kedua telinga dan mata. Bahkan ia merasa hari ini menjadi manusia yang paling kejam, setelah melihat apa yang gadis di depannya ini lakukan. Nilam menjatuhkan lututnya. Ia tangkupkan kedua tangan di depan d**a. Air mata jatuh berbarengan dengan lututnya yang menyentuh lantai yang semula ia pijak. Mengharap sebersit iba dari wanita yang masih saja terlihat sangat angkuh sekali. "Bu, andai saya tidak memiliki kekasih, saya tidak akan berpikir dua kali untuk menjadi menantu ibu." Bibirnya bahkan bergetar hebat. Ia lupakan air mata yang semakin bercucuran di pelupuk matanya. Merendahkan diri serendah-rendahnya akan ia lakukan, semua demi pamannya. "Tapi saya punya kekasih bu," isaknya pilu. Ia tak mungkin mengkhianati Elang. Janji pada Elang adalah setia, hingga kekasihnya datang untuk melamarnya. "Saya bahkan sudah berencana menikah dengan kekasih saya." Ia berusaha menggapai telapak tangan Elsi. "Tolong jangan seperti ini Bu. Jangan laporkan Paman saya ke polisi." Nilam membiarkan air matanya mengalir begitu saja di pipi. Ia berusaha melembutkan hati Elsi. Elsi langsung menepis begitu saja telapak tangan yang berusaha menggapai tangannya. Oh sudah punya kekasih toh! Elsi menggerutu dalam hati. "Ma, sudah ya." Subrata memegang lengan istrinya. Ia sungguh tak tega. Baru kali ini ia melihat istrinya seperti ini. "Papa diam ya!" Kembali Elsi melayangkan tatapan tajam ke arah suaminya. Bukankah mereka sudah sepakat? Mengapa suaminya justru menyuruhnya mundur? Dasar gak punya pendirian! Padahal ia lakukan semua ini demi putra mereka. Lalu Elsi bangkit berdiri, masih mempertahankan sikap arogannya. "Saya kasih kalian waktu dua hari. Jika dalam jangka waktu itu kalian masih belum kasih keputusan, akan saya kirim polisi ke rumah ini. Ayo Pak kita pulang." Nilam terkejut luar biasa. Tidak, ini tidak boleh terjadi. "Bu tunggu bu. Tolong jangan masukkan Paman saya ke penjara bu. " Nilam bergegas meraih telapak tangan Elsi dengan cepat. Tidak peduli jika kembali tangannya terhempas. Ia bahkan bergerak dengan lututnya kembali menjangkau Elsi. "Kasihani kami Bu, tolong kasihani saya. Saya gak mungkin mengkhianati kekasih saya." Elsi berusaha melepaskan telapak tangannya, tapi Nilam masih menggenggamnya erat. "Semua keputusan ada di tanganmu Nilam." Mata Elsi jelas memaku gadis cantik di depannya. Ah dalam hati ia bersorak ketika memiliki ide cemerlang ini. Sangat cemerlang! Gadis ini cukup cantik untuk menjadi menantunya. Restu pasti suka. "Bu, saya sangat mencintai kekasih saya bu. Saya gak mungkin menikah dengan putra ibu. Tolong saya bu." Sekeras apapun Nilam memohon, Elsi tak mengindahkan. Ia dan Subrata masuk ke dalam mobilnya, pergi dari rumah Nilam. Nilam memandang dengan mata berkabur. Ia mematung lama, hingga terdengar isakan di belakang tubuhnya. "Pak, bagaimana ini? Masa Bapak masuk penjara, Ibu gak mau Pak." Tangisan Bibiknya terdengar di telinga Nilam. Ada yang menikam dadanya, ada yang menghimpit perasaannya, membayangkan lelaki yang selama ini banyak berkorban dalam hidupnya, mengambil tanggung jawab ketika kedua orang tuanya meninggal, harus masuk penjara karena ia menolak rencana ibunya Restu. Tapi Nilam juga tak mau gegabah. Ia mencintai Elang, tak mungkin ia melepas Elang demi laki-laki yang tidak ia cintai. Demi Tuhan, menikah hanya sekali. Dan ia tak mau menikah dengan lelaki yang tidak ia kenal. "Bik, maafkan aku," lirih Nilam pelan. Nining mengangguk sedih. "Iya bibik mengerti Nilam. Bibik juga bingung. Bagaimana ini Pak?" Gani menghembuskan napas. Ia meraup wajahnya. Bagaimana bisa hidup mereka berubah begini. Dari kabar membahagiakan, kabar duka, kini kabar mengejutkan. Ya Tuhan! "Gak apa Bu, mungkin memang ini sudah nasib Bapak. Ibu dan Nilam baik-baik di rumah ya." Nilam sedikit lega, ketika Pamannya tidak memaksa dirinya untuk menikah dengan Restu. Ia takut sekali jika sang Paman memaksanya. Ia tentu tak akan mau. Sehari berlalu dengan ketegangan. Mereka bertiga seolah menunggu eksekusi buat Gani. Bahkan hari ini mereka bertiga lebih banyak berdiam diri di dalam kamar. Nilam tak mau mengganggu Paman dan Bibiknya. Bibiknya pasti sedih akan berpisah dengan suaminya entah dalam waktu berapa lama. Pagi, siang dan malam mereka lalui dengan jantung berdebar. Seakan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Hingga keesokan hari, Nilam di kejutkan oleh teriakan dari dalam dapur. "Nilam tolong Nilam!" Teriakan dari suara Nining membuat gadis itu langsung bangkit dan berlari ke dapur. Ia terkejut melihat Nining berusaha membangunkan Pamannya yang sudah tergeletak tak berdaya. "Ya Tuhan, paman kenapa bik?" Nilam ikut histeris. "Gak tahu Nilam, Paman tiba-tiba jatuh. Pak, bangun pak." Nining masih menepuk pipi suaminya. Ia bahkan memeluk tubuh suaminya yang tak berdaya. Akhirnya berkat bantuan dari para tetangga, Nilam berhasil membawa pamannya ke rumah sakit. Nilam tak pernah menduga masalah kian menghampiri, layaknya Tuhan memang memberi jalan mulus untuk ujian hidup menemui mereka. Bertubi-tubi pukulan bagi mereka kian mendera. Setelah kehilangan Murni, tuntutan Ibunya Restu, kini pamannya pun harus drop karena memikirkan permasalahan yang ada. Bolehkan Nilam berharap ada keajaiban yang akan ia terima demi mencari jalan atas semua permasalahan ini? Pamannya ternyata harus di rawat inap, sementara mereka tidak memiliki uang untuk biaya perawatan. "Bagaimana bu? Kalau mau cepat ditangani, harus segera dibayar biaya administrasinya. Pak Gani harus dirawat inap beberapa hari." Nining terisak sedih. "Nilam, bagaimana ini nak? Bibik bingung." Nilam pun tak tahu harus bagaimana. Ia tidak pernah bekerja, tak punya uang pula. "Ada apa ini?" Suara seseorang membuat Nining dan Nilam menoleh. Tampak Pak Subrata dan Bu Elsi berdiri tak jauh dari mereka. "Kami ke rumah kalian, tapi kata tetangga kalian ke rumah sakit. Siapa yang sakit?" Elsi bertanya dengan raut wajah khawatir. Bahkan lupa jika ia harus memasang wajah wanita yang jahat dan kejam. Pertanyaan dari Istri Subrata membuat Nining dan Nilam menunduk. "Paman pingsan di dapur Pak, Bu." Nilam terpaksa menjawab. Subrata menggeleng. Ya Tuhan! "Hadeh, baru saya mau kirim polisi ke rumah kalian." Elsi berusaha kembali mengancam. Ia mengutuk hatinya karena bersorak gembira. Ternyata semua keinginannya dipermudah. "Jangan bu, tolong. Paman sedang sakit, kami tak tahu kemana harus mencari uang." Nilam kembali memohon. "Paman kamu sakit, dan perlu dirawat kan?" Elsi tersenyum penuh rencana. Sepertinya Tuhan sedang berbaik hati padanya. Nilam mengangguk lesu dengan wajah basah dan semakin bingung. Ia masih merangkul erat bahu sang bibik. "Jadi, kamu tega membiarkan pamanmu mati sia-sia Nilam?" Kini Nilam menggeleng. "Paman cuma sakit bu, tolong jangan doakan yang tidak-tidak." Elsi menghembuskan napas. "Iya sakit sekarang, dan butuh perawatan. Tapi kalau gak diurus, yakin paman kamu bisa sehat? Atau jangan-jangan menyusul Murni?" Nining terisak kian kencang di pelukan Nilam. Sementara Nilam terpaku. Paman memang harus dirawat. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? "Selama ini bukankah kamu dan Murni diasuh oleh Paman kalian?" Kembali Elsi berusaha mengintimidasi Nilam yang seperti orang linglung. Mata Nilam berkaca, mengingat bagaimana paman dan bibiknya selama ini baik pada mereka. Bahkan merawat mereka dengan kasih sayang seperti anak kandung sendiri. "Apakah tidak terketuk hatimu untuk membalas budi baik Pamanmu? Tega kamu membiarkan Pamanmu terbaring tanpa pemeriksaan? Yang ada kamu membunuh pamanmu pelan-pelan." Air mata Nilam jatuh. "Kamu tega membuat bibikmu menjadi janda?" Pertanyaan demi pertanyaan meluruhkan tangisan Nilam di dalam hati. Nilam menggeleng dan menoleh kepada bibiknya. "Bik, aku gak bermaksud begitu. Bibik tahu kan? Bibik tahu kalau aku sayang sama paman dan bibik?" isaknya sedih. Meminta pengertian sang Bibik, tapi ternyata Nining pun hanya bisa terdiam. Kepalanya sudah pusing memikirkan kasus hukum dan kesehatan suaminya. "Tolong bantu Paman aku Bu. Tolong." Tanpa sadar Nilam menggenggam erat tangan Elsi. "Cukup kamu terima permintaan saya Nilam. Semua pasti beres. Kamu dan keluargamu pasti akan terjamin." Nilam menunduk pilu. Membayangkan wajah sang kekasih dan semua janji mereka. Ia bagai di persimpangan yang membuatnya semakin bingung. "Jangan banyak berpikir Nilam. Pamanmu butuh perawatan segera. Atau kamu harus menyiapkan satu lubang di samping kuburan Murni." Putus asa yang kini Nilam alami. Demi Tuhan kenapa ia harus ada di posisi seperti ini. Sementara isakan Bibiknya terus terdengar. "Nilam, Bibik gak mau kehilangan Paman. Bibik gak sanggup Nilam." Hati Nilam bagai disayat sembilu. Sakit yang tak bisa dilihat, namun beratnya yang harus ia tanggung kini. Ia ingin bahagia bersama sang kekasih, tapi tak mungkin membiarkan sang Paman mati sia-sia. "Nilam." Kembali panggilan dari Nining membuatnya menutup mata. Air mata kian deras mengalir di pelupuk matanya, seiring dengan ucapan lirih yang keluar dari mulutnya. Bahkan bibirnya ikut bergetar demi mengucapkan kalimat yang sama sekali tak ia sangka keluar begitu saja. Ia meyakinkan jika apapun keputusannya, semua dengan nyawa sang Paman. "Baik bu. Saya akan ikuti permintaan ibu. Tolong selamatkan Paman dan jangan buat Paman masuk ke dalam penjara." Matanya kian mengabur menatap Elsi. "Saya akan menikah dengan putra ibu. Saya akan ikut semua maunya ibu. Tapi tolong selamatkan Paman saya." "Baik, saya akan urus paman kamu. Dan sebentar lagi saya akan mempersiapkan semua perubahan dari rencana awal. Karena kamu yang akan menggantikan kakakmu untuk menikah dengan putra saya." Elsi melangkah pergi dengan senyum kepuasan. Akhirnya jalan keluar yang ia cari sudah didapatkan. Nilam bersandar di dinding. Tangisnya tak bersuara, cukup hatinya yang menjerit pilu. Cukup hatinya yang berteriak melantunkan kata maaf sekencang-kencangnya di relung hatinya yang paling dalam untuk sang kekasih di ujung belahan dunia yang lain. Semoga, semoga Elang mengerti apa yang terjadi padanya. Ia hanya memohon jika suatu hari Tuhan berkenan mempertemukan dirinya dengan Elang, ia hanya ingin memohon maaf atas yang terjadi hari ini. Sekalipun nanti hanya kebencian yang akan ia terima, tak apa. Semua akan ia tanggung, semua demi sang paman. Biarlah ia tak bahagia, asal sang paman selamat dan kembali ke pelukan bibiknya. Anggap ia melakukan ini demi membalas budi atas kebaikan mereka selama ini. Nining memeluk tubuh keponakannya dengan haru. "Terima kasih Nilam, terima kasih nak." Mereka saling berpelukan dengan isak sedih. Tidak, Nilam tidak mungkin membiarkan Pamannya pergi menyusul Murni. Apapun akan ia lakukan demi sang Paman, sekalipun harus melepaskan kebahagiaannya sendiri. Air matanya turun seiring dengan wajah Elang yang tersenyum sebelum mereka berpisah. Maafkan aku Elang. Maafkan aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD