PART 11 - MENGENAL PERTAMA KALI.

2235 Words
Hanya padamu aku jatuh cinta. Hanya wajahmu yang selalu terbayang sebelum mata terpejam. Sayangnya bahagia bersamamu hanya menjadi sebuah mimpi. Yang harus kuhempas saat kebersamaan kita hanya bisa kuucap di ujung doa. Elsi segera meminta dokter memeriksa Gani secara menyeluruh. Nining bernapas lega ketika ia tak kehilangan suaminya. Walau ia pun tak tega akan nasib keponakannya. Nilam membetulkan selimut Pamannya, Gani. Hari ini Gani sudah mulai diperiksa dokter. Ternyata darah tingginya kumat, masih beruntung ia tidak stroke, tapi dokter menyarankan untuk istrirahat total. Elsi memenuhi perkataannya. Setelah Nilam mengatakan bersedia menjadi menantunya, ia langsung memerintahkan jajaran dokter di rumah sakit ini untuk menyembuhkan penyakit Gani. Ternyata rumah sakit ini adalah milik rekan Elsi. Nilam baru tahu ternyata kedua orang tua Restu bukan orang sembarangan. Sepertinya mereka bukan lawan yang seimbang untuk mereka yang hanya orang kecil. Apalah ia yang hanya gadis desa. Menentang sama juga cari mati. Seharusnya Nilam sadar, sekuat apapun menolak rencana, Tuhan justru membawanya ke hadapan Elsi. Apa itu berarti jodohnya memang bukan Elang? "Bagaimana keadaan anda Pak Gani?" Elsi tersenyum pada calon besannya. Ia menjenguk di hari kedua Gani dirawat. Sengaja juga ingin mengigatkan pada anggota keluarga Nilam, jika mereka tidak bisa ingkar janji. Mulai hari ini ia sudah melunakkan suaranya. Tak ada lagi wajah garang di sana, hanya ada senyum yang terus mengembang di wajah Elsi. Sementara Subrata hanya bisa tersenyum singkat pada pasien yang mulai berangsur-angsur pulih. Bagi Elsi, ia sudah mendapatkan apa yang ia mau. Nilam Cahya, akan menjadi menantunya sebentar lagi. Rasanya ia tak sabar untuk memberitahu pada putra kesayangannya. Gani mengernyit bingung. Setelah sehari pingsan, ia tersadar. Dan ia baru tahu jika ia dibawa ke rumah sakit. "Baik bu. Terima kasih sudah menjenguk saya," ucap Gani lirih. Ia masih sulit bergerak. Itu sebabnya hanya bisa tersenyum singkat. Beberapa hari ini ia memang banyak pikiran, berkenaannya tentang ancaman mantan besannya. Tapi ia tak tahu jika wanita ini berkenan menjenguknya. Bukankah ia sudah menolak keinginan wanita ini? Gani bahkan masih bingung bagaimana caranya membayar biaya rumah sakit ini? Mereka tidak pernah masuk rumah sakit dan dirawat begini. Sakitpun mereka biasa berobat ke klinik terdekat. Itupun dengan harga murah. Mereka selalu menghemat dalam hidup, itu sebabnya menjaga supaya tidak sakit, karena biaya sakit mahal sekali. Hanya saja, saat matanya memandang ruangan ini, Gani tahu ini bukan ruangan kelas tiga, yang biasa ia lihat kala ia menjenguk tetangganya yang sedang dirawat di rumah sakit. Satu set sofa ada di ruangan ini, belum lagi televisi yang besar dan sejak tadi menyala terus, padahal ia sama sekali tak berminat menonton. Ada juga satu ranjang lagi untuk istrinya tidur jika menunggu, sementara Nilam berbaring di sofa yang ia yakin nyamannya jauh sekali dibanding sofa di rumahnya yang sudah butut dan tidak layak pakai. Mereka ini seakan tidak sedang berada di rumah sakit, tapi di hotel mewah. Yang mendapatkan makan pun bukan hanya ia yang sakit, istri dan keponakannya pun mendapatkan makanan yang enak-enak. Sungguh Gani heran! Ruangan ini bahkan luas sekali. Wajar jika Gani semakin sakit kepala memikirkan biaya selama ia dirawat di sini. Pasti mahal sekali biaya sakitnya ini. Dan kenapa juga istrinya ini memasukkannya ke ruangan ini? Gani belum sempat bertanya karena masih sakit kepala. Nining menggenggam telapak tangan suaminya. Berusaha memberi senyuman sekalipun sorot matanya penuh duka. Sementara tak jauh dari tempat duduk mereka, Nilam tengah mengupas buah pir untuk sang paman. Sejak tadi tak henti makanan dan buah-buahan masuk ke dalam ruang rawat pamannya. Siapa lagi jika bukan Elsi yang mengirimkan semua itu. Bahkan ruang rawat pamannya saja ruang VIP. Padahal ini sangat berlebihan sekali. Nilam dan bibiknya memang sengaja belum memberi tahu perihal Nilam yang menerima permintaan mantan mertua Murni pada Gani. Mereka ingin Gani sembuh dulu. "Pak Gani gak usah khawatir. Saya bukan hanya akan menjenguk Pak Gani. Tapi saya juga harus memastikan kesehatan Pak Gani. Kondisi Pak Gani harus sehat seperti sedia kala." Senyum Elsi mengembang, seiring dengan jerit hati Nilam yang berusaha ia tahan. Nilam meremas pisau di tangannya. Ia bahkan menghentikan gerakannya mengupas buah. Jantungnya kembali berdebar. Gani mengernyit heran. Ia melirik istrinya, tapi Nining hanya mengangguk sambil berusaha menampilkan senyum terpaksa. "Karena ... Pak Gani harus sehat saat menjadi wali nikah Nilam nanti." "Aakkkh." Nilam meringis ketika jarinya tersayat pisau di tangannya. Rupanya ia melamun. Semua mata menoleh ke arahnya karena mendengar ringisannya. Jarinya berdarah. Ia kaget dan pisau sudah menggores jarinya tanpa bisa dicegah. Ia segera bangkit. Meletakkan pisau di atas meja dan bergegas ke kamar mandi. "Maaf, saya ke kamar mandi dulu." "Wali nikah?" Gani membeo. Gani menatap istrinya yang mengusap kedua ujung matanya. "Yah, Nilam sudah memutuskan akan menikah dengan Restu, putra saya." Nilam menutup pintu kamar mandi, tubuhnya merosot ke lantai, membekap mulutnya agar membungkam isak yang keluar. Ia gigit kuat-kuat bibir bawahnya menahan rasa sesak di dalam d**a. Ia sudah menerima semua, tapi kembali hatinya sakit membayangkan akan berpisah dengan Elang. Ini semua demi paman. Ya Tuhan, kuatkan hatiku. Aku harus bisa, aku pasti bisa. Tuhan tidak akan memberi aku cobaan jika aku tak mampu. Kamu kuat Nilam. Kamu kuat! Nilam menepuk dadanya, demi menguar rasa sesak yang menggelayut di sana. Butuh beberapa menit bagi Nilam menangis tanpa suara di dalam kamar mandi. Nilam menatap cermin dengan wajah sembab. "Aku harus bisa melupakan Elang." Matanya menutup sambil menghembuskan napas lelah. Aku harus bisa. Begitu janji hatinya. Setelah membasuh wajah demi menyamarkan air mata, Nilam keluar dari kamar mandi. Hanya ada bibik dan pamannya saja di ruangan itu. Tampaknya tamu mereka sudah pergi. Baguslah. Gani menatap keponakannya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia tahu mata keponakannya sembab, pasti habis menangis. Gani merasa amat bersalah. Ia sudah gagal membuat keponakannya bahagia. Setelah mengatakan jika pernikahan Nilam dan Restu akan segera berlangsung, Elsi undur diri karena harus menemui putranya. "Nilam, maafkan Paman," lirih Gani dengan menundukkan wajah, menyembunyikan matanya yang memanas. Ia sungguh bersedih sekali. Nilam yang sejak tadi berusaha menunjukan sikap tegar, mau tak mau ikutan berkaca. "Paman gak perlu minta maaf. Aku ikhlas kok. Aku gak apa." Berusaha menampilkan senyum yang akhirnya gagal. Hati sedihnya tak bisa ia tutupi. Kembali air matanya turun, tapi secepat yang ia bisa diusap dengan punggung tangannya. Nining ikutan bersedih melihat interaksi suami dan keponakannya itu. "Seharusnya kamu gak boleh berkorban demi paman. Bukankah kamu mencintai Elang?" Nilam menggeleng dengan berurai air mata. Wajah di bagian pipi dan hidung sudah terlihat memerah. "Aku lebih sayang paman. Paman dan Bibik selama ini sudah merawat aku dan kak Murni. Izinkan aku membalas semuanya Paman." Dengan cepat Nilam kembali menghapus air mata yang melintas di pipinya. Ia tak mau pamannya merasa bersalah. Tidak, ia sudah ikhlas dengan semua keputusannya. "Aku yakin ... jika jodoh, umur dan rejeki sudah diatur sama Tuhan. Mungkin memang lelaki itu jodoh aku Paman. Bukan Elang." Ada yang tersayat saat ia mengucapkan nama sang kekasih. Nining memeluk bahu keponakannya. "Terima kasih Nilam. Terima kasih." "Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih karena paman dan bibik telah banyak berkorban buat aku dan kak Murni. Apa yang aku lakukan tidak sebanding dengan pengorbanan kalian selama ini." Gani ikutan bersedih. Ia terharu ketika Nilam rela melepas kebahagiaannya demi dirinya. Gani hanya berharap lelaki bernama Restu itu lelaki yang baik dan bisa membuat Nilam bahagia. "Paman hanya ingin kamu bahagia, biar Paman bisa mewujudkan cita-cita kedua orang tuamu." "Ya Paman, aku pasti bahagia. Paman ingatkan? Kak Murni pernah cerita calon suaminya baik, dan kita juga tahu Ibu Elsi begitu baik pada kita. Aku yakin aku bisa bahagia paman." Tak apa, Nilam hanya ingin semua tahu jika sudah ikhlas demi Paman dan Bibiknya. "Semoga ya, semoga mereka semua sayang sama kamu, seperti mereka sayang sama Murni. Terlihat sekali Bu Elsi terpukul kehilangan Murni. Apalagi putranya." Nining ikutan terharu. "Murni beruntung dicintai lelaki seperti anak Bu Elsi itu ya bu. Mereka bahkan gak menghiraukan Murni yang hanya berasal dari desa." Gani tersenyum. Ia tentu ingat cerita Murni tentang calon suaminya. Pasti, Nilam pasti bisa bahagia. Pagi-pagi sekali Elsi kembali ke ruang rawat Gani. Ia kembali melebarkan senyum ke semua yang ada di ruangan ini. Di belakangnya satu orang mengikuti membawa buah-buahan. "Bagaimana kesehatan Pak Gani sekarang? Dokter bilang Pak Gani sudah boleh pulang?" Gani yang sudah bisa duduk tersenyum. Ia melirik ketika orang suruhan Bu Elsi meletakkan buah-buahan di atas meja. Nilam dan Nining pun sama heran. Ini buah kemarin saja masih banyak. Kok dikirim buah lagi? "Ya, hari ini saya sudah boleh pulang," jawab Gani pelan. Elsi mengangguk puas. "Baguslah." Ia melirik ke arah Nining dan Nilam. "Kalau begitu saya mau pinjam Nilam sebentar." Nilam yang tengah merapikan pakaian sang paman mendadak menghentikan gerakannya. Ia ganti menatap Elsi yang tersenyum penuh misteri. "Pinjam maksudnya?" Nining bertanya dengan nada heran. Elsi berdecak. "Nilam akan menikah dengan Restu, jadi dia harus mengenal calon suaminya kan?" Nining menoleh ke arah keponakannya. "Ayo Nilam, kebetulan Restu sudah bangun." Elsi memberi kode supaya gadis itu mengikuti langkahnya. Merasa tidak mendengar langkah di belakang, Elsi menoleh. "Nilam, kamu dengar gak saya ngomong?" Ini anak gak budek kan? "I-iya bu." Lalu Nilam bergegas mengekor di belakang. Hatinya jelas ketar-ketir. Ada rasa takut yang muncul tiba-tiba di dalam hatinya. Ia tidak mengenal lelaki bernama Restu. Bertemu pun tidak pernah. Lantas ia harus bersikap bagaimana? "Nilam, nama panjangmu siapa?" Elsi mencoba mengajak bicara dengan tatapan ramah pada Nilam. Ia tak ingin membuat gadis ini takut kepadanya. Ia akan menjadi mertua yang baik, jauh dari ciri khas mertua yang ada di sinetron di negeri ini. "Nilam Cahya bu." "Nama yang bagus. Pendidikan?" "Ya bu?" "Pendidikan kamu apa?" "SMK bu." "Jurusan?" "Akuntansi." "Sama dengan Murni?" "Gak bu. Kak Murni lulusan SMA." Elsi mengangguk. "Kamu tahu nama lengkap putra saya?" tanya Elsi sambil melirik sekilas pada Nilam. "Gak bu." "Kamu harus ingat mulai hari ini." "Ya bu." "Namanya Restu Mandela Saputra." Restu Mandela Saputra. "Dia anakku satu-satunya. Jadi kalau kamu jadi istrinya, kamu akan jadi menantu saya satu-satunya. Tahu apa itu artinya? Kamu tidak memiliki saingan untuk memperebutkan perhatian saya." Nilam mengangguk lagi. "Satu lagi Nilam." Elsi menghentikan jalannya, sehingga mau tak mau Nilam ikut berhenti. Ia menatap wajah Elsi yang terlihat serius. "Jangan sampai Restu tahu kamu punya kekasih." Nilam terpaku. Bingung. "Nilam kamu dengar saya bicara?" Elsi kesal, gadis ini kebanyakan bengong, beneran kayak orang gak menginjak bumi. "I-iya bu. Saya dengar." "Anak saya adalah laki-laki yang baik dan penyayang. Saya gak mau kalau sampai dia tahu kamu menikah karena terpaksa." "Tapi bu, memang saya terpaksa kan?" tanya Nilam dengan wajah polos. "Hadeh Nilam, justru itu. Jangan sampai anak saya tahu. Jadi ingat ya, kamu gak boleh bahas tentang kekasih kamu di depan putra saya. Bilang saja kalau kamu memang cinta dengan anak saya dan mau menjadi istrinya." Nilam menganga. Apa? "Cinta? Tapi bu-" "Jangan pake tapi-tapian. Kamu mau nikah dengan anak saya, gak? Atau kam mau paman kamu di penjara?" Kembali ancaman Elsi terdengar. "Jangan bu! Iya, saya mau nikah dengan anak ibu." "Bagus! Jadi kamu harus menunjukkan pada putra saya, jika kamu mencintai putra saya." "Bagaimana caranya bu?" Nilam putus asa. Dia sendiri tak yakin bisa seperti itu. "Kamu kan sudah pernah pacaran, pasti tahu caranya. Jangan tanya saya!" gerutu Elsi gemas. Aku kan pacaran dengan orang yang aku cintai. Bagaimana mungkin aku bisa menunjukkan cinta pada lelaki yang baru aku kenal? "Awas ya kalau kamu sampai kelepasan bicara sama anak saya, kalau kamu punya kekasih." Esli kembali memperingati Nilam sebelum kembali melanjutkan ke ruang perawatan Restu. "Dan kalau kamu menjadi istri Restu, kamu akan tinggal di kota, bukan di desa terpencil begitu." "Iya bu." "Saya jamin hidup kamu akan berubah. Dan kamu gak usah takut. Paman dan bibikmu pun hidupnya akan berubah." "Saya akan pugar rumah kalian yang sudah tidak layak lagi. Saya akan isi dengan perabotan modern. Dan satu lagi, paman kamu akan saya beri modal usaha. Gak usah buka warung kecil gitu. Mana bisa dapat laba besar. Saya buatkan toko yang lebih besar." Nilam merasa seperti menjual cintanya. Sepanjang mereka berjalan, beberapa perawat dan dokter mengangguk hormat pada Elsi. Detik-detik memasuki ruangan yang diyakini berisi Restu, adalah detik-detik dimana Nilam harus menahan debaran dalam dadanya. Antara rasa takut dan malu bercampur aduk. Begitu ruangan itu di buka, Nilam sedikit takjub. Pasalnya ruangan ini lebih luas dan lebih mewah dari ruang rawat pamannya. Ini ruang rawat apa hotel? "Nilam, sini masuk," ajak Elsi dengan setengah berbisik. Nilam yang masih terpesona dengan ruang rawat segera menoleh ke arah Elsi. Elsi tampak berdiri di samping ranjang yang Nilam tak bisa lihat seperti apa wajah yang terbaring di sana. Matanya masih memindai dua buah ranjang besar, sebuah kulkas, sofa yang besar dan elegan. Benar-benar lebih mirip hotel. Ia baru tahu di rumah sakit ada ruangan yang seperti ini. Nilam mengangguk pada Pak Subrata, lelaki yang merupakan suami dari wanita yang sudah membuatnya masuk ke dalam rencana dadakan ini. Lelaki ini terlihat lebih ramah dan lebih manusiawi dari istrinya. Elsi meraih lengan Nilam yang mendekat dengan tidak sabaran. Lama amat sih jalannya kayak siput! Elsi menoleh lagi ke arah putranya. Mengubah raut wajahnya dengan senyum tulus. "Restu, kenalkan ini adalah Nilam. Dia yang akan menggantikan Murni menikah denganmu." Nilam menatap ke arah ranjang, tepat ketika wajah yang menatap ke arah lain itu bergerak dan menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu. Nilam menatap wajah tegas pemilik mata berwarna coklat dengan rahang yang kokoh. Matanya memindai rahang dan dagu yang ditumbuhi rambut-rambut halus yang sedikit terlihat. Netra coklat itu tengah menyorotnya tajam. Menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki. Nilam bersumpah mata yang kini menghunusnya, jauh dari kata ramah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD