PART 6 – AWAL TRAGEDI.

1414 Words
Malam tampak cerah, dengan cahaya bintang yang bertaburan. Belum lagi bentuk bulan yang hanya setengah, menandakan malam ini tidak akan ada hujan. Itu yang terlihat di desa Cimanuk. Sebuah desa di pinggir pantai daratan Banten, Ujung kulon. Seorang gadis berwajah cantik dengan rambut melebihi bahu tampak tengah bersiap-siap. Malam ini ia akan diajak kekasihnya ke pasar malam. Yah, hanya ke pasar malam, tapi sudah membuatnya tak sabar untuk segera bertemu. Sejam sudah ia memoles wajahnya, agar terlihat cantik di hadapan kekasihnya. Gadis bernama lengkap Nilam Cahya itu tersenyum di depan cermin. Rasa rindunya sudah teramat menggebu, padahal mereka baru berpisah beberapa jam. Esok kekasihnya sudah akan pergi ke kota, jadi sebagai perpisahan, mereka akan mengunjungi pasar malam yang biasa diadakan setiap sabtu malam di desa tetangga. "Jadi ke pasar malamnya?" Suara Bik Nining terdengar. Nilam menoleh sambil mengangguk. "Cantik sekali kamu Nilam. Gak salah Elang jatuh cinta padamu." "Ih, Bibik." Nilam tersipu malu. "Rokayah ibunya Elang pun sudah gak sabar ingin kamu segera menjadi menantunya." "Tapi kan harus tunggu kak Murni nikah dulu Bik." "Iya, Bibik berharap besok Murni datang bersama calon suaminya." Nining menatap pada keponakannya. Matanya berkaca. "Gak berasa ya, kalian sudah besar, dan sebentar lagi kalian akan dibawa oleh pasangan kalian masing-masing." Nilam menghentikan gerakannya memoles bedak. Ia menoleh pada bibiknya. Wanita yang berusia hampir lima puluh itu terlihat berkaca. "Bibik." Nilam memeluk tubuh Bibiknya. "Bibik doakan kalian semua bahagia." Nining tulus berkata, pasalnya Nilam dan Murni sudah sejak sepuluh tahun lalu menjadi yatim piatu. Kedua orang tua mereka meninggal karena ditabrak mobil saat akan belanja ke pasar. Jadilah keduanya dibawah asuhan Nining dan Gani suaminya. Mereka berdua tidak dikarunia satu anak pun. Itu sebabnya mereka mengasuh Nilam dan Nining dengan senang hati. "Terima kasih karena Bibik sudah merawat kami selama ini." "Eh sudah-sudah. Jangan nangis. Nanti bedaknya luntur, sayang kalau kamu jadi jelek." Nilam terkekeh. Tak lama pintu terbuka. "Nilam, Elang sudah datang." Sang Paman berdiri di ambang pintu. Nilam tersenyum ketika Elang menjalin jemarinya. Mereka melangkah bersama ke arah pasar malam, setelah tadi Elang memarkirkan sepeda motornya di parkiran. Jadi dari desa mereka, mereka menggunakan motor ke pasar malam "Kamu mau naik apa di sini?" tanya Elang pada kekasihnya. Nilam menatap pasar malam yang mulai ramai itu. "Aku mau naik bianglala, Elang." Mata Nilam bersinar bahagia. "Kamu gak takut jatuh? Biasanya kamu takut ketinggian." Elang menatap wajah kekasihnya, yang terlihat cantik sekali malam ini. Tak salah jika ia jatuh cinta pada Nilam. Sudah dua tahun sudah mereka menjalin hubungan. Jika tidak mengingat Nilam punya kakak, mungkin ia akan segera melamar gadis ini. Sayang aturan di dalam keluarga, tidak memperbolehkan Nilam melangkahi Murni, kakaknya. Tapi Elang lega, khabarnya besok Murni akan datang bersama calon suaminya. Sayang, ia tidak bisa bertemu, karena harus kembali ke kota. Elang sudah naik jabatan dan mendapat posisi yang lebih baik juga gaji lebih besar. Kalau Murni menikah tahun ini, maka tahun besok ia dan Nilam akan menyusul ke pelaminan. Nilam tersenyum pada kekasihnya. Ia memang takut ketinggian. "Kan ada kamu, kalau aku takut, aku bisa pegang kamu." Elang terkekeh. "Kenapa? Kamu keberatan?" Mata Nilam mengerjap. Dengan sayang Elang merapikan rambut kekasihnya yang berantakan. "Jangan kata dipegang, dipeluk juga aku mau kok." "Ish Elang, malu ah ngomongnya gitu." Pipi Nilam sudah bersemu. Kekasihnya ini sering sekali menggodanya. "Kita antri tiket yuk." Nilam tersenyum dengan bahagia, begitupun Elang. Lelaki itu melihat kilat bahagia sang kekasih, padahal hanya dibawa ke pasar malam. "Nilam, nanti kalau aku sudah punya rumah tinggal di Kota, kamu datang ya." Nilam melipat kening. "Kita kan belum menikah Elang. Mana boleh aku ke rumahmu." "Kamu bisa berkunjung ke rumah Kakakmu, nanti aku jemput. Gak usah menginap, aku mau bawa kamu ke Mall di sana. Kamu pasti suka." "Seperti yang di televisi ya? Mall di Jakarta indah-indah." "Yup, benar. Nanti aku kan naik jabatan dan dapat rumah tinggal. Jadi kalau kita menikah, aku tinggal bawa kamu ke sana." Nilam mengangguk senang. "Ya aku mau Elang." "Mau apa?" goda Elang lagi. "Mau jadi nyonya Elang." Mereka terkekeh. "Aku bukan bos, kamu gak akan jadi Nyonya." "Tapi aku kan tetap nyonya di hati Elang seorang." Elang menatap Nilam tak percaya. "Kamu pintar merayu sekarang." "Kan Elang yang ajari." "Good girl." Elang menggenggam telapak tangan kekasihnya. "Kamu janji sama aku, akan menunggu aku melamarmu tahun besok? Ya Tuhan, padahal aku inginnya tahun ini memperistrimu." Nilam masuk ke dalam pelukan Elang. "Bersabar sebentar lagi. Aku pasti akan menunggu kamu pulang dan melamar aku." Mata mereka saling bertatapan. "Besok aku pergi pagi-pagi. Kamu baik-baik di rumah. Jangan selingkuh." Mendengar pesan kekasihnya, Nilam merengut. "Ish Elang, kapan aku selingkuh! Nilam cuma cinta Elang, sekarang dan selamanya." "Janji?" Elang memaku mata cantik di depannya. "Sumpah!" Nilam memberikan jari telunjuk dan jari tengah ke depan wajah Elang. "Malam ini dan selamanya cinta Nilam hanya untuk Elang." Elang mengacak rambut kekasihnya. "Terima kasih Nilam." ** Di sebuah rumah yang jaraknya sangat jauh sekali dari tempat Nilam. Tepatnya kota Jakarta. Seorang lelaki tinggi besar dan gagah tampak memasukkan sebuah kertas ke dalam tasnya. "Semua sudah beres, kita jalan sekarang," titahnya. Wanita yang duduk di depannya mengangguk. Melihat bagaimana lelaki itu memasukkan tasnya ke dalam sebuah lemari. Tak lama mereka berjalan ke sebuah mobil yang sudah disiapkan. "Dinu, kamu libur saja dua hari ini ya," titah seorang lelaki yang bernama lengkap Restu Mandela Subrata. Lelaki tinggi kurus itu mengangguk setelah membuka pintu mobil. Membiarkan majikannya dan calon istrinya masuk ke dalam. Restu yang biasa memakai supir pribadi kini memilih menyetir sendiri. Tujuannya adalah sebuah desa di ujung pantai carita, Banten. Malam ini ia bersama calon istrinya akan berkunjung ke sana, ke rumah Murni, seorang wanita yang kini duduk di sampingnya. "Kamu sudah siap?" tanyanya menoleh sesaat. Wanita yang terlihat gugup itu mengangguk. Mobil Toyota Fortuner itu mulai berjalan meninggalkan rumah mewah milik Restu. Membelah keheningan malam. Yah, mereka memang memilih pergi malam hari, agar semua urusan cepat selesai. Hari ini Restu akan bertemu dengan Paman dan Bibik Murni di desa. Ia akan melamar gadis yang kini tengah menjalin jemari dan sesekali tampak gadis itu menoleh ke arah samping. "Hmmm aku belum tahu siapa saja yang nanti aku temui di sana selain Paman dan Bibikmu." Murni menoleh dan matanya menatap wajah tampan yang beberapa bulan ini mendekatinya. "Paman Gani dan Bibik Nining yang mengasuh aku sejak kedua orang tuaku meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kedua orang tuaku meninggal saat mereka mau berjualan ke pasar. Dan aku punya adik bernama Nilam Cahya." "Oke. Cuma itu?" tanya Restu lagi. "Yah, hanya itu." Restu akan mencoba mengingat agar tidak salah. Pasalnya ia harus mengetahui semua seluk beluk calon istrinya ini. Jalanan menuju tol agak padat merayap. Sesekali Restu menoleh ke samping. Terlihat Murni menguap. "Tidurlah kalau kau mengantuk. Sepertinya kita akan lama sampai ke rumahmu." Murni mengangguk, dan langsung mencari tempat nyaman dan dalam sekejap ia menutup mata. Sebuah guncangan membuat Murni membuka matanya. Ia menoleh ke samping, tampak Restu masih mengemudikan mobil yang saat itu sudah tidak macet lagi. Bahkan mobil Restu berjalan lancar, karena mereka sudah memasuki jalan tol. Hujan tampaknya malam itu turun dengan lebat. Murni memeluk tubuh dengan kedua lengannya. "Kamu kedinginan? Mau aku kecilkan pendinginnya?" Murni mengangguk. Hujan kian turun disertai kilat yang menyambar. Ponsel milik Restu berbunyi. Sekilas Restu melirik. "Mama pasti tak sabar." Lalu tangannya meraih ponsel dan menjawab telpon dari wanita yang sudah sangat tak sabar memiliki seorang menantu. "Hallo, Ma." "Restu, kalian sampai mana sekarang?" Suara Mamanya terdengar di seberang sana. "Masih di jalan tol, Ma." "Hati-hati sayang, kamu pakai supir kan?" "Gak Ma, Restu nyetir sendiri kok." Restu menoleh pada Murni dan tersenyum. "Hadeh, kenapa gak pake supir?" "Restu bisa kok Ma." "Seharusnya kamu berangkat besok pagi, kenapa juga harus malam sih? Kebiasaan kalau kerja gak kenal waktu." Gerutuan terdengar dari mulut Mamanya. "Sorry Ma, tadi ada meeting jadinya baru jalan malam. Lagipula gak macet dan Ya Tuhan!" Restu menjerit dan ponsel terlepas begitu saja dari tangannya. Di depannya ada mobil yang menabrak pembatas jalan dari arah berlawanan. Mobil sedan itu ini menuju ke arahnya. "Mas, awas!" Murni ikut menjerit saat mobil itu dalam kecepatan tinggi hendak menabrak mobil mereka. Restu yang sudah memprediksi akan terjadi tabrakan adu kepala, segera membanting setir ke kiri. Tapi yang ia lakukan justru membuat mobilnya menabrak pagar pembatas jalan. Tidak berhenti sampai di situ, body mobilnya tetap tertabrak mobil yang dari depan, walau tidak semuanya tertabrak, tapi membuat mobil Restu kembali menghantam mobil lainnya. Tabrakan tak bisa dihindari. Teriakan Restu dan Murni terdengar kencang, ketika tabrakan beruntun terjadi malam itu di tengah derasnya hujan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD