PART 4 – MEMBERSIHKAN RESTU.

1211 Words
Apa yang Nilam khawatirkan tampaknya terjadi. Ketika sore hari sebelum kepulangan ke Jakarta, kembali Elsi meminta Nilam melakukan suatu hal yang membuatnya bingung harus apa. Berawal dari dua orang perawat yang datang ke kamar perawatan. "Selamat sore, Pak Restu." "Sore." Nilam membalas sapaan salah satu suster yang masuk. "Hari ini jadwal Pak Restu pulang ya." "Sebelum pulang, kami akan membersihkan tubuh Pak Restu dulu." "Kebetulan suster, tolong ajarkan menantu saya bagaimana caranya membersihkan tubuh suaminya." Elsi bicara pada kedua suster itu, tak mempedulikan Nilam yang menegang. Kedua perawat itu tersenyum mengerti. "Baik bu." Elsi mendadak bangkit. "Mama akan menyusul Papa ke ruangan Pak dokter dulu, Nilam kamu perhatikan bagaimana suster bekerja membersihkan tubuh Restu. Setelah di rumah nanti, kamu yang harus melakukan itu semua." "I-iya Ma." Nilam bangkit mendekat. "Jangan sampai di rumah kamu kebingungan ya. Kamu harus perhatikan cara-cara mengurus suamimu itu." "Baik Ma, aku mengerti." Elsi berjalan keluar ruang rawat, tak mempedulikan Nilam yang resah gelisah. "Mbak istrinya ya." Perawat yang satu bertanya pada Nilam. Nilam mengangguk sambil tersenyum. "Iya sus." "Saya dengar pengantin baru ya." Nilam tersenyum. "Pasangan yang serasi. Mbaknya cantik, Pak Restunya tampan." "Terima kasih." Jika Nilam menjawab dengan tulus, berbeda dengan Restu. Ia berdecak dalam hati. Pasangan yang serasi? "Saya akan ajarkan bagaimana cara membersihkan tubuh Pak Restu." Perawat yang satu meletakkan baskom di atas meja, sedang yang satu mendekati Restu. Ketika tangannya hendak membuka kemeja Restu, tangan Restu menolak. "Suster, biar istri saya saja yang melakukan." Perintah Restu pasti, dan Nilam mengangguk. Jangan tanya bagaimana wajahnya kini. Pucat dan jantungnya berdebar. Untuk pertama kalinya ia akan melihat bagian tubuh suaminya. Padahal seumur hidup, Nilam belum pernah menyentuh tubuh seorang lelaki manapun. Dengan Elang pun Nilam hanya pernah memegang telapak tangan Elang. Kini ia harus menyentuh kulit tubuh dari lelaki yang berstatus suaminya, yang mendadak menjadi suaminya tepatnya. Nilam mengulurkan tangan dengan gemetar. Ia tersentak ketika tangannya dipegang Restu. Melihat sorot mata Restu, Nilam mengangguk. "Aku buka bajunya ya." Restu melepaskan cekalannya. Ia membiarkan Nilam mulai membuka satu persatu kancing baju Restu. Aslinya Restu ini hanya lumpuh di kedua kaki, tapi kedua tangan masih bisa berfungsi. "Ini diperas dibasuh ke badan Pak Restu." Nilam mengangguk mengikuti intruksi perawat. Ia mulai membasuh tubuh Restu bagian depan. Kedua perawat saling pandang. Pasalnya mereka pikir akan merasakan membelai d**a bidang lelaki tampan yang menjadi bahan pembicaraan di rumah sakit ini. Seorang pengusaha yang memiliki wajah tampan bak dewa yunani. Begitu bisik-bisik diantara para perawat. Tapi kini mereka hanya bisa melihat bagaimana d**a bidang itu dibelai tangan lentik sang istri. Nilam dengan seksama mengusap tubuh Restu bagian depan dan belakang, berganti tangan kiri dan kanan. Berusaha tidak mempedulikan ketika mata Restu menatap gerakannya sekecil apapun. Bahkan wajah Restu pun diusapnya perlahan. Mata mereka bertatapan beberapa detik. Tetap tatapan dingin yang Nilam terima dari suaminya ini. Dirasa sudah ia kembali membasahi washlap ke dalam baskom. "Sekarang tinggal bagian bawahnya bu." Ucapan suster itu membuat Nilam kembali terpaku. "Hmmm." Nilam meragu. Haruskah ia menyibak selimut bagian bawah? Memikirkannya Nilam sudah kalut dan jantungnya kian berdegup kencang. "Suster, tolong tutup tirainya, biarkan istri saya yang membersihkan semuanya sendiri." Restu mengeratkan rahangnya. Demi apa, dia harus meloloskan selimut bagian bawah dengan ditatap tiga orang wanita begini? Dan ia yakin kedua perawat ini semuanya masih gadis. Ia tidak segila itu memperlihatkan area pribadinya dihadapan para gadis ini. Tirai secara mendadak terutup. Bunyinya bersamaan dengan dentuman jantung Nilam yang kian bertalu. Remasannya pada washlap mengetat. Restu menatap istrinya yang kian berwajah pias. Sungguh Nilam bingung sekali. Sekali sentak, handuk yang ada di tangan Nilam dirampas paksa oleh Restu. Nilam semakin tak mengerti. "Tutup matamu," bisik Restum sepelan mungkin agar tidak terdengar dari arah luar. "Tapi ...." "Memang kau mau melihat bagian bawah tubuhku?" bisik Restu lagi. Dan sontak Nilam menggeleng keras. "Aku akan bersihkan sendiri dengan tanganku. Terserah kamu menutup mata, atau mau menonton." Nilam semakin tersentak, ketika Restu menyibak selimut. Ia sontak menutup mata. Ternyata tidak semudah yang Restu pikir. Ia kesulitan membuka celana selututnya. Memaki dalam hati, terpaksa menyentuh tangan Nilam. Dan reaksi Nilam, wanita itu berjengkit. "Apa sudah?" tanyanya dengan mata tertutup. Restu menghembuskan napas. "Aku butuh bantuanmu." Sontak Nilam membuka mata. Restu meringis. "Tolong buka celana aku." "Hah!" "Aku gak bisa buka celananya." "Terus gimana?" Nilam bingung. "Kamu tarik saja celana aku dibagian pinggang." Takut-takut Nilam menyibak selimut. Tampak celana pendek selutut yang tadi dia lihat. "Kau tarik bagian ujung ke bawah." "Tapi-" "Aku akan tutupi atasnya. Yang penting kau pegang dulu ujungnya." "Perlu aku panggilkan suster?" "Ck, kau istriku! Memang kau mau mereka melihat semua bagian tubuhku." Sesaat Restu memaki. Kesannya ucapannya ini seolah mereka suami istri sungguhan. "Aku tidak mau semua orang melihat bagian vital tubuhku. Apalagi mereka masih perawat muda-muda begitu." Oke, Nilam mengerti. Mungkin suaminya ini malu. Baiklah ia memang harus menolong bukan? Ketika Nilam sudah memegang kedua ujung, ia menarik dua buah celana yang memang Restu kenakan. Tentu saja Restu sudah meletakkan selimut di atas tubuhnya. Sekuat tenaga Restu mengangkat tubuhnya, hingga Nilam bisa meloloskan celana itu. Lalu Nilam kembali ke posisi semula. Kembali menutup mata. "Selesai," bisik Restu. "Ambilkan celana aku yang bersih. Ada di dalam laci." Nilam menurut. Ia membuka laci dan berdecak dalam hati ketika tangannya terulur meraih celana dalam dan celana selutut milik Restu. Untuk pertama kalinya ia menyentuh pakaian dalam milik suaminya. "Pakaikan." Nilam memasukkan kembali celana dalam awalnya pada kedua kaki restu hingga lutut, dan lelaki itu setengah mati menaikkan sendiri. Sekilas, Nilam tidak melihat sedikit pun luka di kaki Restu. Hanya sepasang kaki yang lumpuh layu. "Satu lagi." Restu bertitah. Dan kembali Nilam mengulangi. Selesai sudah. Nilam membuka tirai. "Sudah bu?" "Sudah suster." Nilam memberikan baskom dan washlap kepada kedua suster itu. "Aku haus." Perintah kembali terdengar. Nilam bergegas meraih gelas dan membantu meminumkan ke suaminya. Untuk memakai celana saja, Restu tampak susah payah. Kasihan sekali. Tampak titik-titik keringat muncul di dahi Restu. Nilam berinisiatif meraih tisu dan menyeka keringat yang muncul itu, tepat ketika pintu terbuka. Elsi tersenyum melihat sikap Nilam pada putrinya. "Restu sudah siap? Kita akan pulang sekarang." Beberapa orang mengangkat Restu dari ranjang ke kursi roda. Nilam membawakan beberapa barang milik Restu. "Mari bu, saya saja yang bawa." Supir Restu menghampiri Nilam. "Kamu dorong kursi roda Restu saja Nilam," titah Elsi. Nilam menurut. Ia mendorong kursi roda milik suaminya hingga ke parkiran. Tapi sepanjang lorong banyak banyak para dokter di rumah sakit ini yang menyapa Restu dengan ramah. Tampak di mata Nilam jika suaminya ini seakan memiliki pamor di rumah sakit ini. Atau mungkin kedua orang tuanya? Nilam duduk di samping Restu ketika mereka masuk ke dalam mobil. Ternyata mobil Restu dan mobil orang tuanya berbeda. Nilam menatap keseluruhan mobil mewah ini. Tak beda jauh dengan mobil kedua orang tua Restu, mobil ini pun merupakan mobil keluaran terbaru. Sungguh, menjadi orang kaya itu enak dilihat. Tapi bagi Nilam, andai ia bisa memilih ia hanya ingin bersama Elang dengan segala kesederhanaan mereka. Mobil terus melaju, lama-lama Nilam mengantuk. Sementara Restu masih sibuk dengan ponsel pintarnya. Hingga ia tersentak ketika bahunya dijatuhi kepala Nilam. Rupanya Nilam sudah jatuh tertidur, dan tanpa sadar menyandar ke bahu Restu. Restu melirik sebentar. Ia menghembuskan napas. Menutup mata, demi membayangkan hari-harinya akan bersama gadis ini. Entah seperti apa nanti, yang jelas Restu akan meyakinkan gadis ini tidak akan betah menjadi istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD