02. Prolog : Tumbal Pesugihan (2)

1160 Words
Menik memilih menangis sendiri di dalam toilet sekolah. Cukup sudah penghinaan ini ditelannya. Dia akan berusaha mengabaikannya. Tak ada Delon, Menik masih memilik dua sahabat yang amat setia padanya, juga kedua orangtua yang sangat menyayanginya. Hidupnya bahagia di kelilingi orang-orang yang mengasihinya. “Good bye, Delon. Mulai sekarang Menik berhenti menjadi fans nomor satumu,” gumam Menik di depan kaca wastafel. Dia mengusap airmata terakhir yang ditumpahkannya untuk menangisi cowok arogan semacam Delon. Pada dasarnya Menik adalah gadis ceriwis dan ceria, dia berusaha memulihkan sikapnya supaya sahabat dan orangtuanya tak khawatir padanya. “Fighting, Menik! Meski hati ini perih, kamu harus tersenyum ceria,” kata Menik pada dirinya sendiri sebelum meninggalkan toilet. Menik berjalan mencari kedua sahabatnya. Dia menemukan mereka sedang mengobrol di bawah pohon belimbing, di halaman belakang sekolah. Menik mengendap-ngendap mendekati sahabatnya, dia ingin menggoda mereka dengan memberinya kejutan. Tapi belum sempat melakukannya, Menik terdiam begitu mendengar sahabatnya membicarakan dirinya dengan heboh. “Rasain, deh, ratu ghibah kita. Biar matanya terbuka! Mana cocok dia sama Delon, cogan sekolah kita? Ish, narsisnya amit-amit! Muak aku melihatnya.” Silvi mencemooh dengan sinis. “Hu-um, aku mau muntah tiap kali dia bercerita Delon melihatnya ... Delon memperhatikannya ... Delon anu, Delon ono. Sadar diri, kaliii. Siapa sih dia? Tukang ghibah sejagad raya? Haiiish, sebenarnya aku malu menjadi temannya!” timpal Sasa. “Lah, terus ... mengapa kamu mau terus bersamanya? Apa alasanmu sama denganku? Karena dia sering mentraktir kita?” pancing Silvi. “Dan bisa kita manfaatkan untuk membantu kita dalam segala hal. Iya, kan?” sambung Sasa geli. Dadaa Menik bagai diremas mendengar pembicaraan kedua sahabatnya. Mengapa kedok mereka harus terbongkar disaat hatinya terluka begini? Apa salah Menik? Mengapa mereka begitu tega padanya? Dengan airmata bercucuran, Menik memilih pergi meninggalkan kedua sahabatnya. Bukan sahabat, tapi mantan sahabat! Tak masalah Menik tak memiliki teman atau sahabat. Setidaknya ada orangtua yang mengasihinya dengan tulus. Dan itu yang amat berarti dalam hidupnya. Menik pulang dengan luka di hatinya. Sesampainya di rumah, kedua orangtuanya menyambutnya dengan sedikit berlebihan. Mereka memeluknya erat seakan baru melihat Menik setelah pergi sepuluh tahun lamanya. “Anak gadis Mama baru pulang, capek ya Sayang?” Mamany menyambut dengan sukacita. “Menik lapar? Bilang saja mau apa, Papa akan memenuhi,” timpal ayahnya. “Menik masih kenyang, Ma. Tapi kalau Mama sudah masak, tak apa. Menik akan memakannya.” Bu Marni mencubit pipi Menik gemas. “Anak gadis Mama memang luar biasa. Mama bangga menjadi orangtuamu. Pengorbanan Menik akan selalu Mama kenang.” “Pengorbanan?” ulang Menik bingung. Apa kedua orangtuanya tahu kalau hati Menik tengah rusuh dan dia berkorban mempertahankan keceriaannya supaya papa mamanya tak khawatir padanya? “Oh, maaf Mama salah bicara. Yang jelas Mama hanya ingin mengungkapkan betapa Mama sangat mencintaimu,” kata Bu Marni dengan terharu. “Love you too, Mama.” Habis cintanya ditolak oleh gebetan, akhirnya ada juga yang menyatakan cinta padanya. Walau dari mamanya sendiri! Wajah Menik sangat sumringah melihat penyambutan meriah papa mamanya, dia masih tersenyum ceria ketika kedua orangtuanya menuntun dirinya masuk kedalam rumah. Senyumnya surut begitu menemukan sosok asing yang terlihat menyeramkan di balik kepulan asap berbau kemenyan. “Ma, Pa ... dia siapa?” tanya Menik bingung. Mamanya menatap was-was dengan tangan terpilin-pilin pertanda grogi. Menik jadi bingung. “Dia Mbah Suro,” jawab Pak Juno setelah mengela nafas panjang. “Mbah Suro dari Suroboyo?” sahut Menik yang kembali mengghibah di saat kurang tepat. Tentu saja tak ada yang ingin menanggapi guyonan jayus Menik. “Sini, Nduk!” Mbah Suro melambaikan tangan pada Menik. Sebenarnya Menik enggan mendekati pria tua bermata tajam itu, firasatnya mengatakan pria itu bukan orang baik. Namun kedua orangtuanya mendorongnya ke depan Mbah Suro. “Ma, apa kalian berniat mencarikan jodoh buat Menik?” bisik Menik asal menebak. “Apa?” Pak Juno ternganga keheranan. Sungguh absurd pikiran anaknya, bisa-bisanya gadis lugu ini memikirkan jodoh di saat terakhir hidupnya. Menik menyeringai konyol. “Cowok ganteng siapa yang akan kalian guna-gunai supaya bersedia menikahi Menik?” “Pikiranmu ....” “Benar, Menik!” Bu Marni segera memotong kalimat suaminya. Dia menemukan cara agar Menik patuh mengikuti ritual penumbalan dirinya. “Benar kah?” Mata Menik membola mendengarnya. Mengapa dia tak memikirkan hal ini dari awal? Cinta ditolak, dukun bertindak! Dia akan menggunai-gunai Delon yang telah semena-mena menolak perasaannya sekaligus mempermalukannya di sekolah. Menik tersenyum sumringah. “Menik boleh memilik cowoknya, kan?” Bu Marni mengangguk. “Tentu saja. Pikirkan saja cowok itu saat ritual nanti.” Demikianlah mereka menipu Menik supaya bersedia mengikuti ritual sesat yang sebenarnya bertujuan menjadikan dirinya tumbal pesugihan keluarganya. Menik yang polos tak menyadarinya. Dia justru mengira mereka akan membantunya memelet Delon. Tapi semakin kemari, Menik tak tega melakukannya. Dia khawatir tak sengaja telah mencelakakan Delon. “Mama, ritualnya boleh di-cancel?” sesal Menik. Bu Marni mendelik gusar. “Tak boleh, nanti Mbak Suro marah!” “Ta-tapi ... Menik tak ingin Delon celaka,” cicit Menik was-was. Gadis itu tersentak karena mendadak Mbah Suro mengangkat kedua lengannya keatas dengan mata menatap nyalang dirinya. “Mama, Papa mengenal orang ini darimana? Sepertinya dia psikopat!” bisik Menik. “Diam, Menik! Kamu harus mengikuti instruksi Mbah Suro demi kami,” perintah Pak Juno gemas. “Mengapa begitu, Pa? Menik tak mau, ah! Bulu kuduk Menik berdiri, nih! Dia pasti punya maksud tak baik. Sudahlah, Menik mau ke kamar saja,” bantah Menik dengan muka manyun. Menik bangkit berdiri, namun papanya segera menariknya turun. Dia berusaha memberontak dan kedua orangtuanya membekapnya kencang. Wajah Menik memucat. Dia tak menyangka papa mamanya akan sekasar ini padanya. “Papa, Mama! Apa-apaan ini? Sakiiit ....” “Diam, Menik! Kami akan sangat menghargai kalau kamu berkorban demi kami dengan tenang!” bentak Pak Juno. Mendadak Menik terpaku. Berkorban? Apa dirinya dikorbankan untuk sesuatu yang tak diketahuinya? “Minumkan ramuan ini padanya. Ini akan mengikat roh gadis ini pada mantera saya,” celetuk Mbah Suro sembari menyerahkan secawan cairan berwarna biru kehitaman. Mereka mencekok ramuan itu ke mulut Menik. Gadis itu dipaksa meminumnya, untung sebelum habis dia berhasil memberontak. Menik segera bangkit dan berlari ke luar rumahnya. “Tolong! Tolong!” teriak Menik histeris. Saat berlari Menik menabrak seorang lelaki berpakaian serba hitam dan mengenakan kacamata hitam yang menutupi matanya yang indah. “Tuan Alfonzo!” teriak beberapa pria lain di sekitar lelaki yang ditabrak Menik. Lelaki itu mengangkat tangannya, berusaha menahan emosi anak buahnya yang marah karena ada seorang gadis serampangan yang mencurigakan telah menabrak pimpinan mereka. “Tahan! Dia hanya gadis yang ketakutan,” ucap Alfonzo sembari mengamati gadis yang terlihat berdiri kepayahan di depannya. Gadis itu nyaris terhuyung jatuh andai Alfonzo tak memegangi pinggangnya. Alfonzo membuka kacamata hitamnya supaya bisa mengamati gadis yang telah berhasil mencuri perhatiannya. Cantik sekali, batin Alfonzo. Apa dia dewa? Manik matanya abu. Menik belum pernah menemukan pria dewasa setampan ini. “Tuan, tolonglah a-aku. Mereka menjadikan ... ku tum ... bal ....” Menik tak berhasil menyelesaikan ucapannya, kesadarannya lenyap dalam pelukan pria tampan bermanik abu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD