Awal Mula Penderitaan

1066 Words
Hari ini, langit mendung membungkus kota diikuti dengan tetesan air hujan yang mulai jatuh membasahi bumi, seperti sangat mendukung suasana hati beberapa orang yang sekarang ini sedang berduka, tertunduk lemah sembari meneteskan air mata memandangi sebuah makam yang bertuliskan nama Fiera. Fiera yang dikenal sebagai orang yang sangat ramah di lingkungannya meninggalkan rindu dihati mereka yang beliau tinggalkan. Fiera sangat jahat, begitulah pikiran salah satu orang yang terduduk memegangi tanah makam Fiera. Fiera pergi begitu saja untuk selamanya meninggalkan suami serta kedua anaknya. Semua orang di lingkungan itu sangat khawatir melihat bagaimana keadaan dan kehidupan anak yang Fiera tinggalkan sekarang. Apalagi, mengingat bahwa Reza—suaminya—yang selalu santai dan tidak mempunyai pekerjaan. Selama ini Fiera yang menjadi tulang punggung keluarga mereka. "Ma. Mama jahat ... ninggalin Naya sama Rio!" lirih Anaya Ziera—putri Fiera. "Udah, Nay. Nanti mama gak tenang di alam sana," ujar salah satu tetangga mereka. Lalu, mereka satu-persatu pulang kembali ke rumahnya masing-masing meninggalkan suami serta anak Fiera yang masih berduka. Setelah dirasa sudah sunyi, Reza—suami Fiera—berdiri sambil tertawa renyah, "Kalau mau mati, seharusnya ninggalin harta, sialan! Malah ninggalin beban!" sungut Reza, lalu pergi meninggalkan kedua anaknya. Anaya melihat kepergian Reza—ayah tirinya—dengan tatapan takut. Anaya tidak dapat meramalkan bagaimana dia akan hidup bersama Reza yang sama sekali tidak pernah menafkahi mereka sedikitpun. Anaya memeluk adiknya yang sangat dia sayangi itu erat, menguatkan adiknya walaupun dirinya sendiri tidak sekuat itu. "Ma, Naya takut! Naya takut papa Reza bakal jahat sama kami," lirih Anaya Ziera. Anaya lalu berdiri dan mengajak Rio—adiknya—untuk kembali pulang kerumah mereka. *** Prang! Bunyi barang yang sengaja dipecahkan oleh Reza membangunkan Anaya dari tidurnya. Anaya terbangun dan menghampiri ke arah suara. Perasaan Anaya sangat takut jikalau bunyi itu berasal dari barang Anaya yang sengaja dipecahkan. Dan betul saja, Anaya membulatkan matanya melihat Reza yang menghancurkan celengan ayam miliknya. Uang yang sudah lama dia tabung untuk melanjutkan cita-citanya menjadi seorang dokter. "Pa, jangan! Pa, ini tabungan aku, Pa." Anaya mencoba merebut uang yang sudah digenggam Reza. Tapi, kalah telak. Tenaga Anaya sangat tidak sebanding dengan kekuatan Reza. Reza mendorong keras Anaya hingga punggunya terbentur keras ke belakang hingga mengenai dinding rumah mereka. "Pa, itu uang buat Anaya kuliah, Pa," ujar Anaya sendu. "Dasar anak durhaka kamu!" teriak Reza. "Segini doang! Mulai besok Papa gak mau tau, kamu harus cari uang buat Papa!" murka Reza. "Tapi, Anaya udah kelas tiga SMA, Pa! Anaya mau fokus belajar dulu!" kilah Anaya. "Oh, kalau gitu Rio aja suruh jadi pengemis, gimana?!" Tanya Reza tertawa keras. Anaya terkejut mendengar penuturan Reza yang menurutnya sangat kejam. Ntah, mengapa ibunya mau menikahi pria kejam ini. "Pa, jangan ...!" "Iya, biar Naya aja yang cari uang." Lanjut Anaya pasrah. Reza yang mendengarnya tersenyum senang. Lalu, pergi meninggalkan Anaya sedang menangis terduduk sembari memengangi punggungnya yang terasa perih. Tiba-tiba Anaya langsung menghapus bulir air matanya yang berada dipipi Anaya, karena Anaya melihat Rio adiknya menatap dia dengan tatapan sedih. Anaya tidak ingin melihat adiknya bersedih, itulah janjinya pada Fiera—mama mereka. Cukup Anaya yang merasa hidupnya hampa! "Rio, kok bangun?" tanya Anaya mendekati Rio yang berdiri di depan kamar mereka. "Papa jahat ya, kak?" tanya Rio pelan. "Gak kok, udah ya, ayo lanjut tidur lagi," ajak Anaya pada adiknya. "Rio gak mau jadi pengemis, kak. Nanti Rio malah ditangkap," ujar Rio takut. Anaya mencoba tertawa seolah semua itu hanyalah lelucon, "Rio gak akan jadi pengemis kok! Rio nanti harus jadi orang sukses, oke! Janji sama kakak ya?" ujar Anaya memaksa senyum. Padahal Anaya masih dapat merasakan punggunggnya yang sakit akibat benturan tadi. Tapi, dia malahan memaksakan seolah tidak terjadi apa-apa padanya di depan Rio. Setelahnya, Anaya mengunci kamar mereka. Takut jika Reza pulang dalam keadaan mabuk dan hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi pada mereka. Hancur sudah impian Anaya untuk memasuki dunia kedokteran, menimbang bahwa dia bakal meninggalkan Rio hidup sengsara dengan Reza. Padahal Anaya sendiri sudah belajar keras untuk dapat meraih cita-citanya itu. Tapi, setelah berpikir panjang bagaimana mungkin Anaya pergi mengejar beasiswa, jikalau Rio ditinggal sendiri pada Ayahnya yang jelas-jelas tidak pernah menafkahi mereka. Anaya mencoba memasuki alam mimpi. Tapi, tidak bisa karena masih kepikiran di mana Anaya kerja untuk menghasilkan uang buat kebutuhan mereka. Uang Anaya sangat minim sekarang. Apalagi, tabungan Anaya sudah diambil semua oleh Ayahya untuk bermabukan. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan jam 2 malam, Anaya yang masih terjaga dikarenakan memikirkan pekerjaan apa yang bakal dia lakukan. Anaya mulai ketakutan. Bagaimana tidak? Anaya mulai mendengar suara khas mabuk Reza—ayah tirinya. Berusaha menenangkan perasaan takutnya sendiri sembari mengunci dan meletakkan meja belajarnya di belakang pintu agar tertutup rapat. Setelah dirasa aman, Anaya langsung memeluk Rio—adiknya—yang sudah tertidur untuk mengurangi rasa takutnya. *** Anaya bangun lebih cepat sekarang, dia tidak boleh bermalas-malasan. Karna Fiera sudah tidak ada lagi, yang biasanya memanjakan mereka. Anaya harus sadar diri! Mulai dari melakukan pekerjaan dapur, membuat sarapan sederhana hingga membantu Rio dalam sekolahnya. "Sarapan, ayo," ajak Anaya pada Rio. "Iya kak," sahut Rio. Lalu, menyantap makanan yang sudah tersedia. Anaya juga sudah memakai seragam SMA. Tanpa terasa, Anaya sebentar lagi tamat dan harus fokus mencari pekerjaan buat kebutuhan mereka. Reza keluar dari kamarnya dan menuju meja makan untuk sarapan. "Naya, kamu jangan lupa cari uang!" ujar Reza. Sangat tidak tahu malu! Anaya hanya mengangguk paham sebagai jawabannya. "Kak, Rio sudah selesai sarapan. Ayo berangkat!" ajak Rio. Anaya mengeluarkan dua ribu rupiah dari kantong dan menyerahkannya pada Rio, "Ini buat jajan Rio," ujar Anaya. Tapi, belum sampai ketangan Rio, Reza dengan cepat merampas uang itu dari tangan Anaya, membuat keterkejutan mereka berdua. "Pa, itukan buat Rio," protes Anaya. "Diam kamu! Mana lagi duit kamu siniin!" cetus Reza. "Cuman ada itu, Pa. Gak ada lagi," sahut Anaya pelan. Prang! Reza membanting piring dihadapannya dan pergi begitu saja. Lagi-lagi Anaya harus menahan tangisnya yang hampir pecah dihadapan Rio. Rio memeluk Anaya, "Gak apa kak, Rio udah kenyang kok. Gak usah jajan juga Rio kuat," bisik Rio. Anaya membalas pelukan Rio, sangat beruntung masih mempunyai penyemangat seperti adiknya yang satu itu. "Ya sudah, ayo berangkat! Nanti terlambat," ujar Anaya. Mulai dari hari ini sampai ke depannya, Anaya dapat memprediksi bahwa hidupnya tidak akan baik-baik saja. Hanya ada penderitaan yang akan datang. Tapi, bagi Anaya biar dia yang menanggungnya sendiri jangan libatkan Rio, adik kesayangan Anaya. Hari ini, Anaya pastikan ini adalah awal dari penderitaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD