Memulai Pekerjaan Baru

1044 Words
Selesai pulang sekolah, Anaya tidak langsung pulang ke rumahnya seperti biasa. Tetapi, Anaya sedang berkeliling mencari sebuah lowongan pekerjaan yang dapat mempekerjakannya. Sulit rasanya mendapat sebuah pekerjaan. Apalagi, mengingat bahwa Anaya anak SMA kelas 3 yang akan sibuk untuk mengikuti ujian kelulusan dan yang lainnya. Sudah berapa tempat yang Anaya datangi. Tapi, tidak ada satupun yang menerima dia dengan alasan mereka mencari seorang yang sudah berpengalaman. Anaya akui, bahwa dia belum mempunyai pengalaman. Tapi, tidak sampai di situ. Anaya masih kuat dan tidak akan menyerah sampai di sini untuk mencari lowongan pekerjaan buat kebutuhan mereka. Anaya tidak mau adiknya disuruh menjadi pengemis. Setelah beberapa lama berjalan, Anaya melihat secarik kertas yang tertempel di pohon. Anaya buru-buru mendekatinya dan mengambil kertas tersebut lalu membacanya. Anaya sangat senang bahwa di sana tertera bahwa sebuah restaurant yang baru saja diresmikan sedang mencari karyawan, baik itu part-time maupun full-time. Dengan hati senang Anaya berlari menuju tempat yang tertera di sana. Takut jika banyak yang akan melamar di sana. Setelahnya, sampailah Anaya ke tempat tujuannya. Anaya berusaha menetralkan nafasnya yang tersengal-sengal. Anaya menarik nafas pelan dan menghembuskannya perlahan, "Tolong Naya, Tuhan ..." gumamnya pelan. Lalu, memasuki restaurant tersebut. Bertemulah Anaya dengan manager restaurant itu dan mulai berbincang sebentar. "Halo, Pak," ujar Anaya ramah. "Saya, Anaya. Kalau boleh tahu, apakah restaurant ini masih mencari seorang karyawan, Pak?" Anaya bertanya. "Iya, masih. Kamu mau melamar ke sini?" tanya manager restaurant itu langsung keintinya. "Benar, Pak. Tapi, saya mau ngambil yang part-time. Apakah masih ada, Pak?" tanya Anaya hati-hati. Manager tersebut mengangguk sebagai jawabannya, "Iya, masih ada. Kalau begitu kamu boleh ke ruangan yang ada di sana." Manager tersebut menunjuk ke ruangan yang berada tepat di depan mereka untuk mengarahkan Anaya. "Di sana, kamu boleh mencatat biodata. Dan kalau bisa sih ... ya, langsung kerja aja! Gimana?" ujar manager itu bertanya. Dengan hati gembira dan teramat senang Anaya mengangguk cepat, "Wah ... boleh banget, Pak!" ujar Anaya semangat. Anaya langsung mengikuti arahan managernya dan langsung memakai seragam khas pekerja di restaurant tersebut. Bekerja mulai dari jam 15.00 - 23.00 WIB sangat berat buat Anaya. Tapi, bagaimana lagi, Anaya harus mau. Tidak ada lagi pekerjaan yang mau mempekerjakan Anaya yang masih sekolah. Kalau sudah lulus, Anaya akan mengganti jam kerjanya menjadi full-time, tujuannya ialah agar gajinya bertambah. Anaya hanya mau membuat adiknya kelak menjadi orang yang sukses. Walaupun Ayah tirinya yang akan menjadi halangan. Sedari-tadi, Anaya dan karyawan lainnya tidak pernah berhenti bergerak, mereka selalu mondar-mandir melayani pengunjung restaurant yang semakin lama semakin banyak. Restaurant Pradipta, itulah nama restaurant tempat Anaya bekerja. Anaya terkejut melihat harga semua menu-menu yang tersedia di restaurant ini sangatlah mahal. Bagaimana bisa banyak sekali pengunjung yang datang ke restaurant ini. Anaya dapat memastikan dengan memperhatikan pengunjung yang datang ke restaurant ini adalah rata-rata berasal dari keluarga elite dan terpandang. Seseorang menepuk pelan bahu Anaya, "Jangan melamun! Itu masih banyak piring kotor," ujar seorang gadis dengan rambut dicepol. Anaya tersentak, "E-eh, iya." Anaya langsung bergegas mencuci piring dihadapannya itu. Semakin malam semakin banyak pengunjung yang makan malam di sini. Makan malam? Ah! Anaya jadi kepikiran Rio—adiknya. Apakah dia sudah makan? Pasti Rio ketakutan sekarang bersama Reza yang sudah Anaya pastikan sedang mengamuk karna tidak ada makan malam dan juga uang untuk bermabukan. Tanpa sadar Anaya meneteskan air matanya. Nanti kalau sudah pulang kerja, Anaya akan membelikan satu roti untuk Rio dari uang yang dia dapat tadi di jalan. Ya, walaupun hanya dua ribu rupiah, bagi Anaya uang tersebut sudah sangat berharga. Restaurant perlahan mulai sunyi tanpa menyisahkan satu orang. Karyawan mulai bergegas membersihkan dan membereskan restaurant yang berantakan agar mereka bisa pulang dengan cepat, karena memang sekarang sudah lewat dari jam pulang kerja mereka akibat dari banyaknya pengunjung tadi yang membludak. Anaya sudah kembali dengan pakaian sekolahnya tadi dan akan segera pulang. Bagian dari menutup restaurant adalah karyawan pria. Jadi, Anaya dan karyawan wanita lainnya bisa pulang meninggalkan mereka yang menutupnya. Saat melangkah keluar, Anaya dipanggil oleh salah satu anggota karyawan. "Hei ... kita tadi belum sempat kenalan," ujarnya Ramah. Anaya tertawa dan mengingat bahwa yang ada di depannya sekarang adalah orang yang tadi menyadarkannya dari lamunan dia tadi. "Oh iya, aku Anaya." Anaya mengulurkan tangannya ke depan. "Sinta ... salam kenal ya," ujar gadis dengan rambut dicepol itu. "Oh iya, ini buat kamu. Setiap malam karyawan semua di sini itu dapat jatah makan malam. Kamu main pergi aja, sih! Jadi, aku bungkusin buat kamu, nih ..." Sinta menyerahkan sebuah nasi kotak kepada Anaya. Anaya senang, lagi-lagi Tuhan masih berbaik hati padanya. Sangat kebetulan sekali, Anaya lagi membutuhkan makanan buat adiknya sekarang. Dengan mata berbinar Anaya menerimanya, "Terima kasih, Sinta," ujarnya. "Semoga kita jadi teman baik, ya?" ujar Sinta senang. "Aku pulang duluan ya, dah ..." Pamit Sinta meninggalkan Anaya. Anaya langsung berlari menuju rumahnya. Sekarang, jam sudah menunjukkan tengah malam. *** Anaya sampai di depan rumah. Dengan penuh hati-hati dia melangkah ke arah kamar, agar tidak membangunkan Ayah tirinya yang mungkin sedang di kamar. Dengan selamat. Akhirnya, Anaya sampai di kamarnya. Anaya dapat melihat Rio sedang tertidur dengan gelisah memegangi perutnya. Tangan Anaya bergerak membanguni Rio agar makan nasi yang dia bawa tadi. Supaya Rio dapat tertidur pulas. "Rio, makan yok!" ujar Anaya membanguni adiknya. Rio mulai menggeliat dan melihat kakaknya, "Kak? Udah pulang?" tanya Rio. "Ini, makan dulu yok. Kakak bawa makanan enak buat Rio, nih ..." ujar Anaya. Rio senang melihat makanan enak di depannya. Dengan cepat pula Rio memakannya, "Ayo kak. Kita bagi dua," ujar Rio sedih melihat kakaknya hanya diam memandanginya makan sendirian. "A-ah, gak usah! Kakak udah makan tadi," bohong Anaya. Padahal, Anaya sudah meneguk berkali-kali salivanya melihat porsi makanan di depannya yang sangat enak. Rendang daging sebagai lauknya, mencium aromanya saja sudah membuat perut Anaya berbunyi karna keroncongan. "Rio aja yang makan ya?" Anaya lalu mengeluarkan sebuah roti dari tas sekolahnya. "Kakak makan roti aja," ujarnya lagi. Anaya langsung memakan roti yang sempat dia beli tadi di warung. Anaya memakan roti tersebut dan meneguk air putih sebanyaknya untuk menghilangkan rasa laparnya. Seperti inikah yang dirasakan Fiera—ibunya menafkahi dan membanting tulang buat mereka? Anaya yakin pasti sangat sulit menjadi beliau. Tapi, sekarang beliau tidak menanggungnya lagi. Beliau sudah senang sekarang. Kini Anaya yang harus menanggungnya, karna Ayah tiri tidak tahu diri itu selalu mengancamnya dan tidak pernah menafkahi mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD