Terbiasa

1095 Words
Hari minggu merupakan hari libur semua karyawan Restaurant Pradipta. Jadi, semua karyawan dapat beristirahat sesuka mereka dalam satu hari seminggu. Ketika semua orang dapat bersantai hari ini, lain dengan Anaya yang membersihkan segala sesuatu pekerjaan rumah. "Aku bantuin ... Ya kak?" ujar Rio ikut membantu Anaya. "Rio bersihin kamar aja," suruh Anaya. "Siap kakak," sahut Rio. Rio lalu bergegas menuju kamar sesuai perintah Anaya. Anaya tersenyum lebar, setidaknya dia tidak mau membuat adiknya kelelahan karna membantui dirinya. Dari arah kamar Reza keluar dengan membanting pintu kamarnya. Hal yang membuat Anaya terkejut bukan main. Takut, itulah yang Anaya rasakan saat Reza terbangun. Sudah beberapa tahun ini hal itu masih sama. Rasa takut masih saja menjalar dalam tubuh Anaya saat bertatapan dengan Ayah tirinya itu. "Anaya! Anaya!" teriak Reza memanggil Anaya. Anaya tersentak lalu menuju arah Reza, takut jika dia lambat maka Reza akan menggunakan kekerasan lagi dengannya. "I-iya, Pa?" sahut Anaya dengan terbata-bata. "Duit mana! Papa mau sarapan," pinta Reza. "Ta-tapi, Pa ... Anaya udah nyiapin sarapan itu," ujar Anaya. "Jangan banyak tingkah kamu! Cepat! Belagu banget jadi anak. Kalau gak ku hancurin ini semua, mau?" ancam Reza. "Pa ... itu buat bayar makan sama kontrakan kita," ujar Anaya masih bersikeras. Reza yang mulai frustasi akibat keteguhan Anaya yang tidak mau lagi memberikan uang padanya pun memutuskan mengambil batang sapu di dekatnya. Lalu, dia memukulkan batang sapu itu pada Anaya. Hal yang membuat Anaya lagi-lagi menangis dalam diam. Sudah berapa kali Anaya harus menahannya. "Oke. Kalau kamu tidak mau ngasih uang. Papa bakal buat Rio jadi pengemis," putus Reza. Selalu Rio yang akan jadi alat buat Anaya ketakutan. "I-iya, Pa ..." Anaya lalu bergegas meninggalkan Reza untuk mengambil uang sisa gajiannya sedikit buat Reza. Lagi-lagi ancaman Reza adalah Rio. Ancaman yang dapat menghancurkan benteng pertahanan Anaya. "Nah, gitu dong," ujar Reza. Setelah Anaya menyerahkan uangnya, Reza langsung bergegas meninggalkan Anaya yang terpatung. Tetesan darah yang mengalir dari lengannya akibat pukulan Reza menetes secara perlahan. Sudah biasa! Ya, Anaya sudah mulai terbiasa dengan pukulan kekerasan yang diberikan Ayah tirinya itu padanya. Anaya terduduk lemas, lututnya tak sanggup lagi menopang badannya. Anaya mengambil sebuah foto di meja di dekatnya. Sebuah foto wanita kuat yang sedang tersenyum di sana. Fiera, Ibu sekaligus wanita kuat. Foto yang selalu Anaya peluk di saat hatinya hancur. Sudah berapa kali air matanya jatuh membasahi pipinya. Sudah berapa tetes yang Anaya keluarkan setiap harinya. Anaya kembali berfikir tentang kematian tragis ibunya. Sakit pastinya! Anaya selalu memperhatikan Fiera yang selalu pulang larut ditambah lagi Reza yang membebaninya. Anaya ingin sekali melihat sesosok Papa kandungnya. Namun, sangat disayangkan belum takdir Anaya dapat melihat Papa kandungnya. Karna disaat Anaya berumur 3 tahun Papanya malah meninggalkan mereka juga untuk selamanya. Dan pada umur 12 tahun, Fiera memutuskan untuk menikahi Reza. Hal yang sangat disesalkan oleh Anaya. Namun sayang, Anaya belum cukup umur pada saat itu untuk memahami semuanya. *** Tanpa terasa gelap malam telah menyelubungi langit. Anaya terbangun dari tidurnya. Tadi, ia sempat tertidur di dapur, tepatnya di meja makan. Karna sangat lelah satu harian, Anaya awalnya hanya menyandarkan tubuhnya. Namun, tanpa ia sadari malahan terlelap ke alam mimpi. Anaya memandang jam dinding. Jam telah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Dengan secepatnya Anaya bangkit untuk menyiapkan makan malam buat mereka. Anaya langsung terburu-buru menuju dapur. "Brak!" Suara hempasan dari pintu masuk membuat Anaya terkejut. Anaya melihat apa yang terjadi dan ternyata pintu masuk yang mengarah ke depan telah rusak akibat ulah Reza yang tiba-tiba datang. Reza menendang pintu begitu saja hingga rusak dan tak dapat di tutup kembali seperti biasa. Anaya yang melihatnya langsung syok. Bagaimana jika pintu itu sudah tidak berfungsi lagi. Apalagi mengingat ini sudah malam. Siapa yang akan memperbaikinya? Anaya sungguh hampir frustasi. "Pa ... itu pintunya kenapa bisa begitu?" tanya Anaya. "Apa? Kamu mau nyalahin orang tua, hah?" hardik Reza dengan nada yang sudah mabuk. Anaya dapat mencium aroma yang sangat menyengat, aroma alkohol yang menusuk hidungnya. Anaya sangat takut jika Reza pulang dalam keadaan mabuk. "Ta-tapi, Pa ..." "Papa, bisa mengetuk pintu tanpa harus merusaknya, Pa," lanjut Anaya. "Kurang ajar ini anak!" Reza menarik dengan keras rambut Anaya. "Ya, Pa ... ampun ..." isak Anaya memengangi tarikan rambut yang ada digenggaman Reza. Reza menghempaskan tarikannya ke pintu hingga membuat Anaya terlempar sampai membentur pintu yang sudah rusak tadi. "Awas aja sekali lagi berani membantah!" ancam Reza. Reza lalu berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Tapi, belum sampai pada kamarnya, Reza langsung tersungkur ke lantai. Dengan buru-buru Anaya bangkit untuk menopang Ayah tirinya itu. Dan saat Anaya membantu Reza berdiri, malahan Reza menolak dan mendorong Anaya hingga lagi-lagi badan Anaya harus terbentur pada meja kecil kayu di ruangan tamu mereka. "Awh ..." Rintihan kecil dari mulut Anaya keluar saat badan belakangnya menyentuh sudut meja. Reza tidak menghiraukannya dan malahan berusaha berdiri sendiri dan melanjutkan langkahnya yang sempoyongan menuju kamar. Dan dari arah kamar Anaya, Rio berlari sambil menangis memeluk Anaya. "Kakak ..." isaknya. "Loh? Kok Rio nangis sayang?" tanya Anaya. Detik kedatangan Rio, Anaya langsung merubah raut wajahnya. Yang awalnya sedih sembari menahan tangis, kini menjadi senang dan ceria. "Kakak, gak usah pakai topeng lagi! Kakak gak usah bohongin Rio dengan wajah palsu, kak!" tukas Rio. "Ka-kamu, Ke-napa, Yo?" tanya Anaya gugup saat melihat wajah Adiknya yang memandanginya dengan tatapan iba. "Gak usah tolong Papa Reza! Dia gak punya hati kak!" ketus Rio. Anaya terkejut mendengarnya, "Rio! Kakak gak pernah ngajarin kamu kayak gini!" bentak Anaya. "Rio lihat semua, kak!" "Diam! Kamu masih kecil! Kakak cuman mau kamu belajar yang bagus! Gak lebih!" putus Anaya. Anaya lalu berdiri perlahan. Semua badannya terasa nyeri, perih dan sakit. Anaya rasa semua badannya hampir mau remuk. Dengan sisa tenaga yang ada Anaya bergerak menuju dapur meninggalkan Rio yang terduduk bersedih. Kecewa. Saat Anaya mulai mengambil peralatan dan kebutuhan makan malam, darah segar tiba-tiba mengalir begitu saja dari hidung mancungnya. Anaya buru-buru membersihkannya dengan kain lap yang berada dekatnya. Begitu banyak darah yang berkeluaran begitu saja. Mata Anaya berkunang-kunang dan kabur. Anaya seakan tak mampu lagi menahan tubuhnya. Namun, Anaya tetap berusaha untuk tetap kuat. Rasanya ini sudah biasa, bukan hanya hari ini saja. Dan yang biasa Anaya lakukan jika keadaannya seperti ini ialah menepuk kuat kepalanya agar tidak pingsan. Anaya menepuk dan juga menarik rambutnya agar tidak pusing. Tapi, yang Anaya dapatkan adalah rambutya berguguran akibat tarikan keras dari Ayah tiri kejam itu. Anaya sudah mulai terbiasa akan hal seperti ini. Sudah berapa tahun ia diperlakukan kasar seperti ini. Bukan hanya ayahnya melainkan sebagian orang sekitarnya dan lingkungannya yang memandang remeh pada dirinya. Anaya hanya perlu bersabar. Dan sampai kesabarannya habis, Anaya hanya bisa selalu pasrahkan keadaannya pada Sang Pencipta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD