Masih Sama!

1113 Words
Tanpa terasa sudah dua tahun berlalu begitu saja. Tak ada yang berubah, semua sama seperti dulu. Begitulah kehidupan Anaya. Umurnya saja yang semakin bertambah, kini umur Anaya sudah 21 tahun. Genap pula ibunya meninggalkan mereka. Walaupun sudah bertambah umur, Anaya tetap diperlakukan ayah tirinya seperti dulu. Tidak ada yang berubah, hanya ada hari-hari yang kelam yang berjalan. Tidak ada hari yang cerah bagi Anaya. Begitu juga tempat kerja Anaya. Masih sama! Yang berbeda ialah sekarang Anaya sudah diangkat sebagai karyawan tetap dengan gaji yang sangat lumayan. Mungkin itu saja yang membuat Anaya bersyukur. Apalagi, mengingat bahwa Rio sebentar lagi akan naik tingkat ke SMP. Anaya harus berjuang sebisa mungkin. "Nay ... istirahat dulu kata si Bos," ujar Sinta menyuruh Anaya untuk beristirahat. "Iya," sahut Anaya. Anaya dan Sinta sudah menjadi sahabat sekarang. Walaupun beda satu tahun dengan Anaya. Sinta tidak mau dipanggil kakak oleh Anaya. Mereka hanya ingin jadi sahabat yang saling support satu sama lain. "Nay ... Bokap lo masih sering mukulin kamu ya?" tanya Sinta hati-hati. Anaya mengangguk, "Aku juga bingung gimana berhentiin kebiasaan Papa aku," ujar Anaya. "Kamu gak takut digituin terus?" Anaya hanya tertawa pelan seakan semua sudah tidak terasa lagi padanya, "Udah biasa, jadi kebal aja gitu," sahut Anaya diiringi tawa paksanya. "Aku lapor ke polisi aja ya, gimana?" tanya Sinta mengeluarkan pendapat. Anaya terkejut mendengar penuturan Sinta, "E-eh ... jangan!" "Kenapa sih? Ini udah kelewatan tahu! Lihat wajah kamu sampai lebam kayak gini," ujar Sinta khawatir melihat keadaan Anaya. "Udahlah gak usah. Ayo kembali kerja, nanti marah si bos." Anaya nampak menghindar saat Sinta hendak menolong dia. Sungguh Anaya terlalu takut melaporkan Ayah tirinya kepada pihak berwajib. Anaya tidak ingin menjauhkan Rio dari Reza, Ayah kandung Rio. Pasti Rio akan sedih, pikirnya. Dua tahun silam dia sudah mengeluarkan semua keluh kesahnya, beban yang selama ini di pundaknya, tangis yang dia bendung sudah terpecahkan di bawah hujan deras dalam perpisahan sekolahnya. Dan selama dua tahun itu juga, Anaya kembali membendung tangisnya lagi. Kini Anaya kembali memundak beban yang belum bisa dia lampiaskan untuk dikeluarkan, semua masih dia pendam sedalam-dalamnya. Sampai nanti dia bisa mengeluarkannya kembali, Anaya akan berteriak sekencang munkin mengeluarkan keluh-kesahnya. Anaya akan menantikan hari itu. "Nay ... itu tolong ada pengunjung yang mau mesan sesuatu, meja nomor 23 ya. Tolong dilayani ya!" suruh salah satu karyawan pada Anaya. "A-ah ... iya." Anaya langsung bergegas membawa buku menu pada meja nomor 23. "Siang, mau pesan apa ya, Bu?" tanya Anaya setelah sampai pada meja 23. "Jadi gini. Anak saya sekarang lagi ulang tahun. Jadi ... saya mau semua karyawan mau ikut berpartisipasi buat nyanyi bareng ulang tahun. Bisa?" tanya seorang Ibu. Ya, meja 23 adalah seorang Ibu dengan anaknya yang sekarang sedang berulang tahun yang ke 8 tahun. Dan menginginkan karyawan resto pradipta ikut merayakan ulang tahun anaknya. "E-eh ... boleh kok, Bu. Dengan senang hati," ujar Anaya untuk melayani dengan sopan. "Tenang saja, saya bakal kasih semua karyawan yang berpartisipasi uang tip," ujar Ibu itu senang. Anaya bergegas memanggil serta mengumpulkan karyawan untuk berpartisipasi serta merayakan ulang tahun anak itu. Semua karyawan dengan senang hati turut dalam acara itu. Hingga semuanya berjalan dengan lancar sesuai dengan keinginan sang Ibu. Ibu tersebut lalu memberikan tip pada karyawan yang ikut serta. Entah mengapa, Anaya sangat senang dan juga iri pada seorang Anak cewek itu. Bagaimana tidak? Ibunya begitu menyanyanginya hingga merayakan ulang tahun gadis kecil itu di sebuah Resto Pradipta, Restorant yang terbilang mahal. Sungguh beruntung! Pikirnya. Anaya ingin merasakan hal yang sama! Acara selesai, Anaya bergerak hendak kembali ke dapur Resto. Tapi, sebuah tangan mungil menahannya, hingga membuat Anaya berhenti dan melihat arah tangan yang memeganginya. Anaya terkejut ternyata gadis kecil yang sedang ulang tahun itu memegang tangannya. Anaya kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan gadis kecil itu. "Selamat ulang tahun, Dik," ujar Anaya pada gadis kecil itu. "Makasih kakak cantik," sahut gadis itu. Anaya tersenyum hangat melihat gadis mungil di depannya itu. "Kakak mau gak jadi Istri Om aku?" ujar gadis mungil itu pada Anaya. Anaya melebarkan pupil matanya terkejut mendengar penuturan dari gadis kecil di depannya itu. "A-ah?" "Jeje ... Aduh, maaf ya. Ini anak emang jahil gitu," ujar Ibunya yang datang tiba-tiba dan sempat mendengar ujaran Anaknya itu. Anaya hanya tertawa canggung, "I-iya, gak apa kok, Bu." "Panggil Kakak aja, masih mudah kok," tawa wanita itu. Membuat Anaya mengangguk paham sembari tertawa canggung. "Ya sudah, Kakak pulang ya," ujarnya pada Anaya. "Da-dah ... tante," ujar gadis kecil yang dipanggil Jeje itu pada Anaya melambai. Anaya pun balik melambai pada gadis kecil itu. Sesudah semua pengunjung sunyi. Tiba-tiba secara mendadak Manager mereka mengumpulkan karyawan semua untuk kumpul. Semua karyawan tampak tegang melihat raut wajah Manager mereka. "Apakah kalian tadi ada sikap yang kurang mengenakan pada orang yang tadi merayakan ulang tahun?" tanya Manager. "Tidak, Pak," sahut mereka bersamaan. Manager tampak menghembus nafas lega, "Baguslah." "Memang kenapa, Pak?" tanya salah satu karyawan. Manager berdecak pelan, "Yang tadi itu merayakan ulang tahun bersama Anaknya adalah Kakak perempuan dari pemilik Restorant ini." Mereka semua hanya mengangguk dan bernafas lega karna tidak menyakiti hati mereka tadi. *** Sesampainya di rumah, Anaya langsung menyiapkan makan malam mereka. Hari ini, malam ini, hanya mereka berdua yang berada di rumah, hanya ada Rio dan Anaya. Sedangkan Reza—Ayah mereka—masih tetap melanjutkan kebiasaanya yang bermabukan. Reza seperti biasa meminta uang Anaya untuk bermabukan, jika tidak diberi, maka semua barang yang ada di rumah akan hancur berkeping-keping. Dengan terpaksa Anaya harus menyiapka setiap harinya uang untuk Reza dari hasil gajiannya yang sudah dia bagi-bagikan untuk Reza, sekolah Rio, kebutuhan mereka, serta uang sewa dan sejenisnya. Sungguh Anaya harus pintar membagikan serta mengelola keuangan dari hasil gajiannya serta tip yang dia dapat. Anaya menatap Rio yang makan sangat lahap. Tanpa terasa sekarang umur Rio sudah 10 tahun. Sungguh Anaya sangat senang karna dia masih sama, tetap kuat menjalani harinya yang termasuk suram. Mereka tampak menikmati makanan di depannya. Tiba-tiba Anaya kembali mengingat ujaran gadis kecil yang berulang tahun yang tadi menghampirinya. Seutas senyum terbit di wajah Anaya tanpa dia sadari, "Istri Om?" gumamnya pelan membeokan ujaran gadis kecil itu. "Kakak, kenapa?" tanya Rio bergidik ngeri melihat Anaya yang tersenyum sendiri. Anaya tersentak, "H-hah? Gak! Gak kenapa, kok!" sahut Anaya salah tingkah. Rio hanya tertawa, sudah lama dia tidak melihat senyum manis kakaknya. "Kakak kalau lagi senyum itu manisnya ngalahin gula," ujar Rio menggombal Anaya. "Oh, dah pandai merayu ya sekarang? Siapa yang ngajarin," ujar Anaya mengelitik perut Rio. Rio tertawa geli, sudah lama mereka tidak bercanda seperti ini. Rasanya malam ini sangat menyenangkan. Gak tahu hari besok seperti apa? Mereka hanya percaya tentang kata-kata bahwa 'Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD