Hari Kelulusan

1260 Words
Hari ini, detik ini juga, tanpa terasa hari-hari berjalan, Anaya harus berperang melawan ujian final. Anaya harus berusaha agar mendapat nilai yang bagus. Walaupun dia tidak melanjut, setidaknya dengan nilai yang bagus, Anaya pasti akan mendapat pekerjaan yang lebih baik lagi kalau misalnya dia tiba-tiba dipecat. Anaya segera mempersiapkan dirinya, sarapan telah dia buat. Dan Rio telah menyantapnya, tak lupa memberikan semangat pada Anaya tentunya. "Kakak, harus cepat. Jadi, kakak pergi luan ya?" ujar Anaya pada Rio. "Siap, kak!" sahut Rio. Saat Anaya hendak keluar rumah, Anaya ditahan oleh Reza—ayah tirinya. "Mau kemana kamu sepagi ini?" tanya Reza. "Na-Naya ... ada ujian, Pa," ujar Anaya dengan nada gugup. "Duit mana? Tinggalin duit dulu, baru kamu bisa pergi!" bentak Reza pada Anaya. "Ta-tapi ... Anaya udah kasih buat Papa kan semalam?" "Itu beda! Sekarang ya sekarang!" pekik Reza membuat Anaya ketakutan. Anaya berusaha menahan tangisnya, "Uangnya sudah habis, Pa. Buat bayar sewa rumah kita." "Kurang ajar kamu!" Reza membanting Anaya ke dinding rumah hingga membentur kepala Anaya. "Pa!" Rio berteriak histeris saat Anaya tersungkur ke bawah. Reza tidak peduli lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Anaya yang tadinya sudah memiliki semangat, kini kembali bersedih. Sudah berapa lama dia menahan ini semua. Begitu kurusnya sudah badan Anaya. Rio memeluk Anaya yang sudah terisak kesakitan, Rio ingin sekali memukul balik Reza. Tapi, apalah daya, Rio masih kecil dan tak sebanding dengan Reza. Rio sakit melihat Anaya—kakaknya— selalu disiksa oleh Reza—ayahnya. Lagi-lagi Anaya tersenyum pada Rio, "Jangan nangis, Kakak gak apa kok," ujarnya. Rio sungguh tak percaya lagi dengan kata-kata Anaya. Selalu tidak kenapa, padahal sekarang ini darah segar sudah mengalir dipelipis dan juga hidung Anaya. "Kakak ngajarin buat Rio gak boleh bohong, tapi kakak sendiri yang bohongin, Rio," isak Rio melihat keadaan Anaya. "Tapi, kakak, baik-baik aja kok," sahut Anaya. "Tapi, kakak berdarah." Rio menunjuk aliran darah yang keluar dari pelipis dan hidung Anaya. Anaya tersontak lalu berusaha untuk berdiri cepat, mengambil kain bersih dan mengilap darah yang keluar. "Udah ya, Rio lanjut makan. Kakak mau berangkat dulu, dah ..." Anaya langsung berlari menuju sekolahnya meninggalkan Rio yang masih bersedih melihat nasib Anaya. Setelah beberapa saat. Akhirnya, Anaya sampai juga ke sekolahnya yang terbilang cukup jauh. Dengan nafas tersengal Anaya memasuki kelasnya. Sungguh sangat memalukan! Anaya sekarang tengah jadi sorot perhatian para pesertas ujian. Bagaimana tidak? Anaya sudah terlambat, keadaannya kacau, sungguh tidak baik-baik saja. Peserta ujian serta guru pengawas yang sudah berada di dalam ruangan itu menatap Anaya yang baru tiba dengan tatapan kasihan. Mereka sudah tahu semuanya tentang kehidupan dan nasib malang Anaya dan keluarganya. Tak heran mereka menatap Anaya dengan tatapan seperti itu. Mereka yakin sekali ada suatu hal yang menyakitkan buat Anaya hari ini. "Pagi, Bu ... maaf saya terlambat," ujar Anaya. "Anaya, kamu sakit?" tanya guru pengawas pada Anaya. "E-eh ... tidak, Bu," sahut Anaya. "Baiklah, silahkan duduk," suruh guru pengawas. Anaya mulai memasukkan akun ujiannya pada komputer yang di depannya. Saat Anaya hendak login, guru pengawas memberi tissu pada Anaya. "Darahnya dilap dulu, Nak," ujar guru pengawas. "Te-terima kasih, Bu." Anaya langsung mengambil tissu tersebut dan mulai mengilap darah yang masih mengalir dipelipis dan hidungnya. Guru pengawas sangat terharu melihat perjuangan Anaya. Jarang ada anak yang sekuat Anaya. Anaya pun dengan seriusnya mengerjakan soal yang ada dihadapannya itu, sesekali dia mengilap darah yang terus mengalir dari hidungnya. Tanpa Anaya sadari, tetesan air mata guru pengawas terjatuh begitu saja melihat keadaan Anaya. Juga dengan beberapa murid jadi tidak fokus karna meneteskan air mata melihat nasib malang Anaya. Guru pengawas yang tidak tahan, memutuskan untuk keluar ruangan, memecahkan tangisannya di luar. Sudah berapa kali guru itu memberi Anaya sedikit uang. Tapi, uang tersebut malah disalahgunakan oleh ayah tiri Anaya untuk bermabukan. Beginilah nasib Anaya. Anaya sudah kebal ditatap dengan tatapan iba. Anaya juga sudah kebal dibenci oleh beberapa murid yang sok berkuasa di sana. Mengejek Anaya karna mempunyai keluarga yang tidak beres. *** Setelah beberapa hari melewati Ujian Nasional. Akhirnya, mereka semua selesai juga. Semua murid termasuk Anaya sekarang tengah berada di lapangan sekolah berteriak kegirangan karna ini adalah akhir dari perpisahan mereka semua. Lagu perpisahan sekolah berdentum keras. Hujan deras hari ini sangat mendukung semua murid untuk bermain hujan di lapangan sekolah dengan masih mengenakan baju sekolah. Mereka melompat kegirangan karna sudah melewati tiga tahun dalam suka dan duka bersama. Semua murid sangat bersuka-ria hari ini, tertawa kesenangan dengan bermain air hujan yang turun. Tapi, itu tidak berlaku pada Anaya. Anaya hanya berdiri di bawah air hujan yang turun membasahinya saja. Tidak ada kesenangan maupun kegirangan di sana. Tidak seperti yang lain melompat kegirangan, Anaya hanya berdiri memandangi mereka. Sungguh Anaya sedih, hujan seakan mendukung kesedihan hatinya. Sudah lama Anaya tidak menangis, semua beban dia simpan baik-baik dalam hati kecilnya. Dan inilah saatnya Anaya ingin memecahkan semua bebannya dalam tangis di bawah aliran hujan yang turun membasahi bumi beserta tubuh Anaya. Hujan menjadi saksi bisu kesedihan Anaya. Anaya menangis sekuat tenaganya di iringi hujan deras dan musik dengan lagu perpisahan yang berdentum keras. Tidak ada yang bisa mendengar tangis Anaya. Dan Anaya sungguh bersyukur hari ini. Akhirnya tangis Anaya yang selama ini dibendung, pecah juga hari ini. Ada sedikit kelegahan dihati Anaya. *** Setelah semua murid dinyatakan lulus ujian mereka semua senang termasuk Anaya. Hingga, hari ini adalah hari perpisahan mereka semua. Sekolah mereka melakukan pentas untuk perpisahan. Semua murid nampak sangat rapi dengan menggunakan baju yang sangat cantik dan istimewa. Hanya Anaya yang menggunakan pakaian sederhana dan adanya. Anaya menggunakan kebaya kuno milik mendiang ibunya. Dia tidak malu, sama sekali tidal malu. Senyum Anaya masih mengembang. Tapi, senyumnya tidak lama, karna Anaya sangat iri melihat semua temannya membawa turut kedua orangtua mereka dalam perpisahan sekolah kali ini. Anaya hanya datang sendiri, tidak ada yang menemaninya. Itu yang membuat Anaya sedih dan malu. Saat semua murid duduk dengan orangtua mereka tertawa bersama, beda dengan Anaya yang duduk sendiri bagaikan orang yang diasingkan. Tiba saatnya mengumunkan hasil ujian tertinggi, semua sangat gugup siapa untuk tahun ini pemegang nilai ujian tertinggi di sekolah ini. "Baiklah, pemegang atau peraih ujian tertinggi tahun ini di sekolah yang kita cintai ini adalah ..." Semua nampak tegang mendengar kepala sekolah yang menggantung ucapannya. Hal yang membuat semua teramat penasaran. "Selamat kepada ... Anaya Ziera ..." Anaya terkejut mendengar namanya sebagai pemegang nilai tertinggi tahun ini. Dengan senang Anaya langsung menuju podium. Tepukan tangan riuh memberi selamat pada Anaya. Anaya mengambil hadiah beserta sertifikat kejuaraannya dari kepala sekolah. "Terima kasih pertama-tama saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karna berkat-Nya lah saya dapat berdiri di sini sebagai peraih nilai ujian tertinggi tahun ini. Terima kasih buat kepala sekolah dan juga guru yang telah membimbing saya, beserta kepada teman semua yang sudah memberi saya semangat--" "Ma, Anaya udah membanggakan belum?" ujar Anaya melihat ke atas sambil meneteskan air mata. "Mama saya pernah bilang pada saya, kalau kunci dari kesuksesan itu adalah kesabaran ... dan betul dengan sabar saya akhirnya mendapat apa yang saya impikan ... walaupun tidak semuanya. Saat semua memakai baju yang istimewa, Tapi ... anaya gak punya itu semua, Anaya malahan memakai baju berharga milik Mama ... Anaya gak malu dan gak akan sedih sedikitpun." "Tapi ... yang buat Anaya sedih itu ... saat semua teman-teman membawa turut orangtua berpartisipasi dalam perpisahan kali ini. Ta-tapi ... Anaya tidak bisa membawa orangtua ke sini. Jadi, buat kalian teman semua semangat ya! Jangan sampai kalian ngecewain apa yang masih kalian punya, terima kasih ..." Tanpa sadar, semua meneteskan air mata terharu mendengar sepatah kata yang Anaya keluarkan. Hingga akhirnya, semua kembali bertepuk tangan memberi semangat dan apresiasi pada Anaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD