“Palsu?” Seruan serempak ketiga rekanku itu masih terngiang di telinga.
“Kau tahu ‘kan konsekuensi dari apa yang Kau katakan? Xan! Jangan sembarangan ngomong! Putri Jendral yang telah ditemukan itu nggak mungkin palsu.” Teriakan Kahill masih berdenging di telinga ini. Ini pertama kalinya, gadis itu berteriak seperti itu. Apalagi sikap panik Gustav yang baru saja membawa pulang putri palsu itu ke rumah Jendral. Kalau tak dipisah Sach, mungkin baku hantam tak terhindarkan. Aku memang tak bisa membuktikan pendapatku, tapi aku yakin, gadis yang berada di rumah jendral itu adalah Vasaya palsu.
Aku memacu motor klasik roda dua ini dengan kencang. Bagaimana Gustav melupakan tempat ini? Padahal sebelum berkas pencarian itu diambil alih, ini adalah tempat yang kutandai sebagai tempat yang paling mungkin di mana putri bungsu Jendral Istvan itu berada. Beberapa saat kemudian aku menghentikan mesin roda dua ini di depan cafe. Ini tempat terakhir yang kudatangi sebelum tugas khusus itu membuatku harus melimpahkan pencarian ini pada Gustav.
“Aaaa!” Teriakan seorang gadis mendadak terdengar. Ban depan motor ini ditabrak oleh ban sepeda.
“Aaa-aa-a.” Jeritan itu terdengar terputus-putus, gadis di atas sadel sepeda itu sedang kehilangan keseimbangan. Kemudian terhuyung ke tanah ketika gadis itu gagal mengendalikan sepeda itu.
“Agh!” teriak gadis itu ketika tangan ini berhasil menangkap lengannya dengan cepat dan mengembalikan posisinya. Aku menoleh tanpa melepaskan lengannya sebelum ia turun dari sepeda.
Gadis yang mengenakan topi Beanie dari bahan wol warna biru muda itu menstandarkan sepeda, mendekat dan mengetuk kaca penutup mata helm ini. Aku terkejut dengan tingkah spontan gadis ini.
“Hei!” teriaknya ketika kaca penutup mata pada helm ini kubuka. Gadis dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima ini berkacak pinggang dan membelalakkan matanya yang cantik.
“Hah! Ini ...?” ucapku dalam hati. Aku tertegun.
“Hei Guys! Bisa nggak sebelum berhenti tu, kasih kabar dulu? Apa gitu? Jangan mendadak gitu dong! Gimana jika aku tadi beneran celaka?” cerocosnya galak.
“Misalnya Kamu tanggung jawab, tanggung jawabmu itu tak seketika bakal memulihkan wajahku yang tergores aspal, ngerti ‘kan?” omelnya sambil bersedekap dan menatapku tajam.
Aku mengabaikan omelannya. Mata ini justru menangkap gambar seorang gadis cantik dengan level marah yang justru membuat kecantikannya meningkat. Paduan mata, hidung dan mulut itu seolah dipahat dengan sempurna. Aku makin tertegun, bukan hanya karena terpesona dengan kecantikannya, tapi ....
“Hei!” teriaknya lagi sambil kembali mengetuk helm dengan jari lentiknya ketika melihatku seolah membeku. Aku tersadar dan membuka helm ini.
“Wah!” seru gadis itu sambil menutup mulutnya. Matanya yang tadi terbelalak tambah membulat menjelaskan warna manik mata coklat muda indah.
Sesaat kemudian gadis itu menurunkan telapak tangan dari mulutnya.
“Tapi Kamu nggak jadi jatuh,” ucapku datar.
“Ehem!” dehemnya.
“Iya sih, ya udah, kalau gitu, aku nggak jadi marah,” ucapnya dengan pelan, “ tapi lain kali jangan berhenti mendadak tahu!” Aku mengangguk dengan kaku.
“Untung aja Kamu ganteng, jadi berkurang marahku ini,” imbuhnya tanpa sungkan. Aku nggak tahu harus bereaksi seperti apa, ini pertama kalinya seorang wanita berkata seperti itu. Biasanya wanita-wanita yang ada di sekitarku berinteraksi secara resmi. Kecuali Kahill yang kukenal sejak kecil di camp.
Gadis cantik itu kembali menaiki sepedanya dan mengayuh kendaraan tanpa mesin itu menjauh dari motorku. Beberapa detik kemudian aku tersadar dan segera mengikuti gadis itu yang masuk ke sebuah cafe.
“Pagi menjelang siang, Hannes ...,” sapa seorang wanita yang mengenakan celemek warna coklat kopi.
“Hem ... bener banget, pagi udah hampir usai,” sahut gadis itu sambil merebahkan punggungnya di salah satu kursi di cafe ini. Aku yang sebelumnya berada beberapa langkah di belakangnya mengambil kursi lain yang berada di sudut lain cafe ini.
“Coklat ya, Sa!” pinta gadis yang kuikuti ini pada pegawai cafe, kelihatannya mereka berdua sudah saling mengenal.
“Emang itu cocok di cuaca dingin seperti ini, yang lain seperti biasa ya?” jawab pegawai cafe itu, sekilas aku mengangkat kepala dan melihat gadis itu mengangguk.
Tangan ini dengan segera membuka layar handphone dan mengetikkan kata Hannes di pencarian pada satu website yang hanya kami yang bisa menembusnya. Berikutnya, telinga ini menangkap sepasang kaki bergerak mendekat dan kurang dari satu menit kemudian, kursi yang ada di depanku diseret.
“Hah!” Mulut ini auto ternganga. Gadis yang sedang kuselidiki ini duduk dengan santai di kursi itu dan menatapku lekat dalam waktu lama.
“Kamu mengikutiku ‘kan? Jujur deh! Jangan bilang aku salah!” serunya dengan wajahnya yang memesona.
Sejenak aku tergagap, tak menyangka kepribadian gadis ini selain spontan juga berani dan cerdas.
“Ya,” jawabku singkat dengan ketenangan yang pulih cepat.
“Untuk?” serangnya dengan ekspresi galak yang justru membuatku tambah suka melihatnya.
“Aku mencari seorang gadis dan Kamu punya ciri-ciri gadis itu,” jawabku tak mengulur waktu. Gadis itu mengernyitkan kening hingga bagian di antara alis itu berkerut-kerut ketika memundurkan posisi duduk.
“Ini bukan modus cowok untuk menggaet gadis-gadis ‘kan? Curiga deh!” sahutnya sambil melirik penuh selidik. Aku menggelengkan kepala seraya menatapnya dengan serius. Dari jarak dekat ini aku makin yakin jika gadis ini adalah Vasaya asli.
Gadis ini memicingkan mata dengan sinis sambil bersedekap, kemudian mengeluh kesal dan beranjak.
“Hei, Hannes!” panggilku seolah aku juga mengenalnya seperti pegawai cafe itu. Gadis itu berbalik dan membelalak tak rela.
“Kamu nggak di posisi untuk memanggilku seperti itu!” serunya kesal.
“Aku yakin, pasti baru tadi mendengar namaku dipanggil, sok akrab banget!” gerutunya, kemudian berbalik dan mendekat ke arah meja pegawai.
“Hannes!” seruku sambil mengikuti gadis itu ke meja kasir.
“Bukan begitu cara berkenalan dengan seorang gadis!” ceplosnya tanpa basa-basi.
“Aku a-ku bisa ...,” ucapku terhenti. Gadis itu membelakangiku.
Pegawai itu menatap dengan tanda tanya besar terpatri di wajah ketika gadis ini mengangsurkan uang. Gadis itu hanya menanggapi dengan mengedikkan bahu, kemudian menyambar pesanan yang dibungkus dalam kantong kertas dan keluar dari cafe ini. Ah! Aku nggak mungkin melepaskan buruanku yang mendadak muncul seperti jackpot dari langit ini. Kaki ini bergegas mengejarnya.
“Hannes, boleh minta waktunya sebentar ...,” seruku sambil mengikuti langkahnya keluar dari cafe ini.
“Cari modus lain!” balas gadis itu kesal sambil mempercepat langkah sambil menekan layar handphonenya.
“Aku bisa jelaskan,” bujukku, ah! Bagaimana cara yang baik untuk membujuk seorang gadis?
“Ah!” seruku kesal ketika tak berapa lama mendadak kendaraan roda dua muncul di depan cafe, lalu membawa gadis itu. Mata ini memandang sepeda dengan keranjang di bagian depan milik gadis itu yang ditinggalkan di halaman cafe.
Sebuah notifikasi masuk ke layar handphone.
“Kasus pembunuhan istri pertama Jendral akan segera dibuka, Kamu tahu artinya itu.” Tulisan itu membuatku merasa harus melakukan sesuatu.