Penculikan Dini Hari

1105 Words
Tak butuh waktu lama untuk orang sepertiku untuk melacak kediaman gadis itu. Nama Hannes yang telah kuketik dalam layar tadi telah memunculkan data-data yang kuinginkan. Beberapa nama yang sama dapat dengan mudah segera kueliminasi karena foto gadis itu mudah dikenali. Langkah darurat harus dilakukan. Maaf Hannes ....     Malam tiba. Aku tak perlu khawatir mendapat masalah untuk memasuki rumah bertingkat dua itu. Semua kamera dan pengamanan dengan mudah kulumpuhkan. Dini hari merupakan waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana. Bagiku, rumah kecil yang indah tingkat dua ini seolah tak berpintu. Aku berdiri di samping ranjang, sejenak lupa tujuanku menerobos kamar ini karena terpaku melihat kecantikan gadis yang sedang tertidur pulas ini. Ah! Aku berusaha memfokuskan pikiran dan duduk di tubir ranjang.       “Hannes,” bisikku lirih. Gadis itu membuka mata setelah tiga kali panggilan. Mata cantiknya menatap bingung ke arahku, mungkin dipikirnya ia melihatku di alam mimpi. “Ssst!” bisikku sambil meletakkan jari di mulut. “Dengar! Aku bukan orang jahat dan tak bermaksud jahat,” imbuhku agar dia tak menjerit. Mata gadis itu terbelalak, mungkin baru menyadari jika ini bukan mimpi. “Agh-,” Aku segera membungkam mulutnya ketika melihat gadis ini hendak menjerit. “Hannes, aku tak akan melukaimu, percayalah!” pintaku lirih. Bukannya menganggukkan kepala, gadis ini berusaha melawan dan membuatku terpaksa membuatnya tidur. Ah! Gadis ini keras kepala juga ternyata. Dengan cekatan tubuh gadis ini kuangkat.       Aku mendekap tubuh gadis yang berada di pelukan ini dengan satu tangan. Dini hari jalanan lengang, dan itu memudahkan perjalanan motor klasik ini, berjalan sambil mendekap seorang gadis begini pasti akan menarik perhatian jika jalanan ramai. Wangi rambut gadis ini begitu menenangkan. Sedetik kemudian aku tersenyum, benak ini tak membayangkan, gadis ini akan berada dalam pelukanku sekarang.       Empat puluh menit kemudian motor klasik ini berhenti di depan pintu utama hotel dengan gaya konvensional. Tulisan Haven terlihat menyala di atas hotel. Seorang laki-laki berkulit hitam dengan kepala plontos menyambut di lobi hotel. Setelah membungkuk dengan hormat, laki-laki ini menyelipkan kartu magnetik tanpa bicara. Dengan ekspresi datar, aku bergegas menuju kamar yang telah diatur itu. Aku meletakkan gadis ini dengan lembut di ranjang mewah kamar hotel ini. Dan kemudian sibuk dengan beberapa hal sebelum akhirnya tidur di sofa besar tak jauh dari ranjang itu.       “Ah!” keluh gadis itu ketika bangun dan menyadari sedang tidak berada di kamarnya. “Woi!” teriaknya marah ketika melihatku duduk di sofa dengan santai. Gadis itu mendekat dengan wajah marah. “Dibalik kegantenganmu itu ternyata Kau penjahat! Coba jadi model, aktor atau apa sajalah, yang penting nggak culik gadis-gadis!” serangnya berang. Aku mencoba tersenyum, walaupun tersenyum bukan hal yang biasa aku lakukan. “Ini breakfast dari hotel, teh hangat ini tentu akan membuat perutmu hangat, juga ... tenang,” ucapku sambil melirik benda yang berada di atas meja itu.       Gadis itu menatap dengan sengit, tapi tak urung duduk di sofa dengan kasar. “Oke, untuk sementara aku memutuskan percaya perkataanmu semalam. Kulihat Kamu nggak menyakitiku sampai saat ini. Sekarang, lanjutkan kata-katamu di cafe kemarin!” serunya masih dengan kesal. “Eits! Tunggu!” lanjutnya dengan nada yang sama seraya menunjukku. “Aku bakal tahu jika Kau bohong,” imbuhnya, kemudian menatapku sinis. Aku mengangguk dan berusaha tersenyum. Aku mencoba seperti orang normal yang banyak tersenyum. “Aku janji akan mengatakan dengan jujur,” janjiku tanpa ragu, gadis itu mengangguk.       Aku menatap dengan serius gadis yang menatapku penuh curiga ini. “Namaku Xan. Bawahan seorang jendral yang bernama Istvan. Dia adalah penguasa di daerah ... ini,” ujarku kemudian mengulurkan handphone yang ada dalam genggaman dengan layar menghadapkan ke arahnya. Gadis itu memajukan kepala dan mencoba menangkap gambar yang kutunjukkan. “Jendral punya tiga orang anak perempuan dan putri bungsunya hilang. Dan aku adalah seorang yang ditugasi untuk mencari putri Jendral itu,” lanjutku sambil kembali menarik handphone. Gadis itu terus menatap dengan penuh selidik.       “Putri bungsu Jendral Istvan hilang ketika pembunuhan istri pertamanya terjadi.” Gadis itu membelalakkan mata mendengar keterangan ini. Mulutnya sedikit terbuka. “Istri pertama jendral adalah salah satu pewaris kerajaan di negara ini. Dan mereka minta kasus pembunuhan itu dibuka karena tak lama lagi penobatan akan dilakukan.” Aku berhenti sejenak dan melihat ekspresi gadis itu yang makin tak mengerti. “Putri bungsu Jendral harus ditemukan karena dia mungkin adalah saksi kunci yang akan membuka misteri kematian itu,” tuturku dengan hati-hati.       Gadis cantik itu mendengkus, lalu beranjak dan berdiri sambil menatapku tajam. “Trus, semua itu, hubungannya denganku apa, ya?” serunya dengan ekspresi kesal, tak terima dan sedikit bingung. Aku menatapnya dan tersenyum tipis. “Seperti yang kukatakan kemarin, Kamu punya ciri-ciri yang sama dengan putri bungsu Jendral itu,” jelasku sambil terus menatap wajahnya yang cantik itu dengan tak berkedip.       Gadis itu diam sejenak, kemudian melihatku dengan memicingkan mata. “Ciri-ciri apa sih? Apaku yang sama dengan putri bungsu Jendralmu itu!” serunya masih dengan kesal. “Tunggu!” serunya tiba-tiba. “Jika seseorang punya ciri-ciri yang sama, emang itu jadi alasan untukmu menculikku seperti ini?” serunya dengan geram. Aku sedikit menunduk, sejurus kemudian mengangkat kepala dan tersenyum. “Aku minta maaf untuk itu,” ucapku tulus. “Tapi, aku tak punya cara lain untuk bicara denganmu. Waktunya mepet dan jika lihat reaksimu kemarin, sepertinya, ini cara yang terbaik,” sanggahku membela diri.       Gadis itu membelalakkan mata. “Beneran nggak kepikir cara lain? Aneh sekali Kamu!” serunya geram. Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi menyaksikan keheranan di wajah gadis itu. Gadis itu menggeleng-nggelengkan kepala. “Ya udah, mana gadis yang dibilang mirip denganku itu!” pintanya sambil kembali duduk. Aku tersenyum melihat itu, gadis itu kelihatannya mulai bisa diajak kerja sama. Em ... tunggu! Dalam beberapa saat, selama bersama gadis ini, aku sudah tersenyum beberapa kali? Sepertinya bersama gadis ini membuat hati ini menghangat.       Aku mengutak-atik layar dan mengulurkan handphone dengan layar menyala itu. Gadis itu menerima handphone itu dan sejenak menatapku dengan kesal. Apa dia nggak tahu jika cara ia mengekspresikan kekesalannya itu malah membuatku tambah menyukainya. “Hah! Ini?” teriaknya berang sambil menunjukkan foto Vasaya kecil yang berada dalam layar itu. “Apa buktinya jika gadis kecil ini besarnya jadi aku? Duh! Please deh! Kamu dah nyulik gadis dari kamar dan hanya menujukkan ini? Hei! Xan! Xan ‘kan namamu tadi?” teriaknya berang.       Aku membiarkan gadis itu melimpahkan kekesalannya, kurasa dia berhak bersikap seperti itu. “Iya, emang manik matanya coklat muda seperti punyaku, tapi ‘kan banyak juga gadis yang punya manik mata warna itu, jadi kenapa harus aku yang mirip?” tambahnya dengan kesal. “Ah! Apa gadis ini lupa ingatan?” keluhku lelah dalam hati. Apa dia juga lupa bahwa kita berdua pernah bertemu? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD